Saya Mengajukan Naskah, Kok Malah Disuruh Beli oleh Penerbit?

“Loh, saya mengajukan naskah untuk diterbitkan, kok malah disuruh beli sendiri?” kata seorang calon penulis. Sepintas ini tampak ganjil, namun dia tidak sendirian. Kasus yang serupa dialami oleh banyak orang ketika mendatangi penerbitan. Apakah Anda juga merasa aneh dengan hal ini?

Mari mendalami latar belakangnya. Penerbitan sebuah buku didahului oleh sebuah perjanjian kerja sama, antara penerbit sebagai pihak pertama dan penulis sebagai pihak kedua. Penerbit memiliki modal berupa dana dan kemampuan distribusi, dan penulis memiliki modal yang tidak kalah besar, yaitu isi atau konten. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing, dan saling membutuhkan. 

Penulis membutuhkan penerbit, selayaknya seorang pengembang startup membutuhkan pendana. Alasannya: mencetak buku dan mendistribusikannya di toko-toko buku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Semakin besar penerbit tersebut, semakin luas distribusi yang bisa dilakukan, semakin kuat pula jaringan pemasarannya. 

Berapa dana yang dibutuhkan? Untuk buku berspesifikasi standar (300 halaman, ukuran 15 x 22 cm), dibutuhkan biaya produksi sebesar 40 jutaan. Biaya produksi tersebut mencakup biaya desain, kertas, dan ongkos cetak, yang harus dibayar di muka. Belum lagi ditambah ongkos lain berupa distribusi, promosi, insentif untuk toko-toko buku, serta pajak, yang menjadi beban administrasi untuk pihak penerbit. Ini menguras kocek penerbit kira-kira hampir 25 jutaan. Penerbit pun masih harus mengatur besaran diskon untuk toko buku serta berbagi keuntungan dengan penulis, dan juga biaya inventory turn over, serta gudang. Singkatnya, satu buku dengan spesifikasi di atas melibatkan struktur keuangan senilai mencapai 140 jutaan. 

Angka yang tidak kecil bukan?

Di sisi yang lain, penerbit tentu membutuhkan penulis, terutama penulis yang bisa mencetak penjualan yang besar (baca: bestseller). Sebab, dengan melihat biaya yang segitu besar, sebuah penerbitan tidak mau main-main asal cetak. Itulah mengapa, sebuah penerbit merekrut editor, yang mampu menemukan talenta-talenta kepenulisan yang ciamik, atau figur-figur yang bisa menarik perhatian pembeli. Sebuah naskah yang mungkin hanya berupa berlembar-lembar hvs, di-print di sebuah warnet dan difotokopi di pinggir jalan, tidak bisa begitu saja diremehkan. Di mata seorang editor yang tajam, bisa jadi itu adalah cikal bakal mega bestseller dengan profit milyaran

Proses kerja sama di balik sebuah penerbitan buku memang pada dasarnya sesederhana itu. Pemodal, dalam hal ini penerbit, mengorbitkan penulis. Ia mendanai produksi dan distribusi, dan keuntungannya nanti dibagi. Jika laku keras, mereka sama-sama untung; jika gagal, dari perhitungan di atas, penerbit tentu harus menanggung kerugian atas dana yang telah keluar. Penulis, karena sama sekali tidak mengeluarkan duit, tidak menanggung kerugian apa pun, kecuali bahwa kelak di karya berikutnya, ia harus kerja lebih keras lagi untuk meyakinkan penerbit supaya bisa dicetak.

Jadi, Adakah Pengecualian? 

Jika begitu, penerbit yang meminta penulis membeli bukunya sendiri, berarti melakukan penipuan dong? Tunggu dulu.  

Logikanya, memang hanya naskah yang benar-benar terseleksi yang bakal didanai oleh penerbit, sebab mana ada, penerbit yang mau rugi. Namun begitu, ada penulis yang “ngebet” bikin buku. Walaupun di mata penerbit, naskah yang diberikan tidak lolos seleksi, mereka tidak memedulikan hal tersebut.

Mengapa demikian? Sebab, mereka memiliki motivasi yang berbeda. 

Ada yang menulis buku untuk keperluan branding. Tahukah Anda, sebuah buku masih merupakan alat yang efektif (dan efisien) untuk melegitimasi profesionalitas, ketokohan, dan segala predikat lain. Tidak mengherankan, buku-buku dengan konten biografi tokoh tertentu santer terbit menjelang Pilkada atau Pileg. Selain untuk branding, ada juga yang menulis buku untuk keperluan momen atau event tertentu, misal: persembahan (tribute) ulang tahun tokoh tertentu, seminar, lokakarya, atau referensi perkuliahan. 

Buku-buku semacam ini tentunya tidak akan mudah dijual. Tingkat urgensi dan kepentingan yang rendah, tidak cukup mendorong pasar untuk membeli. Segmentasinya juga terbatas. 

Di sinilah letak pengecualiannya. Dalam kasus ini, penulis diajak untuk ikut menanggung ongkos penerbitan. Karena penerbit merasa tidak mampu menjual konten tersebut, penulis diminta untuk ikut menanggung pemasarannya. Jadi, penerbit bersedia menerbitkan naskah tersebut asalkan penulis mau mengambil sekian eksemplar dari oplah, untuk ia pasarkan sendiri. Sederhananya, penerbit bersedia menerbitkan naskah tersebut sebesar 5000 eksemplar, asalkan penulis mau membeli 2000 eksemplar untuk dipasarkan sendiri, bisa melalui seminar-seminarnya, komunitasnya, atau event suatu institusi. Dengan demikian, penerbit tidak menanggung risiko yang terlalu besar (atau bahkan mendapatkan keuntungan di awal), karena sudah terjadi pembelian.

Karena penulis membutuhkan buku sebagai branding dan karena baginya, ada keuntungan besar jika naskah itu diterbitkan oleh penerbit tersebut (dianggapnya bisa menaikkan prestise), ia akan menyanggupinya. Kedua pihak sama-sama untung. Penulis mendapatkan branding, penerbit mendapatkan keuntungan. Terjadi kesepakatan, atas pemikiran sama-sama untung.

Inilah yang dinamakan copublishing

Alternatif Jika Anda Tidak Mau Membeli

Copublishing hanyalah salah satu cara berbisnis sebuah penerbit. Mereka tidak menerapkan pola tersebut pada setiap penulis atau naskah yang datang. Bisa disimpulkan, copublishing adalah sebuah solusi yang mendamaikan kebutuhan 2 pihak.

Jika Anda adalah seorang penulis baru dan disodori alternatif copublishing oleh penerbit, artinya naskah Anda dianggap masih belum sepenuhnya marketable (belum menjual). Namun memandang bahwa Anda memiliki kekuatan untuk mengorganisasi penjualan melalui kanal-kanal atau komunitas yang Anda miliki, penerbit bersedia bekerja sama.

Jika Anda melihat nilai plus dari brand penerbit, yang akan mendongkrak nama Anda, alternatif copublishing sangat patut diambil. Misalnya: Anda sangat ingin novel Anda diterbitkan oleh suatu penerbit mayor, ambillah tawaran itu. 

Namun, jika Anda tidak tergantung oleh hal tersebut, dan berniat untuk membuktikan diri, sangat dianjurkan untuk menerbitkannya melalui jalur indie. Anda bisa menerbitkan sendiri buku Anda secara mandiri, dan memasarkan sendiri melalui kanal-kanal yang Anda miliki. Ongkos produksi dan distribusi yang ditanggung sendiri, tentu akan memberikan harga jual yang lebih rendah, sehingga meringankan beban Anda. Jelas tidak akan sebesar biaya kontribusi penulis melalui copublishing.

Atau, alternatif lain selain indie adalah memperbaiki naskah Anda. Sederhananya, belajarlah lagi untuk membuat naskah yang bisa memikat penerbit. Coba dan coba lagi.

Cara Bodoh Memahami Kapitalisme ala Yanis Varoufakis

Kapitalisme mengubah segalanya. Tidak percaya? Jika ada orang beranggapan bahwa di zaman sekarang, guru-guru tidak lagi dihormati oleh muridnya—tak seperti ketakziman murid di zaman dahulu, itu adalah salah satu dampak kapitalisme.

