Apakah Kita Masih Membutuhkan Buku?

“Zaman sekarang, memangnya masih ada orang yang membaca buku!?” Bukan sekali dua kali, saya bertemu orang yang berseloroh demikian. Saya sering mengganggap komentar itu sebagai angin lalu, karena percaya banyak orang membaca buku. Namun, ada ironi yang akhirnya menyita perhatian saya, yaitu ketika ada penjaga toko buku yang mengeluhkan jualannya yang tidak kunjung laku. “Besok saya mau resign saja, Mas. Jualan buku absurd,” keluhnya.

Ada asumsi bahwa buku bukan komoditi bagus. Orang tidak lagi membeli buku, apalagi membaca. Orang juga tidak memprioritaskan informasi yang didapat dari buku, bahkan sebagian orang seolah terasing dari buku. Dungulah orang yang masih mau berjualan buku, begitu keyakinan mereka. Buku seolah objek di lukisan-lukisan tentang zaman medieval yang terpajang di museum, yang ditonton orang-orang modern sambil sibuk memperhatikan ponselnya yang cerewet.

Tapi, apakah realitanya semiris itu?

Bahwa buku tidak lagi merupakan bisnis yang lezat, adalah perkara lain, sebab faktor-faktor bisnis cukup banyak, dan perlu diteliti secara akurat. Pertanyaan yang perlu dijawab lebih dulu, adalah benarkah kita tidak membutuhkan buku? Tentunya ini adalah pertanyaan penting, yang setiap jawabannya dapat menjadi bahan permenungan masing-masing dari kita.

Kita Tidak Membutuhkan Buku?

Ada 2 alasan utama mengapa kita (merasa) tidak membutuhkan buku. Pertama, kemajuan teknologi informasi telah merevolusi ongkos informasi itu sendiri. Dengan kata lain, akses informasi menjadi lebih mudah. Dan, murah. Informasi tentang perkara sehari-hari hingga yang terkait karier di masa depan, berserakan di berbagai platform internet. Keuntungan yang diukur dari frekuensi klik, semakin “mempermurah” nilai berita. Persaingan layanan informasi ini berputar-putar pada perkara siapa yang paling cepat, paling banyak, paling praktis, bahkan paling murah.

Bisa dibayangkan, betapa payahnya buku bersaing dengan informasi di internet.  

Kedua, situasi di atas membuat audiens senang dan menciptakan kebutuhan riil akan kuota internet. Kebutuhan akan internet naik menjadi kebutuhan primer, sehingga mengubah persepsi orang akan nilai suatu barang. Mahal atau tidaknya suatu barang, kini diukur dengan harga paket internet. Buku terpaksa harus tergeser dari prioritas kebutuhan orang saat ini, sebab dianggap mahal dan bisa digantikan.

Misalnya begini, sebuah buku hasil riset seorang lulusan fakultas kedokteran dibanderol dengan harga Rp85.000,00 akan dianggap terlalu mahal, dibandingkan paket internet seharga Rp60.000,00. Nominal sebesar itu dapat dipakai selama hampir sebulan, untuk mengakses tutorial di Youtube tentang perkara-perkara kesehatan—yang diulas di buku riset sang dokter, melakukan jual-beli di toko online, dan membaca artikel-artikel lain di situs berita online.

Namun demikian, sejujurnya, de facto benarkah harga buku mahal? Saya sering bertemu orang yang menyalahkan harga buku, atas problem rendahnya literasi. Tentu saja, dilihat dari hukum ekonomi, premis itu benar, sebab siapa pun akan urung membelanjakan sesuatu yang dianggap terlalu mahal—selama ada alternatif lain. Tetapi, mari kita pindahkan fokus permasalahan harga itu. Harga buku adalah sebuah mekanika bisnis. Perusahaan penerbitan telah melakukan perhitungan sedemikian rupa, sehingga bisnis bisa berkelanjutan. Margin keuntungan adalah rahasia perusahaan, tapi kita baiknya sama-sama tahu bahwa tidak ada bos penerbitan buku di Indonesia yang masuk dalam daftar 10 orang terkaya. Kalau bos telekomunikasi, banyak. Sebaliknya, jika ngotot mematok harga buku di angka yang rendah, siapa yang akan menjamin kelangsungan bisnis perbukuan?

