Peringkat dua untuk kata yang paling membuat bising di perbincangan sehari-hari baik di kehidupan nyata maupun di media saat ini adalah milenial. Jika sedang tidak ada kerjaan, cobalah menghitung berapa kali kata itu terdengar dalam 1 hari. Setidaknya, bos Anda, kolega Anda, teman Anda, atau bahkan driver Gojek pasti menyuarakannya.
Banyak yang mulai merasa risih dengan kata tersebut, sebab semakin gampang orang mengucapkannya, semakin jauhlah kata itu dari pemaknaan yang beralasan. Terbukti, lebih banyak mitos tentang milenial ketimbang fakta yang sesungguhnya. Milenial dianggap malas, pilih-pilih, suka mengeluh, suka nyambi main game atau nonton Youtube, dan masih banyak lagi.
Pada 20 Mei 2013, majalah Time membuat edisi khusus tentang generasi milenial, dengan judul sampul yang menggelitik: The Me Me Me Generation. Laporan utamanya ditulis oleh Joel Stein, dengan judul yang kurang lebih sama (The Me Generation). Dikemas dalam gaya bahasa yang cenderung satir, Joel Stein memberikan pemetaan profil milenial, yang disebutnya: manja dan narsistik, memiliki masa kanak-kanak yang dipanjangkan sampai usia dewasa, terkadang sangat melodrama karena pengaruh Youtube yang mengaburkan batas antara nyata dan tidak nyata dengan aneka reality show-nya, dan tentu saja anti-otoritas. Namun, mereka juga percaya diri, bekerja keras, bersikap pragmatis sekaligus realistis, optimistis, dan akrab dengan gaya pemikiran yang strategis.
Pada intinya, Joel melihat, meski ada kecenderungan yang “berbeda” dan kadang “bertentangan” dengan nilai-nilai yang dianut generasi sebelumnya, generasi milenial adalah masa depan yang harus dikelola, sebab segala kemudahan, keterbukaan informasi yang didapat generasi ini, menjadikan generasi ini sebagai generasi yang membawa potensi yang sangat besar.

Untuk mengerti secara lebih jernih, buku karangan Bruce Tulgan berjudul Not Everyone Gets A Trophy. How To Manage The Millennials dapat dijadikan referensi, terutama untuk pelaku di dunia kerja. Bruce dalam kalimat pertama di bagian pengantar secara gamblang mengatakan: saya menulis buku ini dengan misi yang jelas, yaitu membantu para pemimpin dan manajer—terutama mereka yang lebih tua dan berpengalaman—untuk membawa hasil maksimal dari karyawan-karyawan muda.
Dengan misi yang segamblang itu, buku ini tidak terjerumus dalam glorifikasi atas generasi muda ini. Generasi milenial bukanlah anak ajaib. Sikap-sikap mereka yang terkesan anti-otoritas bukanlah sesuatu yang patut dirisaukan. Tidak ada alasan untuk memojokkan mereka, sebab setiap generasi pasti memberontak terhadap generasi sebelumnya. Bukankah setiap generasi karyawan muda membikin jengkel yang tua, yang lebih berpengalaman? Itu sudah jadi alur hidup (rite de passage).
Keunikan Generasi Milenial, yang lahir dari 1977 – 1989 (yang disebut sebagai Generasi Y), dan gelombang keduanya yang lahir mulai 2000 (disebut Generasi Z), adalah uncertainty. Kesalingterhubungan (interconnectedness) dan teknologi informasi yang sangat maju membuat milenial lebih terbuka dengan ketidakpastian. Pergantian yang datang setiap saat telah menjadi akrab. Selain itu, mengapa mereka tampak sangat percaya diri?
Alasan utamanya adalah karena mereka bertumbuh dalam dan setelah Decade of the Child. Generasi X adalah generasi yang sangat tak terawasi (great unsupervised generation) . Tapi, milenial adalah generasi yang terawasi secara berlebihan (great over-supervised generation). Di masa kanak-kanak Generasi X yang pendek dan di masa kanak-kanak Generasi Milenial, membuat hati anak menjadi mongkok dan membangun penghargaan-diri merupakan tema yang dominan dalam parenting, pengajaran, dan konseling.