Namun, sebelum terlampau jauh beropini, sepertinya banyak orang yang tidak memahami apa itu kapitalisme. Pemahaman awam akan kapitalisme saling berkejar-kejaran dengan isme-isme lain yang telanjur dicap menyeramkan: kolonialisme, neoliberalisme, bahkan komunisme. Tapi, persisnya seperti apa? Apakah sungguh-sungguh menyeramkan? Di mana letak keseramannya?

Yanis Varoufakis menulis sebuah buku dengan judul jenaka, Talking to My Daughter About The Economy. A Brief History of Capitalism. Dengan latar belakangnya sebagai seorang doktor ekonomi dan saat ini menjabat sebagai menteri keuangan Yunani, patut diapresiasi bahwa ia memiliki waktu untuk menjabarkan sebuah konsep besar secara sederhana. Menakar judulnya, buku ini memang sengaja dimaksudkan menjadi sebuah penjabaran yang memudahkan, sebab ia sendiri berkata pada bagian prolog:

Sebagai seorang guru ekonomi, saya selalu percaya bahwa jika Anda tidak mampu menjelaskan ekonomi dalam bahasa yang mudah dipahami anak-anak muda, mudah disimpulkan, bahwasanya Anda sendiri tidak paham.

Dari Kesenjangan Ekonomi, Kapitalisme Menampakkan Diri

Buku ini dibuka dengan menyodorkan realitas yang tak akan bisa ditampik, yaitu tentang ketimpangan ekonomi. Ini adalah realitas yang menyakitkan, dan sering dituduh sebagai potret buram kapitalisme. Di Indonesia sendiri, ketimpangan dan kemiskinan juga selalu dijadikan peluru para politisi untuk menyerang kebijakan-kebijakan ekonomi, dengan membaptis pemerintah yang berkuasa sebagai perpanjangan tangan para antek kapitalis.

Yanis tidak gegabah untuk melangkah ke situ.

Ia memakai realitas ketimpangan sekadar sebagai pijakan untuk memahami lahirnya kapitalisme. Ia menjelaskan ketimpangan dengan pendekatan sejarah. Kita terlahir dalam era modern, dan mendapati dunia seperti adanya saat ini, seolah sudah dalam komposisi yang pas “dari sononya”. Sebagian besar dari kita lalu meyakini bahwa memang sudah kodratnya, orang-orang Aborigin kalah oleh orang-orang Kolonial Inggris—yang adalah pendatang di Australia. Mereka kalah secara ekonomi, karena kalah gesit melihat peluang, bahkan gagal bersaing.

Dan demikian adanya yang terjadi dengan ketimpangan antara negara-negara Dunia Ketiga yang diberi predikat negara miskin, dengan negara-negara maju. Apakah ada sesuatu yang berbeda dalam DNA mereka, sehingga yang satu lebih “lincah” secara ekonomi dibandingkan yang lainnya?

Dalam perspektif sejarah, Yanis meyakinkan kita bahwa penyebab ketimpangan yang terjadi antar-negara saat ini adalah: surplus.

Kita melihat betapa pada mulanya… adalah surplus. Dan dari surplus pertanian muncullah tulisan, utang, uang, dan negara —dan dari ekonomi tersebut lahirlah teknologi dan bala tentara.

Negara eurasia dipaksa oleh keadaan geografisnya untuk mengolah tanah, demi menyiasati pertumbuhan kebutuhan pangan. Lahirlah pertanian, yang dari sana mendorong mereka untuk menimbun surplus. Sejarah lalu berjalan secara eksponensial, sebab dari surplus itu, terciptalah alat tukar, utang, ideologi, hingga ekspansi mengarungi lautan.

kapitalis fixed

Bagaimana dengan aborigin? Mereka tidak pernah merasa kekurangan. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam, sebab keadaan geografis membuat segalanya tersedia secara melimpah. Mereka tidak terdesak untuk meningkatkan produksi. Secara ekonomi, mereka berkembang, namun tidak dalam pola pikir negara-negara eurasia.

Sesungguhnya, orang-orang Aborigin telah mengenal ekonomi, dari keunikan mereka dalam mengatur rumah tangga, mulai dari mengumpulkan pisang, berburu hewan, atau memungut biji-bijian. Tapi, seperti kata Yaris:

… itu bukanlah ekonomi dalam arti sesungguhnya. Untuk memunculkan ekonomi yang seperti itu, dibutuhkan sesuatu yang lain: kemampuan untuk melampaui kegiatan sekadar mengumpulkan pisang dari pohon-pohonnya atau berburu binatang—sebuah kemampuan untuk memproduksi makanan atau peranti yang tidak akan bisa eksis, tanpa adanya tenaga kerja manusia.

Dari situlah, Anda tahu bahwa orang-orang Kolonial Inggris datang dengan membawa ekonomi pasar. Mereka membawa teknologi, mereka mengerjakan dan mengolah hasil bumi dengan lebih cepat, dan yang terpenting, mereka menjual apa yang bisa dijual secara global. Itulah ekonomi pasar, yang membuat Aborigin tergagap-gagap, karena tidak siap. Ekonomi pasar versus ekonomi rumah tangga. Ekonomi pasar itulah kapitalisme.

Uraian ini dimaksudkan oleh Yaris untuk memberikan pandangan yang lebih bijaksana terhadap ketimpangan, yang merupakan etalase kapitalisme yang paling gamblang:

Ketika mata kita melihat mereka yang hidup berkekurangan, kita segera bersimpati dan marah atas keadaan tersebut, tapi kita tidak mempersilakan diri kita barang sejenak untuk berpikir bahwa kemlaratan mereka barangkali merupakan produk yang sama dari proses yang mengantar kita pada situasi keberlimpahan saat ini. Ini merupakan sebuah mekanisme psikologis yang membuat orang-orang kaya dan berkuasa (yang biasanya orang yang sama) merasa benar, sah, dan pantas untuk meraup sebanyak mungkin, sementara yang lain semakin melarat.

kapitalis 2

Ciri Khas Kapitalisme adalah Komodifikasi Segalanya

Terjadi perluasan ekonomi, dari yang semula sekitar rumah tangga (oikos: keluarga, rumah tangga, nomos: peraturan, undang-undang), menjadi sekitar pasar yang kini lintas dunia. Dengan begitu, ekonomi pasar alias kapitalisme adalah niscaya. Itulah mengapa Yaris mengatakan di buku ini, bahwa terminologi yang lebih relevan adalah: agoranomi (agora: pasar), bukan lagi ekonomi. Perluasan ini membawa konsekuensi besar, sebab mengubah mindset masyarakat secara drastis.

Ekonomi pasar didorong oleh motif mencari keuntungan, sebab segalanya telah mendapat label harga. Semuanya, tanpa kecuali, telah diukur dengan nilai tukar. Itulah yang disebut komodifikasi, yaitu ketika segala barang mendapatkan nilai tukar (exchange values).

Padahal, ada nilai lain yang esensial, yaitu nilai pengalaman (experential values). Altruisme, heroisme, kebahagiaan, loyalitas, adalah nilai-nilai pengalaman.

Jika Anda meminta anak Anda untuk membersihkan kamarnya, dan anak Anda menjawab, “Ayah saja deh yang membersihkan, nanti aku kasih duit. Mau berapa?”, bagaimana perasaan Anda? Jika seorang teman meminta tolong pada Anda untuk memfoto dengan bayaran sekian rupiah, bukankah Anda akan mengernyitkan kening. Banyak hal yang tidak bisa ditukar dengan uang.

Jika pendonor memperoleh bayaran pasti, apakah jumlah peminat donor darah akan sama banyaknya? Jelas tidak (sebab dalam buku ini, Yaris telah menunjukkan data eksperimen ini di beberapa negara), bahkan cenderung menurun. Kegiatan donor darah bukan sekadar mencari untung. Jika aksi altruisme ini diukur oleh uang, terjadi pengerdilan. Orang tidak termotivasi untuk melakukannya lagi, sebab ada hal-hal yang nyata-nyata tidak mudah dibeli.