Jadi, fokus permasalahan harga buku harus kita pindahkan pada sejauh mana pemerintah mampu memberi sokongan, sehingga harga buku menjadi lebih terjangkau dan tepat sasaran (artinya: sokongan diberikan pada lapisan masyarakat yang memang tidak mampu menjangkau produk ini). Sokongan dapat berupa subsidi, insentif untuk penerbitan dan penulis, atau dalam bentuk sumbangsih penanganan problem di bidang perbukuan—yang paling nyata adalah pembajakan.

Mengapa, harus pemerintah? Pasalnya, buku adalah komponen literasi, yang terbukti vital, seperti halnya sembako, BBM, atau perumahan. Kita sepakat, dengan literasi yang rendah, Indonesia tidak akan mampu mentas dari statusnya sebagai negara berkembang. Dengan serangkaian program pemerintah, tentu perlahan tapi pasti, buku dapat terinkorporasi dalam kegiatan-kegiatan formal maupun non-formal, sehingga menjadi kebutuhan yang nyata.

Sekali Lagi, Apakah Kita Membutuhkan Buku?

Lupakanlah dulu soal imajinasi kita tentang dunia perbukuan, dan keluh kesah kita bahwa “seharusnya begini, seharusnya begitu”. Berpijak pada kenyataan sekarang ini, patutlah kita teliti sungguh-sungguh, apakah masyarakat membutuhkan buku. Jika memang membutuhkan buku, tentu kita akan membeli terlepas harganya seberapa, seperti halnya beras, minyak goreng, atau BBM. Kebutuhan akan barang-barang tersebut nyata.

Jawabannya simpel, ya, kita masih membutuhkan buku.

Buku adalah salah satu hierarki tertinggi pemerolehan informasi saat ini. Anda akan lebih merasa aman dan puas jika sumber informasi adalah dari buku ketimbang berita online, media sosial, televisi, radio, atau pengakuan sembarang orang. Kalau dokter melakukan diagnosis dengan meng-googling keluhan Anda, apakah Anda tidak meragukan kemampuan dokter tersebut? Anda juga akan protes kalau materi-materi pelajaran anak Anda di sekolah didapatkan dari internet. Anda tentu berharap kualitas dokter atau guru tersebut bisa lebih diandalkan—dan itu bisa ditunjukkan dengan terjaminnya kualitas acuan atau sumber yang digunakan, yang adalah buku.

Buku adalah pertanggungjawaban terbaik kualitas seseorang atau suatu institusi. Kita membutuhkan buku, karena buku merupakan bentuk pertanggungjawaban paling baik kualitas seseorang atau suatu institusi. Disebut baik karena wahana buku bersifat sahih, yaitu teruji keabsahannya, sekaligus historis, yaitu terdokumentasi dengan baik. Seorang arsitek yang hebat dan telah membangun menara membutuhkan buku untuk mempertanggungjawabkan rincian pemikirannya tentang karya-karyanya, sekaligus mendokumentasikannya untuk pembelajaran generasi berikutnya. Demikian pula jenderal, politisi, pengacara, membutuhkan media buku untuk kepentingan yang sama. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi berita online, status FB, video, dan semacamnya.

Buku adalah format properti intelektual yang paling praktis untuk jangka panjang. Properti intelektual meliputi produk-produk teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Dari seluruh produk, format buku adalah yang paling praktis, karena dapat disimpan, dipegang, dibawa, dan diwariskan secara turun temurun. Baik dalam format cetak maupun ebook, buku tetap menjadi format yang paling praktis.

Jadi, apakah kita masih membutuhkan buku? Sekarang tengoklah di sekitar Anda, pasti akan Anda temukan setidaknya 1 buku di sekitar Anda. Sekali lagi, kita tidak dapat lepas dari buku. Jika toh saat ini Anda tidak berminat membaca, itu hanyalah masalah waktu. Ada saat ketika buku akan menemukan Anda.