Dengan segala cara, orangtua-orangtua generasi milenial membimbing, mengarahkan, mendukung, mengajari, dan melindungi mereka. Mereka dihargai, dirawat, dijadwalkan, diukur, didiskusikan, didiagnosis, diberi obat, dibuatkan program, diakomodasi, dilibatkan, diberi hadiah, dan diberi imbalan sepanjang mereka bisa mengingat. Orangtua mereka bertekad untuk menciptakan generasi anak-anak super, barangkali juga dengan mempercepat masa kecil mereka.
Meski memiliki segepok karakteristik yang tampak istimewa, Bruce menyadarkan para manajer untuk tidak mengistimewakan. Anda hanya perlu mengenali, dan berusaha untuk tidak menyamaratakan, sembari tetap memberikan tanggungjawab yang sepadan. Maka itu, dalam bab ketiga, buku ini memberikan kiat-kiat yang sangat detail tentang pengelolaan generasi milenial tersebut. Saya paling suka dengan tips terakhir, yaitu Turn Every Employee into a Knowledge Worker:
Tantangan yang nyata adalah untuk membuat mereka fokus dengan pekerjaan yang Anda percayakan pada mereka, sembari mendorong mereka untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam bekerja. Semakin Anda menyemangati milenial untuk berpikir tentang pekerjaanya—entah apa pun bentuknya—semakin mereka terlibat. Semakin Anda mendorong mereka untuk belajar sambil bekerja, mereka akan semakin baik dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.

Selain hal-hal tersebut, buku ini tampak sangat praktis dalam segala situasi yang terbayangkan. Khas buku-buku how-to Amerika, buku ini menguraikan cara menolong milenial untuk bisa menaruh perhatian pada Customer Service, cara mengajarkan pada mereka cara mengatur diri sendiri, cara mengajarkan mereka untuk bisa dipimpin oleh manajernya, dan cara mengupayakan kaderisasi.
Satu hal yang menarik adalah pendekatan In Loco Parentis Management, yang berarti sebuah manajemen untuk menggantikan posisi ortu karyawan-karyawan milenial yang dilakukan oleh pimpinannya. Menurut Bruce, Anda perlu terhubung secara individual dengan milenial, sebab itulah yang mereka butuhkan.
Ketika saya mengatakan “perhatianlah pada karyawan Anda”, bukan berarti saya menuntut Anda untuk mencintai karyawan Anda seolah mereka adalah anak-anak Anda sendiri atau membiarkan mereka tinggal di lantai bawah. Tapi, Anda perlu membimbing mereka melalui babak-babak awal kehidupan profesional mereka dan di babak selanjutnya. … Anda tidak harus masuk terlalu jauh ke pikiran-pikiran, perasaan, atau motif yang paling pribadi. … Anda hanya perlu memberi perhatian yang cukup untuk membantu orang ini sukses di pekerjaannya, setidaknya ketika orang ini bekerja untuk Anda.
Saya sadar bahwa bab ini diberi judul “in loco parentis management”, tetapi jangan salah kaprah. Saya tidak mengajak Anda untuk berpura-pura menjadi orang tua bagi karyawan-karyawan Anda. Malahan, Anda tidak boleh berpura-pura dalam hal apa pun. Milenial memiliki detektor bull shit, terutama bagi figur-figur yang memegang kuasa. Anda hanya perlu bersikap otentik untuk bisa sukses bersama mereka.
Secara sekilas, saya harus jujur bahwa buku ini menarik untuk didalami. Pembahasan mengenai milenial di buku ini akan memberikan pemahaman yang lebih benderang, lengkap dengan konteks yang diriset secara mendalam. Namun demikian, buku ini akan menjadi tidak istimewa, jika sesungguhnya Anda tahu bahwa prinsip-prinsip yang dilakukan adalah prinsip yang berlaku universal. Setiap orang, dari generasi mana pun, berhak untuk didampingi, diberi perlakuan yang adil, dan diberi kepercayaan.
Oh iya, ngomong-ngomong, peringkat satu yang paling membuat bising saat ini adalah disruption, alias disrapsyen. Ya, kata itu lama-lama malah semakin kabur.
penasaran min ma bukunyaa
LikeLike