… begitu sering di masyarakat saat ini, ketika semua barang dipandang sebagai komoditas, semua nilai diukur—oleh ekonom, pada setiap tingkatan—seolah adalah nilai tukar. Segala hal yang tidak memiliki harga, segala yang tidak bisa dijual, cenderung dianggap tak berguna, sementara segala hal yang memiliki harga, dipandang akan lebih diminati.

Nah, Kapitalisme adalah sebuah dunia lain, yang pelan tapi pasti, mengikis aneka nilai eksperiensial. Secara garis besar, Yanis menjelaskan bahwa ada 3 hal yang kemudian dikomodifikasi: (a) barang mentah (raw materials), (b) tanah atau ruang, dan (c) buruh atau tenaga kerja. Dengan pendekatan sejarah, Yanis menjelaskan betapa komodifikasi ekonomi pasar memiliki dampak besar. Terdapat andil mereka dalam menciptakan perbudakan, kemlaratan, dan situasi-situasi tak manusiawi lainnya.

Masyarakat didorong untuk menjual apa pun. Makin banyak yang bisa dijual, makin banyak nilai-nilai yang akhirnya hilang, karena dianggap tidak layak jual.

Kembali ke kalimat paling atas. Apa hubungan kekurangajaran murid-murid sekolah zaman dahulu dengan kapitalisme? Murid-murid sekolah yang kurang ajar itu memandang guru dan institusi sekolah tak ubahnya sebagai penjual. Kurang lebih sikapnya adalah begini: saya sudah membayar gaji Anda, dan itu sudah cukup. Perkara saya mau mendengar atau tidak, itu hak saya sebagai konsumen. Saya tahu passion saya, saya tahu cita-cita saya—saya tak mendengarkan Anda, karena saya lebih tertarik pada bidang yang lain.

Arogan? Tidak sopan? Seperti kata Yanis:

Perbedaannya sangat tajam, jual beli di pasar terjadi secara berlawanan: singkat, dingin, tidak personal, seperti ketika kamu memesan buku dari Amazon, dengan satu kali klik.

Istimewa untuk Para Pemula

Sesuai dengan judulnya, buku ini sangat pas untuk dibaca oleh kita, para pemula. Istilah dan penjelasannya cukup sederhana, namun pemikirannya runtut dan menjanjikan uraian yang menyeluruh. Tak tampak tendensi untuk menyembunyikan bab-bab yang rumit, demi menampilkan wajah ekonomi yang gampang.

kapitalis 3
sumber: https://www.amazon.co.uk/Talking-Daughter-About-Economy-Capitalism/dp/1847924441

Bahasan-bahasan tersebut meliputi utang, perbankan, hingga perburuhan. Semua itu dijelaskan secara arif oleh Yanis. Ia melihat ekonomi dan kapitalisme dengan mendudukkannya pada kenyataan yang tak terbantahkan: sedari bayi, manusia dilahirkan sama, yaitu telanjang. Jika akhirnya, bayi yang satu lebih kaya ketimbang bayi yang lain, itu adalah permainan panjang ekonomi. Kita tak bisa meminta untuk mengulang permainan ini dari nol. Sebisa mungkin, kita bersikap bijaksana dalam permainan kapitalisme yang memang tidak sepenuhnya adil.

Selayaknya, kita memang makin melek perihal ekonomi. Seperti kaya Yanis, ekonomi sejatinya berasal dari dapur rumah tangga masing-masing, maka sudah pasti mudah dipahami.

Inspirasi tentang Kerja Cerdas dari Morten Hansen

“Kalau gini aja sudah dapat duit, ngapain saya harus kerja kantoran?” Ungkapan pongah semacam ini sering terlontar, terutama dari para milenial. Sialnya, mereka tidak sedang membual. Bayaran dari menjadi Youtuber, misalnya, jauh mengungguli gaji bulanan pekerja kantoran yang bekerja sampai melembur—dan mereka masih bisa pelesiran dan ngopi-ngopi di kafe.

Kemajuan teknologi dan maraknya disrupsi di sana-sini mengundang keresahan bagi banyak pekerja, dan menghadapkan mereka pada ungkapan bak mantra: “work smart not work hard”. Kerja cerdas pun didengungkan di mana-mana, oleh para konsultan atau penulis manajemen. Tapi, apa persisnya kerja cerdas (work smart) itu? Morten T. Hansen, dalam buku Great At Work. How Top Performers Work Less and Achieve More (2018) adalah salah satu yang bermurah hati menjawabnya.

Morten Hansen pernah bekerja di kantor konsultan paling prestisius sedunia, Boston Consulting Group (BCG), meraih gelar doktor dari Stanford University, dan menjadi pengajar di Harvard Business School. Pada 2002, bersama Jim Collins ia menulis buku fenomenal Great by Choice, sebuah buku manajemen kepemimpinan (leadership management) yang mendapat banyak pujian.

Great At Work berpangkal pada semangat yang sama, hanya saja sudut pandangnya dibalik; bukan lagi pada pemimpin, tapi pada tiap-tiap individu. Pertanyaan dasarnya adalah, “Apa yang bisa dilakukan oleh tiap individu untuk bisa gemilang—tanpa harus memiliki kewenangan manajerial?” Di sanalah, Morten mengelaborasi kerja cerdas.

postingan web 1

Uraian panjang lebar tentang kerja cerdas itu terbagi dalam 3 matra, yaitu (1) Cerdas dalam Kerjaan Anda, (2) Cerdas dalam Bekerja Sama dengan Orang Lain, dan (3) Cerdas dalam Menyeimbangkan Pekerjaan dan Kehidupan (work-life).

Kerja cerdas adalah Do Less, Then Obsess. Pusatkan saja pada 1 hal, dan upayakan itu dengan gila-gilaan, sampai Anda menguasai betul, dan menjadi “biang”-nya:

The term “focus” consists of two activities: choosing a few priorities, and then dedicating your efforts toward excelling at them. Many people prioritze a few items at work, but they don’t obsess—they simply do less. That’s mistake.

Menurut Hansen, sebuah perusahaan atau seorang karyawan secara tidak sadar gemar akan kerumitan, seakan kumpulan aktivitas yang kompleks dan bertingkat akan melipatgandakan kualitas. Hansen memberi contoh warung sushi Jiro Ono di Jepang yang sederhana, tidak memiliki toilet, dan bahkan tidak ada daftar menunya. Biar begitu, warung ini tidak pernah sepi pengunjung, dan meraih peringkat bintang 3 Michelin. Alih-alih memusingkan hal-hal sekunder, Jiro Ono memusatkan diri pada 1 hal, hanya 1 hal, yaitu kualitas sushi. Ia memilih ikan tuna dengan saksama (harus yang terbaik di seluruh pasar), bahkan ia mematok waktu 40 menit—tak ada toleransi—untuk memijiti daging gurita.

The complexity trap wreaks havoc inside companies. In the name of progress, we pile on goals, priorities, tasks, metrics, checkpoints, team members, and so on. But adding these items increases complexity, which we can define in terms of the number of items and the number of connections between them.

Kutipan di atas mengingatkan kita akan keluhan klasik tentang kerumitan birokrasi di kantor-kantor pemerintahan. Kerumitan tersebut justru jauh dari kriteria performa yang bagus.

Hansen juga menggarisbawahi sesuatu yang mungkin bagi kita masih tabu: “berkelahi”. Kerja cerdas berarti: Fight.

When teams have a good fight in their meetings, team members debate the issues, consider alternatives, challenge one another, listen to minority views, scrutinize assumptions, and enable every participant to speak up without fear of retribution.

Yang dimaksud oleh Hansen adalah apa yang disebut konflik konstruktif. Dalam sebuah tim, selalu terdapat dua kelompok yang saling bertentangan, memiliki ide yang sama baiknya, dan berharap sama-sama didengar. Jangan pernah menyembunyikan mereka. Jangan sampai yang satu kalah oleh suara mayoritas. Itulah kerja cerdas.

“Perkelahian” ide tersebut akan berhenti ketika didapatkan opsi yang paling baik, seusai menjelajah semua pro dan kontra secara saksama. Kesatuan terjadi ketika terdapat kesadaran, bahwa masing-masing menginginkan tujuan yang sama: yang terbaik untuk perusahaan.