Peruntungan “Buku Motivasi” Setelah Pandemi

Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara bertahap status pembatasan sosial di berbagai wilayah. Hal ini dianggap sebagai sinyal telah mulai meredanya pandemi Covid-19. Beberapa pihak mulai mengambil ancang-ancang strategi bisnis, tidak terkecuali industri buku. Meski demikian, insting mengatakan bahwa perilaku pasar pasca-Pandemi tentu telah mengalami perubahan. Salah satu yang jelas berubah adalah pada genre buku motivasional.

Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara bertahap status pembatasan sosial di berbagai wilayah. Hal ini dianggap sebagai sinyal telah mulai meredanya pandemi Covid-19. Beberapa pihak mulai mengambil ancang-ancang strategi bisnis, tidak terkecuali industri buku. Meski demikian, insting mengatakan bahwa perilaku pasar pasca-Pandemi tentu telah mengalami perubahan. Salah satu yang jelas berubah adalah pada genre buku motivasional.

Secara garis besar, buku motivasional adalah seluruh buku yang menyemangati pembaca untuk mengembangkan diri, biasanya dengan ukuran kesuksesan material, psikologis, spiritual, maupun gabungan dari ketiganya. Dunia buku motivasi Indonesia mengenal penulis-penulis terkenal—lalu mendapat julukan motivator—seperti Andrie Wongso, Mario Teguh, Merry Riana, Bong Chandra, Tung Desem Waringin, Ary Ginanjar, dan masih banyak lagi. Mereka telah lama menikmati kue besar di arena industri buku motivasional, yang tampaknya tidak pernah surut seiring maraknya budaya produktivitas di negara yang sedang sibuk membangun ini. Tidak mengherankan penulis-penulis baru terus bermunculan.

Dari data internal jaringan toko buku Gramedia (per September 2021), departemen self improvement—induk dari genre motivasi, berkontribusi membukukan penjualan sebesar 10%, tidak terpaut jauh dari kontribusi tertinggi yang dipegang oleh departemen buku anak, yaitu sebesar 15%, dan tertinggi kedua yang dipegang oleh departemen novel, yaitu sebesar 14%. Data ini dapat dibaca sebagai seberkas optimisme oleh penerbit maupun motivator, bahwa di tengah pandemi, animo masyarakat Indonesia untuk datang ke toko buku dan memprioritaskan pembelian buku motivasi masih tinggi.

Meski demikian, setidaknya terbit 2 pertanyaan. Pertama, apa karakteristik khas buku motivasi yang digemari—atau dianggap relevan—oleh masyarakat selama pandemi ini? Kedua, bisakah ditarik suatu proyeksi tentang karakteristik-karakteristik buku motivasi setelah pandemi nanti?

5 Besar Buku Motivasi dengan Penjualan Terlaris

Sejujurnya bukanlah perkara mudah memberi nasihat motivasional di saat semua orang merasakan petaka pandemi ini. Durasinya yang sangat lama (hampir 2 tahun) memberi imbas ekonomi yang dahsyat dan merata, sehingga orang lebih butuh sesuatu yang nyata ketimbang teori-teori penyemangat. Maka, selalu menjadi pertanyaan insan perbukuan, karakter buku motivasional seperti apa yang berhasil di masa ini?

Lima besar buku motivasi (self-improvement) dengan penjualan terlaris pada bulan September 2021 meliputi judul-judul berikut: (1) Rahasia Magnet Rezeki karya H. Nasrullah, (2) Atomic Habits: Perubahan Kecil yang Memberikan Hasil Luar Biasa karya James Clear, (3) Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson, (4) Filosofi Teras karya Henry Manampiring, dan (5) Insecurity is My Middle Name karya Alvi Syahrin. Rata-rata judul tersebut merupakan terbitan lama, kecuali Insecurity is My Middle Name yang dirilis pada Mei 2021.

Ditilik dari sudut pandang tema, semua mengangkat kesuksesan dari sudut pandang pengolahan kematangan jiwa/psikologis. Buku Rahasia Magnet Rezeki—cukup sekilas dilihat dari cover dan sinopsisnya—mengupas tema tersebut dari sudut pandang nilai-nilai Islami. Atomic Habits mengangkat tema manajemen pribadi yang diawali dari hal yang paling sederhana. Buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat mengadvokasi jiwa generasi muda yang kesulitan menemukan representasi yang sehat di dalam zaman modern yang serbarakus dan konsumeristis. Buku Filosofi Teras menghidupkan lagi pandangan lama tentang Stoikisme yang lama sempat tenggelam. Dan, buku Insecurity is My Middle Name rupanya menyambar isu kerentanan dan kerapuhan jiwa anak-anak muda dalam upaya pendewasaan diri. 