In teams that unite, team members commit to the decision taken (even if they disagree), and all work hard to implement the decision without second-guessing or underminit it. We find similar teamwork cultures at other high-performance companies. At Amazon, the company expects managers and employees to “challenge decisions when they disagree, even when doing so is uncomfortable of exhausting” and “once decision is determinded, the commit wholly.”

Kerja cerdas juga berarti tidak mengesampingkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di luar kantor (work-life balance). Kehidupan di luar kantor merupakan investasi, yang jika dilakukan dengan cermat, akan memberi kontribusi yang besar pula untuk kehidupan kerja Anda. Hansen menggarisbawahi hal ini:

The traditional “work harder” mentality runs deep. We think we have to attend that extra meeting, agree to that extra collaboration, or put that extra hour into tweaking that presentation. Don’t fall into that trap. You need to break your work-harder pattern, setting some clear limits.

post instagram.KERJA CERDAS.2

Even if you’re working a reasonable number of hours, don’t let your passion for work seep into your leisure time. If you’re thinking about work while you’re having dinner with friends or watching your kid’s baseball game, you’re too passionate about work. If you have trouble falling asleep at night because you’re thinking about work, or you find yourself checking your email in the bathroom at 3 a.m., you’re too passionate about your job.

Top performers in our study pursued passions for sure, but they also kept those passions in perspective…. When I asked whether he could forget about his work during leisure hours, he said, “Absolutely! My brain switches over to family mode. I’m very good about that.”… When I asked him if he would ever work 70 to 80 hours a week, he told me that he would “refuse to do that. That would kill me and it would kill my work-life balance.” You, too, can be extremely, wonderfully passionate about work and not let it consume you.

Jadi, kini mungkin Anda bertanya, apa yang disebut dengan kerja cerdas menurut Morten Hansen? Kerja cerdas adalah: To maximize the value of your work by selecting a few activities and applying intense targeted effort.

postingan web 3

Maksimalkan segelintir aktivitas yang telah Anda pilih, dan bergumulah secara mendalam.

Mengapa Membaca (Menulis) Biografi?

Ada pepatah yang mengatakan, “Kalau Anda tidak kunjung sukses, padahal tekad dan impian sudah ada, mungkin yang perlu Ada ubah adalah pergaulan Anda.” Berada di tengah-tengah lingkaran orang-orang sukses membuat Anda punya “kesiapan” untuk sukses. Anda lebih siap dari orang-orang lain, karena Anda memiliki panutan.

Membaca buku-buku biografi memiliki manfaat yang serupa. Di dalam buku-buku biografi, terdapat kisah nyata dengan pengalaman-pengalaman khas yang terbukti mengantarkan seorang tokoh besar pada jalan hidup tertentu—dalam hal ini, jalan hidup sukses. Ada hikmah yang bisa dipetik oleh para pembaca, sehingga ia bisa mengikuti jejaknya.

Adalah sebuah privilese bisa mengenal lebih dalam seorang tokoh besar atau tokoh sukses. Privilese pertama tentu didapatkan oleh para teman dan sahabat yang mengenal langsung tokoh tersebut. Karena mengenal secara langsung, mereka bisa mendapatkan kisah sesungguhnya, bahkan tips dan rahasia sukses si tokoh. Mereka beruntung sebab tips dan rahasia tersebut sudah jelas-jelas terbukti dalam hidup tokoh tersebut, sehingga lebih mudah dijalani. Bagaimana dengan yang tidak kenal dengan beliau? Yang bukan kenalan, sahabat, atau keluarga si tokoh, bisa mendapatkan privilese kedua, yaitu melalui buku biografi. Melalui perantara buku, tips dan rahasia sukses itu dibagikan. Anda serasa berada di lingkaran terdekat si tokoh.

biografi 1

Dari situlah, buku-buku biografi atau memoar memiliki andil besar dalam dunia literasi kita. Mereka yang ingin sukses sebagai negarawan, dapat membaca buku Soekarno: Kuantar ke Gerbang, Sutan Sjahrir: Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan 1906-1966, atau The Bridge: The Life and Rise of Barack Obama. Mereka yang ingin berhasil di bidang entrepreneur, dapat membaca buku, Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila, atau The Pursuit of Happyness. Mereka juga bisa memetik hikmah dari pengalaman pahit atau menantang seseorang, melalui buku seperti Kusni Kasdut, Andy Noya – Kisah Hidupku, atau Keluarga Bahagia: Sembilan Memoar Luka Keluarga Indonesia.

Buku Biografi Tidak Laku?

Jika memang buku biografi memberikan manfaat sebesar itu, mengapa muncul anggapan bahwa menerbitkan buku-buku biografi itu tidak mendatangkan cuan, alias tidak laku?

Pertama, setiap penerbit mengamini bahwa bukan genre yang menyebabkan sebuah buku tidak laku. Tidak bisa dipukul rata, bahwa menerbitkan genre biografi sudah pasti tidak untung. Jadi, pernyataan bahwa jenis buku biografi pasti tidak laku, sudah barang tentu kekeliruan berpikir. Malahan, telah terbukti ada buku-buku biografi yang sukses menangguk untung, misalnya buku memoar Sir Alex Ferguson, Autobiografi Saya, atau Habibie & Ainun, yang bahkan filmnya pun laris ditonton.

Kedua, barangkali anggapan itu muncul karena penerbit terlalu sering menerima naskah-naskah biografi yang tidak memenuhi kriteria. Tepatnya, terdapat faktor-faktor minus yang ditemukan dalam konten, yang membuatnya tidak laku. Ada “cacat konten” yang terendus dalam naskah-naskah biografi, yang membuat penerbit menyimpulkan bahwa naskah-naskah biografi tersebut sudah pasti tak akan laku.

Apa saja faktor-faktor yang membuat naskah biografi dianggap tidak memenuhi syarat? Berikut ini adalah 4 faktor yang diurutkan dari yang paling mendasar:

Pertama, orang tersebut belum cukup pantas menjadi tokoh. Ini tampaknya adalah syarat utama, yang harus dipenuhi. Sebuah buku biografi haruslah tentang seseorang yang menonjol, yang pengalaman-pengalamannya mendudukkannya sebagai orang yang mengundang decak kagum. Ia haruslah lain dari yang lain, memiliki prestasi yang terbukti. Patokannya sederhana, berapa orang yang seperti dia? Kalau hanya segelintir orang yang bisa menyamai, jelaslah dia seorang tokoh.

Kedua, naskah tersebut terlalu tendensius. Terlalu tendensius berarti terlalu eksplisit dalam menunjukkan kecenderungan/kecondongan pada motif tertentu, misalnya motif memenangkan diri di bidang politik, motif membersihkan nama baik, motif membela kubu tertentu, dan semacamnya. Memang tidak bisa dimungkiri bahwa buku biografi adalah alat yang sangat efektif untuk propaganda, tapi porsi yang terlalu berlebihan akan mencederai fitrah buku biografi, yang semestinya jujur.

Ketiga, kurangnya data. Selling point sebuah buku biografi adalah penyingkapan. Yang disingkap adalah fakta-fakta kehidupan yang selama ini tidak pernah diketahui. Data inilah yang menjadi kekuatan, entah berupa pengalaman di masa kecil, pengalaman pahit, pengalaman buruk, hingga aib yang dulu sempat ditutupi. Semakin cerdas seorang penulis, semakin ia mampu merangkainya sebagai sebuah benang merah dalam kehidupan si tokoh. Jika data-data ini tidak dituangkan, sebuah biografi akan terjebak hanya pada glorifikasi prestasi dan pencapaian seorang tokoh, tanpa ada refleksi.

Keempat, penulisan yang “kering”. Penulisan yang kering merujuk pada gaya tulisan yang tidak bersahabat, kurang naratif, dan seolah tidak bernyawa. Tentu saja yang menentukan kering atau tidaknya penulisan sebuah biografi, adalah mereka yang ada di ranah editorial. Namun begitu, sebuah tips penting tentang hal ini adalah: sudahkah Anda memahami siapa pembaca Anda? Nilailah tulisan tersebut dengan menilai apakah tulisan ini menarik di mata mereka.

Penerbit memang tidak serta merta menolaknya. Jika memang sebuah naskah diajukan ke penerbit dengan skema co-publishing, tentu saja lain soal. Beberapa hal bisa dikompromikan, asalkan pemasaran buku tersebut bersedia ditopang sebagian oleh pihak penulis.

infografik biografi

Jalan Pintas Buku Biografi

Menulis buku biografi masih merupakan cara paling ampuh untuk melakukan branding. Inilah motivasi utama seseorang menuliskan biografi, sebab dengan menyingkapkan kisah hidupnya dan membagikan pikiran-pikirannya, seseorang menjadi lebih dekat di mata publik. Ketimbang tampil di televisi, membuat artikel khusus di media massa, atau wawancara di radio, buku masih menjadi alat paling efektif sekaligus ekonomis.

biografi 2

Buku memiliki jangkauan yang luas, relatif terjangkau, dan bisa dibaca kapan saja, bahkan bisa diulang. Kekuatan tersebut tidak dimiliki oleh media lain.

Tidak mengherankan banyak yang melakukan segala cara untuk menuliskan biografinya. Salah satunya adalah dengan menggunakan penulis bayangan, atau dikenal sebagai ghostwriter. Tugas ghostwriter adalah menuliskan buku biografi orang tersebut, tanpa dikenal oleh pembaca. Ini sah-sah saja, bahkan jika hasilnya memuaskan, mengapa tidak?

Anda terpikir untuk membuat buku biografi Anda?

Silakan Bikin Candaan Pakai Kata “Autis”

Banyak orang naik pitam dengan candaan-candaan bertema autis. Autisme sebagai objek humor atau lawakan sering dicap sebagai pelecehan, penghinaan, bullying, dan semacamnya.

Namun begitu, siapa yang tidak tertawa menonton Forrest Gump, sebuah film tentang petualangan Gump, seorang lelaki yang intelegensinya rendah? Siapa yang tidak pecah tawanya, ketika menonton Gump berlari kencang dalam pertandingan american football hingga keluar area, menerobos para penjaga? Dan, ketika pelatihnya gembira sambil berteriak, “He must be the stupidest son of a bitch alive!”, bukankah kita spontan tergelak-gelak?

Masih banyak cerita atau film bertema senada dengan Forrest Gump. Ada Rain Man, What’s Eating Gilbert’s Grape, atau I Am Sam. Meski bukan murni komedi, ada banyak bit yang lucu di sana. Saya tidak alergi dengan candaan-candaan bertema autis, sebagaimana saya bisa mengapresiasi humor-humor dalam film seperti Forrest Gump. Menurut saya, candaan tersebut bagus, berkelas, dan bermanfaat.

Dan kini, setelah dikaruniai seorang anak yang juga autis, saya lebih bisa mengapresiasi. Kini saya tahu, mana candaan yang baik, dan mana yang buruk. 

Apakah Persoalannya pada Jenis Humor?

Nama lain candaan adalah humor, yaitu sesuatu yang lucu, atau keadaan yang menggelikan hati (berdasarkan KBBI). Karena humor merupakan produksi pikiran, sesungguhnya setiap jenis humor mewakili tingkat pemahaman manusia, dan secara luas, pemahaman masyarakat. Anda bisa menilai kesehatan pikiran masyarakat, dari jenis humornya.

Ada 3 jenis humor atau lawakan. Pertama adalah humor yang menunjukkan superioritas. Ini sejalan dengan teori Thomas Hobbes yang memandang bahwa suatu kelucuan “tiada lain merupakan suatu kepuasan yang muncul dari konsepsi secara tiba-tiba tentang yang hebat, dengan membandingkannya dengan kelemahan yang lain”. Ini terbukti dalam konsep lawakan yang gemar memperolok keburukan fisik seseorang, keganjilan seseorang, kebodohan, hingga kesialan. Kita bisa menertawakan pemain yang mukanya dicoreng-moreng dengan cat hitam, atau pemain yang menirukan orang idiot, karena kita merasa lebih superior (tinggi) dari mereka.

Kedua adalah humor yang merupakan pelepasan dari ketegangan. Ini sering disebut sebagai humor Freudian, yang memandang bahwa sesuatu hal yang mengundang tawa, sejatinya adalah topik-topik yang selama ini kita pendam, alias tabu untuk dibicarakan. Humor tentang seksualitas, parodi tentang Hitler (dalam figur Charlie Chaplin), sindiran terhadap tokoh-tokoh Agama, atau sekadar umpatan. Ini merupakan bentuk pelampiasan dari tekanan-tekanan tersebut.

Ketiga adalah humor yang sifatnya lebih pokok (esensial), yaitu bahwa sesuatu itu mengundang tawa ketika penonton menyadari adanya ketidaksesuaian yang disengaja antara apa yang disampaikan dengan anggapan akan realitas yang sesungguhnya. Sang pelawak sengaja mengamati realitas yang dialami, lalu membuat pembengkokan logika. Ini disebut sebagai incongruity-resolution theory. Ada sebuah kelucuan dari penyajian perspektif yang otentik, sering tak terduga, dan jarang terpikirkan.

Mana yang lebih baik?

Jika Anda merasa humor pertama dan kedua tidak lucu, dangkal, dan primitif, dan humor ketigalah yang baik, Anda perlu berpikir ulang. Dalam praktiknya, tipe pertama dan kedua de facto memang lucu. Kalau Anda berkeras bahwa humor yang memperolok, atau humor tentang seks itu tidak lucu, dan sepatutnya dilarang, berarti Anda naif. Menurut saya, itu seperti mempermasalahkan orang yang makan bubur diaduk, hanya karena Anda jijik melihatnya. Padahal, bisa jadi lebih dari separuh populasi orang Indonesia makan bubur dengan cara seperti itu, dan yang lebih penting: mereka menikmatinya. Sebaliknya, humor ketiga mungkin lucu dan terkesan smart, tapi bisa jadi teramat “kering”.

Dengan kata lain, ketiga jenis humor tersebut sebenarnya tidak mendefinisikan mana humor/candaan yang cerdas dan mana yang tidak. Ketiganya adalah tools, atau sarana untuk membuat kelucuan. Mungkin Anda menemukan humor jenis pertama pada acara seperti Opera van Java yang dulu identik dengan pemain-pemain yang celaka dan diperolok (bahkan juga meringis karena tertimpa properti panggung dari gabus). Tapi, Anda pun akan menemukan 2 jenis humor tersebut dalam repertoar komedian-komedian ternama saat ini.

Sebutlah misalnya George Carlin, yang sedikit-sedikit melontarkan kata shit di komedinya, meski ia mengetengahkan kesadaran-kesadaran baru atau bahkan perlawanan.

Atau komedian Trevor Noah yang kerap menerobos tema-tema yang dianggap tabu, terutama tentang rasisme, dan beberapa kali memperolok diri sendiri dan perspektif orang lain.

Atau, apakah Anda tidak tertawa dengan topik ringan tentang dunia perkantoran yang diangkat Jason Leong, meski ia berkali-kali mengumpat?

Lalu apa yang membuat perbedaan?

Candaan yang Bagus itu Mendewasakan

Candaan yang bagus adalah yang memiliki konsep. Konsep candaan—serupa dengan konsep-konsep seni pertunjukan yang lain—berupa gagasan-gagasan yang ingin disampaikan berkenaan dengan suatu tema. Entah itu tarian, drama, wayang orang, atau lenong, selalu dilandasi oleh konsep.

Sutradara, komedian tunggal akan menggunakan segala cara supaya gagasan-gagasan tersebut bisa sampai ke penonton secara ringan dan menghibur. Mereka akan melakukan riset. Mereka akan mengenali sungguh objek yang digunakan untuk bahan lawakan. Dan, tak lupa mereka akan menggunakan segala teknik humor, mulai dari humor jenis satu, dua, maupun 3. Singkat kata, lawakan yang bagus adalah buah kerja keras membangun konsep, plot, atau premis. Tidak ada jalan pintas.

Maka itu, walaupun tingkah Forrest Gump yang bodoh itu dijadikan bahan tertawaan, saya menaruh apresiasi, sebab ada sebuah tema atau gagasan yang membingkai film tersebut.