Baik di luar maupun di dalam negeri, motivator selalu identik dengan slogan optimistis, yang terkadang justru terdengar bombastis. Namun, bukan kebetulan bahwa mayoritas buku yang terdapat dalam daftar 5 besar ini tidak mengangkat klaim yang bombastis (satu-satunya perkecualian adalah istilah magnet rezeki di judul buku milik H. Nasrullah). Bahkan dalam pengantar buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat terdapat ajakan untuk jangan berubah, untuk meyakinkan bahwa perubahan yang paling ideal bukan didorong oleh klaim-klaim kesuksesan orang lain atau oleh pencapaian sosok seleb yang dipamerkan di media-media sosial, tapi dari proses kesadaran dan tanggung jawab setiap individu. Alih-alih bombastis, sebagian besar buku ini berbicara tentang pentingnya percaya pada proses yang sederhana, dan jangan takut (insecure) pada hal-hal di luar diri kita. Dalam situasi ketidakberdayaan (akibat pandemi), barangkali yang dicari adalah penyemangat yang sederhana layaknya sahabat, bukan pemberi mimpi bombastis.

Cakupan makna “sederhana” tersebut tentu saja terbuka untuk diperdebatkan, sebab sederhana bukan berarti mudah dibuat. Penulis-penulis di atas jelas memiliki kecakapan yang mumpuni. Yang kita anggap sederhana, dirancang sedemikian rupa dengan riset yang mendalam. Jangan berasumsi, tema sederhana berarti tema yang medioker. Apalagi, seperti kata Leonardo da Vinci (konon, bukan betul-betul ucapan da Vinci), “Kesederhanaan adalah puncaknya kerumitan.”

Peruntungan Buku Motivasional

Berbicara tentang peruntungan, orang spontan bertanya: apakah di masa pandemi, cara mudah untuk cepat menangguk cuan adalah menulis “buku motivasi”? Nah, yang jauh-jauh hari perlu diingat, di masa kapan pun, menulis buku motivasional tidak pernah mudah. Buku motivasional yang bagus dan laris, bukanlah sekadar hujan kata-kata indah. Meski begitu, jika berbicara cuan, tentu saja fakta tentang data penjualan genre self-improvement di bagian sebelumnya sudah cukup menjawab. Dengan kata lain, buku motivasional tetap memiliki panggung.

Belajar dari data yang ada, kiranya ada beberapa insight untuk tema buku motivasional pasca-pandemi yang terkelompokkan dalam 3 kategori:

  1. Zona hijau: Yang dimaksud dengan zona hijau adalah penerbitan buku yang sejalan dengan tren. Disebut hijau karena dengan mengusung tema-tema yang telah terbukti penjualannya, penerbit tentu akan lebih mudah menerima. Ini meliputi ciri-ciri berikut: (a) tidak melulu bertumpu pada pencapaian kesuksesan material, (b) tidak menjanjikan nilai-nilai yang bombastis, (c) tidak mengabaikan faktor insecurity/kerapuhan psikologis pembaca.
  2. Zona kuning:Yang dimaksud dengan zona kuning adalah penerbitan buku yang sedikit “memberontak” dari tren. Mengikuti tren memang baik, tapi pesaingnya (baik penulis lama maupun penulis baru) tentu sangat banyak, sehingga akan lebih “berdarah-darah”. Maka, diperlukan modifikasi (tweak) tema. Tema utamanya masih sama, namun ada bagian yang dimodifikasi, entah pada penjabaran teknis, sudut pandang, pengemasan isi, dan lain sebagainya. Penerbit mungkin perlu waktu untuk diyakinkan, namun tidak akan langsung menolak.
  3. Zona merah: Yang dimaksud dengan zona merah adalah tema-tema yang jauh berbeda, bahkan mungkin masih mengangkat tema-tema lama yang bombastis. Bukan berarti tema ini jelas tidak akan bisa diterima, tapi tema ini tentu akan sangat menantang. Direkomendasikan untuk penulis yang telah memiliki komunitas, jaringan kokoh, atau nama besar.

Ada ide atau sanggahan? Tulis di kolom komentar, ya!

Musim Mengubur

1

Untuk orang yang mengalami kedukaan, tidak ada satu benda pun di dunia ini yang dapat menjadi silih. Kedukaan menjadikannya berjarak dari kehidupan, sebab seluruh barang dunia dalam sekejap, menjadi tidak relevan, karena tak bisa mengembalikan kepergian orang yang dicinta itu. Untuk sementara, ia menjadi emoh dengan segala hal di dunia ini.

Raut mukanya mungkin tampak biasa-biasa saja di pemakaman. Dia masih bisa tersenyum dan berbasa-basi, meski sejatinya kakinya seolah tidak menjejak di tanah dan jiwanya sedang melayang-layang—persis seperti larik-larik puisi Subagio Sastrowardoyo: aku telah sampai pada tepi/Darimana aku tak mungkin lagi kembali./Aku kini melayang di tengah ruang/Di mana tak berpisah malam dan siang./ (Manusia Pertama di Angkasa Luar, 1970).

Namun demikian, di hari kepulangan ayah saya pada 3 Juli yang lalu, saya tidak sempat merasakan itu—saya tak sempat melayang-layang. Pasalnya, di hari itu, ada 492 orang yang turut wafat akibat Covid di seluruh Indonesia, yang membuat kedukaan yang saya alami menjadi sesuatu yang terasa komunal, bahkan massal. Saya tidak sempat merasakan kesendirian. Ada perasaan kehilangan, tapi bersamaan dengan itu terbit pula belarasa pada ratusan keluarga lain yang juga sedang kehilangan—bahkan saya masih bisa mendoakan kawan atau kenalan yang sanak saudaranya tengah meregang nyawa. Tentu saja, saya juga berterima kasih karena menerima belarasa dari banyak orang.

Tepatlah pendapat Rutger Bregman dalam bukunya Humankind (2020):

It’s when crisis hits – when the bombs fall or the floodwaters rise – that we humans become our best selves.

2

Yang terjadi saat ini, sekilas seperti “musim mengubur”, yaitu musim ketika berita kematian mewarnai linimasa kita, selayaknya warna hijau yang bertebaran di jalan-jalan saat musim mangga. Sejak awal Juli, korban meninggal akibat Covid di Indonesia berkisar pada angka 1000 nyaris setiap harinya. Bahkan kemarin (22 Juli 2021), terdapat kematian 1440 jiwa. Itu adalah angka yang patut diratapi, terutama jika orang-orang yang kita kenal ikut terbilang di sana.

Pertanyaannya, apa yang kita ratapi: nasibkah?

Tak perlu meratap, sebab memang beginilah hidup. Petaka bukanlah hal baru, sebab dari waktu ke waktu selalu ada yang seperti ini. Nietzsche mengajak setiap orang untuk menghayati “amor fati”, bukan sekadar mengetahui, menerima, atau meratap, tapi juga mencintai nasib ini. Memang sudah nasib kita, menjalani hidup dengan segala untung dan malang, dan kita berduyun-duyun menyongsong kematian.

Inikah yang disuarakan banyak orang dalam sepotong jargon “berdamai dengan covid”? Barangkali karena wabah covid ini tidak mampu kita bendung, kita pun diajak untuk tidak menaruh harapan yang mustahil—terutama untuk waktu-waktu dekat, misalnya: semoga Agustus sudah bisa jalan-jalan dengan bebas, semoga Desember, sudah boleh nongkrong tanpa masker, dan semacamnya. Berdamai berarti menerima nasib—tepatnya, nasib yang apes.

Namun begitu, ada yang lebih mendasar. Konsekuensi logis di musim penguburan saat ini bukan saja berdamai dengan covid, namun berdamai dengan kematian. Bukan berarti leleh luweh dan “nekat mati”, berdamai dengan kematian berarti menaruh kematian dalam ujung tombak spiritualitas kita.