Tapi, tak semua melawak dengan cara seperti itu. Ada saja yang menempuh jalan pintas. Selalu ada jalan pintas untuk membuat penonton tertawa-tawa dan terpingkal-pingkal. Tema atau konteks apa pun yang diangkat, asalkan dihubung-hubungkan dengan seks, dijamin bikin tertawa. Tidak peduli ceritanya seperti apa, selama ada objek untuk dijadikan olok-olokan, pasti bikin tertawa. Bahkan, hanya dengan menaburi lawakan dengan umpatan-umpatan, penonton pasti tertawa.

autis

Resep tersebut diulang terus, sebab terbukti manjur. Terlebih dalam konteks pertelevisian, asalkan rating tinggi, segala cara boleh dipakai. Bahkan kalau perlu, dengan mengolok-olok orang-orang miskin, orang-orang buruk rupa, bencong, negro, atau orang-orang difabel. Dengan mengerjai orang sejadi-jadinya, tanpa peduli dengan premis cerita yang melenceng.

Secara sederhana, sebuah candaan yang bagus akan “memberikan” suatu makna yang bisa diingat, dibawa pulang, untuk dibagikan, atau diceritakan ulang. Sekecil apa pun itu. Bahkan, bisa juga dianalisis dan dibedah secara akademis.

Karena sifatnya yang ingin memberikan kesadaran akan sesuatu hal, candaan yang bagus selalu mendewasakan.

Peluang Mendewasakan Masyarakat dari Candaan tentang Orang Autis

Bagi saya, akan ada perubahan besar, jika kata “autis” dijadikan sebagai objek candaan, terutama candaan yang dalam kategori bagus seperti keterangan di atas. Sebab, candaan yang bagus akan membagikan kesadaran tentang autisme. Berawal dari kesadaran, tentu harapannya akan muncul perhatian. Semakin sering, semakin besar pulalah perhatian yang diberikan. Mulai dari acara kampus, lama-lama “masuk” TV, dan akhirnya menjadi perhatian seluruh masyarakat, dan Negara.

Saya serius akan hal ini.

Sadarkah Anda, baru sedikit orang yang paham tentang “anak autis”. Ketika saya mengatakan bahwa anak saya autis pada rekan-rekan di kantor atau sesama orang tua, responsnya macam-macam.

Ada yang mengatakan, “Anakmu sering dibiasakan main hape sendirian, ya? Mulai di-stop aja, soalnya anakku juga dulunya gitu.” Dia menyamakan autis dengan bocah yang kecanduan hape.

Ada yang mengatakan, “Tidak apa-apa. Namanya anak masih kecil, biasalah kalau enggak bisa diem. Justu kalau diam, kita malah wajib bingung..” Yang ini menyamakan autis dengan kewajaran anak-anak yang suka bergerak (nb: Hiperaktivitas/ADHD/ADD juga termasuk dalam spektrum autisme—dan bukan kewajaran).

Ada pula yang mengatakan, “Loh, masak sih!? Aku lihat kemarin wajahnya nggak keliatan ‘kok!” Setelah ditelusuri, dia menyamakan autisme dengan sindrom Down, dan merujuk tanda berupa wajah mongoloid yang merupakan ciri pengidap sindrom tersebut.

Dan, yang paling banyak adalah yang berkomentar begini, “Wah, berarti anakmu berbakat jenius tuh! Tinggal diarahkan saja!” Ini adalah tanggapan yang enteng, dan merupakan bias dari peliputan-peliputan media yang mengejar sensasi dari segelintir kasus khusus anak autis berbakat. Atau dari film-film fiksi dengan tokoh seorang pengidap sindrom savant.

Itu adalah pengalaman saya. Di bagian Indonesia yang lain, saya yakin banyak pengalaman unik, mulai dari dianggap anak Indigo, dianggap “ketempelan” genderuwo, dilabeli anak bodoh, hingga disebut anak gila (anak saya bisa meledak tawanya secara tiba-tiba, dan berlangsung cukup lama). Akar dari permasalahan ini adalah kurangnya pengenalan tentang autisme di Indonesia. Sangat disayangkan memang, sebab di negara-negara maju seperti di Amerika dan Inggris, perhatian pemerintah cukup besar dan nyata. Mulai dari penyediaan informasi, fasilitas, hingga subsidi terapi, dan biaya riset.

Stop. Saya tidak akan jatuh pada pembandingan antara Indonesia dengan negara-negara maju. Itu akan menjadikan artikel ini sangat panjang oleh daftar keluhan. 

autisme

Saya ingin masyarakat ini mulai untuk menyampaikan kesadaran akan autisme ini dengan cara apa pun. Dan, jika jalannya adalah lewat candaan tentang autisme, mengapa tidak? Saya akan mulai dari diri sendiri, untuk tidak mudah sensitif. Dan, saya akan mendorong para pelaku seni, untuk berani mengambil tema ini. Silakan cari bahan yang tersedia sangat luas di internet, silakan baca buku atau berkomunikasi dengan aneka grup orang-orang tua anak autis. Silakan nyinyir atau menyindir tentang hal ini.

Mulailah beranjak dari zona nyaman. Jangan selalu melawak hanya dari gosip para selebgram, gimmick-gimmick tentang jomblo dan mantan, atau dissing selebritas A, artis B. Angkatlah konten yang lebih berisi, dan biarkan humor menjadi salah satu cara efektif untuk mewujudkan harapan.

Sekitar Milenial yang Katanya Manja

Peringkat dua untuk kata yang paling membuat bising di perbincangan sehari-hari baik di kehidupan nyata maupun di media saat ini adalah milenial. Jika sedang tidak ada kerjaan, cobalah menghitung berapa kali kata itu terdengar dalam 1 hari. Setidaknya, bos Anda, kolega Anda, teman Anda, atau bahkan driver Gojek pasti menyuarakannya.

Banyak yang mulai merasa risih dengan kata tersebut, sebab semakin gampang orang mengucapkannya, semakin jauhlah kata itu dari pemaknaan yang beralasan. Terbukti, lebih banyak mitos tentang milenial ketimbang fakta yang sesungguhnya. Milenial dianggap malas, pilih-pilih, suka mengeluh, suka nyambi main game atau nonton Youtube, dan masih banyak lagi.

Pada 20 Mei 2013, majalah Time membuat edisi khusus tentang generasi milenial, dengan judul sampul yang menggelitik: The Me Me Me Generation. Laporan utamanya ditulis oleh Joel Stein, dengan judul yang kurang lebih sama (The Me Generation). Dikemas dalam gaya bahasa yang cenderung satir, Joel Stein memberikan pemetaan profil milenial, yang disebutnya: manja dan narsistik, memiliki masa kanak-kanak yang dipanjangkan sampai usia dewasa, terkadang sangat melodrama karena pengaruh Youtube yang mengaburkan batas antara nyata dan tidak nyata dengan aneka reality show-nya, dan tentu saja anti-otoritas. Namun, mereka juga percaya diri, bekerja keras, bersikap pragmatis sekaligus realistis, optimistis, dan akrab dengan gaya pemikiran yang strategis.

Pada intinya, Joel melihat, meski ada kecenderungan yang “berbeda” dan kadang “bertentangan” dengan nilai-nilai yang dianut generasi sebelumnya, generasi milenial adalah masa depan yang harus dikelola, sebab segala kemudahan, keterbukaan informasi yang didapat generasi ini, menjadikan generasi ini sebagai generasi yang membawa potensi yang sangat besar.

mil.jpeg

Untuk mengerti secara lebih jernih, buku karangan Bruce Tulgan berjudul Not Everyone Gets A Trophy. How To Manage The Millennials dapat dijadikan referensi, terutama untuk pelaku di dunia kerja. Bruce dalam kalimat pertama di bagian pengantar secara gamblang mengatakan: saya menulis buku ini dengan misi yang jelas, yaitu membantu para pemimpin dan manajer—terutama mereka yang lebih tua dan berpengalaman—untuk membawa hasil maksimal dari karyawan-karyawan muda.

Dengan misi yang segamblang itu, buku ini tidak terjerumus dalam glorifikasi atas generasi muda ini. Generasi milenial bukanlah anak ajaib. Sikap-sikap mereka yang terkesan anti-otoritas bukanlah sesuatu yang patut dirisaukan. Tidak ada alasan untuk memojokkan mereka, sebab setiap generasi pasti memberontak terhadap generasi sebelumnya. Bukankah setiap generasi karyawan muda membikin jengkel yang tua, yang lebih berpengalaman? Itu sudah jadi alur hidup (rite de passage).

Keunikan Generasi Milenial, yang lahir dari 1977 – 1989 (yang disebut sebagai Generasi Y), dan gelombang keduanya yang lahir mulai 2000 (disebut Generasi Z), adalah uncertainty. Kesalingterhubungan (interconnectedness) dan teknologi informasi yang sangat maju membuat milenial lebih terbuka dengan ketidakpastian. Pergantian yang datang setiap saat telah menjadi akrab. Selain itu, mengapa mereka tampak sangat percaya diri?

Alasan utamanya adalah karena mereka bertumbuh dalam dan setelah Decade of the Child. Generasi X adalah generasi yang sangat tak terawasi (great unsupervised generation) . Tapi, milenial adalah generasi yang terawasi secara berlebihan (great over-supervised generation). Di masa kanak-kanak Generasi X yang pendek dan di masa kanak-kanak Generasi Milenial, membuat hati anak menjadi mongkok dan membangun penghargaan-diri merupakan tema yang dominan dalam parenting, pengajaran, dan konseling. 

Dengan segala cara, orangtua-orangtua generasi milenial membimbing, mengarahkan, mendukung, mengajari, dan melindungi mereka. Mereka dihargai, dirawat, dijadwalkan, diukur, didiskusikan, didiagnosis, diberi obat, dibuatkan program, diakomodasi, dilibatkan, diberi hadiah, dan diberi imbalan sepanjang mereka bisa mengingat. Orangtua mereka bertekad untuk menciptakan generasi anak-anak super, barangkali juga dengan mempercepat masa kecil mereka.

Meski memiliki segepok karakteristik yang tampak istimewa, Bruce menyadarkan para manajer untuk tidak mengistimewakan. Anda hanya perlu mengenali, dan berusaha untuk tidak menyamaratakan, sembari tetap memberikan tanggungjawab yang sepadan. Maka itu, dalam bab ketiga, buku ini memberikan kiat-kiat yang sangat detail tentang pengelolaan generasi milenial tersebut. Saya paling suka dengan tips terakhir, yaitu Turn Every Employee into a Knowledge Worker:

Tantangan yang nyata adalah untuk membuat mereka fokus dengan pekerjaan yang Anda percayakan pada mereka, sembari mendorong mereka untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam bekerja. Semakin Anda menyemangati milenial untuk berpikir tentang pekerjaanya—entah apa pun bentuknya—semakin mereka terlibat. Semakin Anda mendorong mereka untuk belajar sambil bekerja, mereka akan semakin baik dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.

milenial 2

Selain hal-hal tersebut, buku ini tampak sangat praktis dalam segala situasi yang terbayangkan. Khas buku-buku how-to Amerika, buku ini menguraikan cara menolong milenial untuk bisa menaruh perhatian pada Customer Service, cara mengajarkan pada mereka cara mengatur diri sendiri, cara mengajarkan mereka untuk bisa dipimpin oleh manajernya, dan cara mengupayakan kaderisasi.

Satu hal yang menarik adalah pendekatan In Loco Parentis Management, yang berarti sebuah manajemen untuk menggantikan posisi ortu karyawan-karyawan milenial yang dilakukan oleh pimpinannya. Menurut Bruce, Anda perlu terhubung secara individual dengan milenial, sebab itulah yang mereka butuhkan.

Ketika saya mengatakan “perhatianlah pada karyawan Anda”, bukan berarti saya menuntut Anda untuk mencintai karyawan Anda seolah mereka adalah anak-anak Anda sendiri atau membiarkan mereka tinggal di lantai bawah. Tapi, Anda perlu membimbing mereka melalui babak-babak awal kehidupan profesional mereka dan di babak selanjutnya. … Anda tidak harus masuk terlalu jauh ke pikiran-pikiran, perasaan, atau motif yang paling pribadi. … Anda hanya perlu memberi perhatian yang cukup untuk membantu orang ini sukses di pekerjaannya, setidaknya ketika orang ini bekerja untuk Anda.

Saya sadar bahwa bab ini diberi judul “in loco parentis management”, tetapi jangan salah kaprah. Saya tidak mengajak Anda untuk berpura-pura menjadi orang tua bagi karyawan-karyawan Anda. Malahan, Anda tidak boleh berpura-pura dalam hal apa pun. Milenial memiliki detektor bull shit, terutama bagi figur-figur yang memegang kuasa. Anda hanya perlu bersikap otentik untuk bisa sukses bersama mereka.

Secara sekilas, saya harus jujur bahwa buku ini menarik untuk didalami. Pembahasan mengenai milenial di buku ini akan memberikan pemahaman yang lebih benderang, lengkap dengan konteks yang diriset secara mendalam. Namun demikian, buku ini akan menjadi tidak istimewa, jika sesungguhnya Anda tahu bahwa prinsip-prinsip yang dilakukan adalah prinsip yang berlaku universal. Setiap orang, dari generasi mana pun, berhak untuk didampingi, diberi perlakuan yang adil, dan diberi kepercayaan.

Oh iya, ngomong-ngomong, peringkat satu yang paling membuat bising saat ini adalah disruption, alias disrapsyen. Ya, kata itu lama-lama malah semakin kabur.

Ritual Orang-orang Hebat

Selama saya bekerja sebagai editor buku, selalu ada pertanyaan-pertanyaan abadi yang dilontarkan oleh simpatisan penulis. Salah satunya terdengar begini, “Bagaimana proses Si A bisa dapat ide untuk bikin buku ini, ya Mas? Kok bisa dapat ide bagus”

Adalah biasa bahwa orang melontarkan pertanyaan tersebut, sebab mereka telah menerima karya yang sudah paripurna, dan teratur. Memang demikian adanya hakikat kreativitas. Edward de Bono pernah mengatakan hal yang kurang lebih serupa: Kreativitas itu baru tampak ketika seseorang menghadapi hasilnya, dan melihat ke belakang, lalu menemukan proses yang dilalui.

Singkatnya, proses kreatif selalu memikat.

Kembali ke pertanyaan di atas, tentu saja saya tidak bisa menjawab. Pasalnya, saya bukan seorang penulis. Seorang editor buku bekerja sejauh mengolah dan menata sedikit saja dari naskah yang sudah dihasilkan oleh penulis. Dengan kata lain, pertanyaan tersebut salah alamat.

Namun, pada 2013, ada sebuah buku yang menarik karangan Mason Curey, berjudul Daily Rituals: How Artists Work. Mason Curey mendedikasikan waktunya secara tidak sengaja, untuk mencari tahu rutinitas yang dijalani oleh orang-orang yang menghasilkan sesuatu. Awalnya Curey, yang bekerja di sebuah biro jasa arsitektur, didera oleh kebosanan, dan maka itu sengaja menunda-nunda pekerjaan utamanya: membaca koran, membersihkan mejanya, membikin kopi, dan aneka kesibukan sekunder lainnya. Sampai akhirnya, pada siang hari setelah ia mulai agak “tersadar”, ia mulai berselancar di internet untuk mencari jadwal-jadwal kerja orang-orang “hebat” untuk menambal rasa bersalahnya.

Dari situlah, kisah-kisah ritual orang-orang hebat mulai terkumpulkan. Buku ini mendokumentasikan keseharian orang-orang dari beragam profesi. Terdapat tokoh-tokoh seperti: WH. Auden, Simone de Beauvoir, Ingmar Bergman, Wolfgang Amadeus Mozart, Søren Kierkegaard, Sigmund Freud, Umberto Eco, Marina Abramovic, hingga David Foster Wallace. Total ada 161 tokoh.