Jadi, kembali pada pertanyaan sebelumnya: apa yang patut diratapi dalam musim mengubur ini? Bukan nasib, melainkan sikap penyangkalan kita pada kematian.

3

Martin Hägglund, seorang filsuf muda asal Swedia, mengatakan bahwa keyakinan akan kehidupan kekal setelah mati, adalah salah satu sumber masalah di dunia ini. Dalam bukunya, This Life: Secular Faith and Spiritual Freedom (2019), ia berujar bahwa keyakinan semacam itu membuat orang tidak sungguh-sungguh merawat kehidupan, karena merasa hidup ini hanya peralihan. Hidup yang sesungguhnya bukan sekarang, tapi nanti sesudah mati. Padahal, seharusnya kesadaran bahwa kita semua akan mati, membuat kita saling menyadari kefanaan dan kerapuhan segala hal—bahwasanya, kehidupan ini memiliki batas. Batas itu adalah kematian, dan setelah kematian, siapa pun itu akan sirna dan tidak bisa lagi melanjutkan semua rencana dan proyeknya di bumi ini.

Martin Hägglund menyebutnya sebagai sense of finitude, yaitu: kesadaran akan kerapuhan segala benda yang kita sayangi. Ketika semua manusia sama-sama menyadari keberbatasan dunia ini, di situlah lahir secular faith (iman sekuler), yaitu: bentuk iman yang kita pegang ketika mengasihi seseorang atau sesuatu yang sangat mudah sirna. Kita semua mengasihi—diri sendiri, orang lain, dan seisi dunia tempat kita berpijak—dan kasih itu terpaut erat dan tak bisa lepas dari risiko kehilangan. Baginya, ini merupakan bentuk iman yang paling universal, yang bisa dihayati oleh siapa pun, baik yang relijius maupun yang tidak.

Ide Hägglund sederhana tapi merangkum seluruh tema tentang berdamai dengan kematian. Dia ingin mengatakan bahwa hidup ini akan kehilangan makna jika tak ada kematian. Berharganya kehidupan bukan pertama-tama disebabkan oleh janji akan hidup abadi sesudah kematian, tapi pada fakta bahwa hidup ini tidak abadi. Karena nyawa kita (dan seisi dunia) tidak abadi, adalah keharusan setiap orang untuk merawatnya.

Iman religius dapat kehilangan relevansinya jika gagal meresapi makna kematian itu. Konyol sekali, bahwa ada oknum relijius di Indonesia yang masih memandang enteng risiko kematian, lalu menyia-nyiakan nyawanya dan nyawa orang lain, dengan alasan iman pada Tuhan. Tidak ada belarasa sekaligus tidak memiliki sense of finitude. Padahal, perkara meresapi kematian itu harus sampai pada rasa sayang pada dunia dan seisi ciptaan yang fana ini—sayang yang sungguh-sungguh besar, bahkan sampai tidak mungkin ditukar dengan nikmatnya janji kehidupan kekal di surga. Di situlah, tumbuh “kedamaian dengan kematian” yang sesungguhnya.

Saya teringat akan bagian terakhir film Silence (2016) karya Scorsese. Romo Rodrigues (diperankan Andrew Garfield)—mengikuti jejak Romo Ferreira (Liam Neeson)—meninggal bukan lagi sebagai seorang Yesuit, tapi sebagai pendeta agama lokal Jepang. Mereka rela menanggalkan identitas itu, dianggap pengecut oleh semua pihak, demi berhentinya siksaan keji yang berturut-turut dialami jemaat Katolik yang mereka pimpin.

Menolak Ambyar ala Mark Manson

Apakah Anda pun mulai merasa kehilangan harapan?

Hari-hari ini, kita mengalami sebuah momen yang sangat langka. Baru sekaranglah, perhatian semua orang di seluruh dunia terpusat pada satu hal yang sama, yaitu pandemi virus Corona, yang telah merenggut puluhan ribu nyawa tanpa ampun, dan memarjinalkan setiap aktivitas ekonomi di segala bidang. Sayangnya, ini adalah sesuatu hal yang tidak menggembirakan. Detik ini, Anda dan 8 miliar penduduk dunia merasakan kegelisahan yang sama, bahkan barangkali sebagian besar mulai merasa takut, putus asa, atau depresi.