Anda ingin tahu pukul berapa penyair Auden mulai meraih penanya dan menuliskan baris-baris puisi, hingga tercipta judul-judul seperti Stop All The Clocks dan Autumn Songs? Atau tahukah Anda bahwa Descartes sehari-hari bangun tidur kesiangan, sekitar pukul 11.00, sebab malamnya, ia bermeditasi, membiarkan pikirannya mengembara menjelajahi kegelisahan metafisis-nya. Dalam buku ini, keingintahuan kita akan terpenuhi.

bla

Knut Hamsun, pengarang besar dari Norwegia—peraih Nobel Sastra menulis begini tentang ritualnya:

Sebagian besar karya saya, datang pada malam hari, ketika saya tertidur selama beberapa jam dan kemudian terbangun. Pikiran saya cukup segar, dan sangat peka. Selalu tersedia sebatang pensil dan kertas di dekat tempat tidur; saya tidak menggunakan lampu, dan langsung menulis dalam gelap, jika ada sesuatu yang mengalir dalam benak saya. Ini sudah menjadi kebiasaan, dan saya tak punya kesulitan mencerna tulisan saya di keesokan hari.

no-nb_sml_ 078
Knut Hamsun (sumber: fusionfarming.com)

Lain lagi dengan Jackson Pollock, pelukis tenar dari Amerika:

Sekitar pukul 1 siang, Pollock akan beranjak ke lantai bawah untuk sarapan dan segelas kopi dan rokok, lalu ia akan menuju ke sebuah peternakan yang telah ia ubah jadi studionya. Ia berada di sana sampai pukul 5 atau 6 sore, lalu meraih sebotol bir dan pergi ke pantai bersama Krasner. Di sore hari, ia akan makan malam dan bercengkerama dengan pasangan-pasangan lain, kenalan mereka. Pollock suka kerja sampai larut, tapi karena di pedesaan, tidak ada aktivitas yang menarik; maka karena ia tidak banyak minum, ia tidur cukup lama, sampai 12 jam dalam semalam.

a paul-jackson-pollock
Jackson Pollock sedang melukis di studionya (sumber: yalebooksblog.co.uk)

Bagaimana dengan Charles Schulz, si pencipta kartun Peanuts?

Pukul 8.20 pagi, Schulz mengantar anaknya ke pangkalan bus, yang mengantar anak-anak di sekitar kompleks ke sekolah. Barulah setelahnya, ia bisa duduk di meja gambar, di sebuah studio pribadi di samping rumahnya. Ia akan mulai dengan membuat corat-coret dengan pensil, sambil membiarkan pikirannya mengembara; metode yang biasa ia lakukan adalah “pokoknya duduk dan membayangkan masa lalu, menyambangi lagi ingatan yang memalukan dan hal-hal semacamnya.” Setelah muncul ide yang bagus, ia buru-buru mengerjakannya dengan cepat dan dengan konsentrasi penuh untuk menuangkannya di kertas sebelum inspirasi tersebut menguap.

a charles s
Charles Schulz (sumber: www.vanityfair.com)

Saya suka dengan buku ini. Selain karena saya menikmati keunikan gaya hidup orang-orang, buku ini juga mendudukkan aktivitas keseharian sebagai sesuatu yang sepele tapi menentukan. Walau awalnya rutinitas sepele, ketika dilakukan secara konsisten dengan sense of purpose yang kuat, rutinitas menjadi ritual. Dan, ritual pada dasarnya sakral.

Dalam pengantarnya, Mason Curey menulis demikian:

Rutinitas harian seseorang adalah pilihan, atau sebuah rangkaian pilihan. Di tangan yang tepat, itu menjelma sebuah mekanisme yang sangat kokoh dalam memanfaatkan sumber daya yang serba terbatas: waktu (sumber daya paling terbatas) serta kehendak, disiplin diri, optimisme. Sebuah rutinitas yang solid melahirkan energi mental yang terlatih, dan membantu menyelamatkan diri dari tirani gerak-hati (tyranny of moods).

Jadi, sekiranya Anda bertanya pada diri sendiri, “Mengapa saya tidak bisa menghasilkan sesuatu yang sehebat Mark Manson, atau Eka Kurniawan, atau Sapardi Djoko Damono?”, boleh Anda melihat rutinitas macam apa yang Anda hayati.

Tren Buku Motivasi yang Gemar Memaki

Terus terang, ketika mengejar hak terbit buku Mark Manson, The Subtle Art of Not Giving a Fck, saya harus berpikir berkali-kali. Judulnya yang kasar dan mengandung kata fck itu akan dikemas seperti apa?

Meski judulnya kasar, kenyataannya buku itu berhasil menyita perhatian para pembaca buku. Pembacanya pun kebanyakan orang-orang muda; ini tampak dari banyaknya postingan buku tersebut di media sosial. Selebritas-selebritas pun mengendorse buku tersebut tanpa disuruh (sampai-sampai Chris Hemsworth pun memposting di akun Instagramnya).

Bahkan di Indonesia, buku terjemahannya langsung cetak ulang 5000 eksemplar dalam jangka waktu tidak ada 1 bulan; buku ini terbit 5 Februari, dan pada 25 Februari sudah cetak ulang yang kedua. Jadi, saya pun bertanya-tanya: apakah orang sedang suka dengan yang kasar-kasar seperti ini?

Buku ini sebenarnya unik. Buku ini adalah buku motivasi, dan berkaca pada buku motivasi (self-help) yang pernah ada, sangat aneh bahwa buku ini dikemas dengan judul yang kasar, dan gaya bahasa di dalamnya yang tanpa sopan-santun.

Coba lihat kutipan ini:

Pengambilan keputusan berdasar intuisi emosional, tanpa dibantu penalaran agar tetap pada jalurnya, biasanya membuat sesak di akhir. Apakah Anda tahu siapa yang menyandarkan seluruh hidup pada emosinya? Balita. Dan anjing. Anda tahu selain balita dan seekor anjing? Tahi di karpet.

Uraian di atas tidak akan pernah keluar dari motivator-motivator pada umumnya. Coba pernahkah Anda membayangkan, Mario Teguh di program Mario Teguh Golden Ways, mengeluarkan ucapan-ucapan semacam: tahi, bodoh, keparat, atau bodo amat? Yang sering kita dengar adalah ucapan-ucapan yang menyejukkan, seperti: super sekali, baik sekali, dan semacamnya.

artikel 1
Generasi milenial tampak nyaman dengan gaya bahasa yang terus terang.

Tapi barangkali justru di situ titik baliknya. Titik baliknya adalah: hidup tidak semudah cangkeme Mario Teguh hidup tidak seindah mulut motivator. Orang-orang mulai merindukan buku yang mengafirmasi kegemasan mereka akan kata-kata positif yang hari demi hari seolah berlari terlalu jauh dari kenyataan. Kata-kata positif sebatas gimmick atau dekorasi untuk mendapatkan klien.

Ketimbang mengulang-ulang salam super, lihatlah apa yang dikatakan Mark Manson:

Sebagian besar dari antara kita bisa dikategorikan “biasa-biasa saja” pada hampir semua hal yang kita kerjakan. Bahkan meskipun Anda istimewa di suatu hal, kemungkinan yang ada adalah bahwa Anda berada di tengah-tengah atau justru di bawah rata-rata pada hal lainnya. Seperti itulah kodrat kehidupan.

Jika kita jeli melihat pasar, ternyata ada buku-buku yang senada dengan Mark Manson. Setidaknya dari judulnya, kita melihat ada kesamaan: memakai kata-kata makian. Misalnya: You Are a Badass: How to Stop Doubting Your Greatness and Start Living an Awesome Life, You Are a Badass at Making Money: Master the Mindset of Wealth, Unf*ck Yourself, How to Make Sh*t Happen, Sh*t I Can’t Remember, Get Your Sh*t Together, dan semacamnya. Sebagian besar dari judul tersebut juga membukukan catatan penjualan yang baik.

pilih mas dito
Terjemahan  buku Mark Manson dalam Bahasa Indonesia. (© @cexel27)

Sebenarnya, ini bukan sesuatu hal yang istimewa. Ini barangkali hanya sebuah variasi tren. Tren positive psychology telah bergerak ke titik jenuh. Orang sudah jenuh mendapatkan induksi dari kalimat-kalimat afirmasi positif. Kini pasar membutuhkan fakta-fakta yang melegakan, yang lebih realistis.

Muaranya sebenarnya sama, buku yang menuntun pada perbaikan hidup. Hanya saja, pendekatan yang satu dirasa mulai tidak relevan.