Membaca angka kematian di koran, mencermati prediksi krisis dan analisis ekonomi di televisi, dan menelusuri cuitan-cuitan pesimistis di Twitter, apakah Anda mulai bertanya-tanya: mengapa hidup menjadi sedemikian buram?

Anda mungkin terheran-heran sendiri, sebab dahulu, Anda masih bisa berpikir positif—seperti yang acap kali dianjurkan berbagai buku pengembangan diri. Harapan Anda sangat besar. Tapi, melihat realitas sekitar dengan mata kepala sendiri membuat Anda berpikir ulang. 

* * *

Jika kegelisahan-kegelisahan itu yang melanda Anda saat ini, buku Segala-galanya Ambyar barangkali dapat menemani Anda. Buku terbaru dari Mark Manson, seorang penulis muda dari Amerika yang sebelumnya begitu dikenal berkat Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, ini mencoba mendekati sisi kelam kehidupan. 

Hal pertama yang dikatakan oleh buku ini adalah: tenang. Ya, Anda diminta untuk tenang jika menghadapi hal-hal buruk ataupun kejadian yang sangat fatal sekalipun. Bukan karena Anda harus berpikiran positif, tapi karena apa yang Anda alami tidaklah istimewa. Jauh-jauh hari, ratusan atau ribuan tahun yang lalu, permasalahan yang Anda hadapi sudah pernah terjadi. Coba Anda sebutkan satu demi satu: peperangan? Wabah? Pembantaian massal? Bencana alam? Semua sudah pernah terjadi, bahkan lebih mengerikan.  

Dengarkan kutipan berikut:

Hampir sepanjang sejarah manusia, orang-orang pernah menjadi brutal, menganut takhayul-takhayul, dan berperilaku biadab.. Dahulu orang-orang sadis dan gampang kalap. Hampir sepanjang sejarah, dunia ini bukanlah tempat yang menyenangkan untuk ditinggali…

Mark Manson hendak mengatakan bahwa penderitaan adalah hal yang niscaya terjadi. Kemungkinan kita menghadapi hal seperti ini adalah: 50%. Kalau Anda terlahir di dunia, ya konsekuensinya mengalami penderitaan—termasuk di dalamnya pandemi. Kita tidak perlu panik, atau mengumbar-umbar kesedihan, melainkan hadapi dan terima, sebab kita bukan satu-satunya makhluk yang ditimpa kesialan. 

Hal kedua, Mark Manson juga hendak mengingatkan bahwa kehidupan kita saat ini adalah yang paling menyenangkan, dan kita memiliki semua sumber daya yang lebih dari cukup, yang sepatutnya membuat kita tidak mudah gelisah.Maka, jika Anda menjadi gelisah, depresi, panik, itu adalah respons yang keliru.

Mengapa keliru? Karena barangkali Anda menggantungkan harapan pada hal-hal yang irasional. Jika dalam hidupnya, seseorang selalu yakin bahwa ia harus diperlakukan dengan baik dan tidak boleh dikhianati, suatu saat ketika ia bertemu dengan seorang bos yang tegas dan tidak pandang bulu, bisa jadi ia akan stres dan depresi. Orang ini menggenggam erat harapan bahwa semua orang harus memperlakukan dia dengan baik, padahal kenyataannya tidak bisa begitu. Kenyataan tidak mengikuti keinginan atau harapan kita. 

Sama halnya, dengan orang yang meyakini bahwa karena selama ini ia berbuat baik, tidak mungkin ia tertimpa malabencana. Ia berharap dunia berjalan sesuai keyakinan tersebut. Padahal, pandemi tidak memandang identitas—semua kena libas.

Dengan kata lain, dalam buku Segala-galanya Ambyar ini, Mark Manson menggarisbawahi harapan sebagai biang kerok permasalahan psikis manusia modern. Semakin hidup dipermudah, semakin orang mengharapkan bahwa hidup HARUS berjalan sesuai keinginan mereka. Maka, ia mengatakan: lepaskan harapan, jika Anda ingin hidup bahagia—maksud Manson adalah harapan-harapan yang tidak rasional itu.

Hal ketiga, Mark Manson justru mengatakan bahwa hidup ini akan jauh lebih membahagiakan jika Anda bisa beraktivitas sehari-hari tanpa menaruh harapan apa pun. Benarkah itu? Ya, Anda tidak salah dengar. Bahkan, Manson memberi contoh nyata, yaitu kehidupan seorang filsuf besar, Immanuel Kant.

Dengarkan kutipan berikut:

Kant bersikap bodo amat. Dan menurut saya, sikap bodo amatnya sungguh ada dalam kualitas yang paling murni dan paling mendalam. Ia adalah satu-satunya pemikir yang membuat saya terkesan, yang menghindari harapan beserta tumpuannya, yaitu nilai-nilai manusiawi yang cacat.

Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup tanpa berharap? Bisa. Orang yang mencintai pasangannya dengan harapan dirinya balas dicintai, tidak akan pernah bahagia, sebab ia melakukan suatu usaha dengan pamrih, dan sewaktu-waktu, akan kecewa. Jadi, kalau Anda ingin bahagia, cintailah pasanganmu tanpa berharap apa pun. Cintai dia karena Anda memang percaya bahwa mencintainya adalah sebuah tindakan yang baik. Titik. Tanpa harapan apa pun.

Memang, Manson tidak serta merta mengatakan bahwa harapan itu harus dihapus. Tidak. Anda boleh, bahkan harus memiliki harapan. Hanya saja, harapkanlah sesuatu yang memang sudah jelas akan terjadi. Misalnya: jika Anda memutuskan akan menikah, jangan berharap Anda dan pasangan Anda akan bahagia sampai akhir hayat, sebab itu tidak mungkin. Alih-alih, berharaplah Anda dan pasangan Anda bisa menghadapi suka dan duka, kebosanan dan krisis, yang jelas pasti akan menimpa. Atau, jika Anda membeli ponsel terbaru, jangan berharap ponsel itu membuat Anda tampak lebih berwibawa, sebab itu mustahil. Ponsel tetaplah ponsel, harapkanlah alat itu bisa membantu Anda berkomunikasi dan bekerja dengan lebih lancar.

Dan, jika saat ini Anda hidup di dunia, jangan berharap Anda akan selamanya bahagia—sebab itu tidak mungkin. Sewaktu-waktu terjadi bencana, yang mana sangat mungkin terjadi, Anda bisa kecewa berat. Pertanyaannya: apa yang seharusnya kita harapkan pada kehidupan ini? Nah, untuk itu, Manson sudah mengulasnya dengan sangat gamblang dan jenaka. 

* * *

Terus terang, kekuatan buku ini ada pada gaya Mark Manson. Berbeda dengan penulis-penulis sains lainnya, seperti Yuval Noah Harari atau Steven Pinker atau Hans Rosling, Manson mampu mengulas 3 kombinasi tema besar, yaitu filsafat, sejarah, dan psikologi klinis, dengan gaya yang ringan dan dibungkus dengan cerita yang menarik. Dengan begitu, segalanya menjadi tampak ringan dan sangat mudah dicerna. Tidak terasa, sebuah sejarah pemikiran modern berabad-abad sedang diterangkan oleh Manson.

Jika dalam buku terdahulu, ia mengenalkan frasa yang populer: bodo amat—sebagai terjemahan dari not give a f*ck, kali ini Manson memakai frasa yang tidak kalah menariknya: ambyar—sebagai terjemahan f*cked. Tidak berlebihan memang, sebab kata ambyar mewakili kondisi faktual maupun psikis, ketika kita bersentuhan dengan kekecewaan yang mendalam, bahkan kehancuran. 

Tapi, poinnya bukan sekadar pada kehancuran atau keambyaran, melainkan pada perspektif dewasa kita dalam menerima segalanya dengan lapang dada. 

Dan, Filsafat Semakin Akrab (Setelah Pandemi)

Pada 25 Maret 2020, ketika pandemi coronavirus telah meraksasa dan melibas nyaris seluruh dunia, ketika jumlah kematian di Italia dan Spanyol mencapai di atas 500 orang setiap hari, dan ketika Indonesia mulai kalang kabut menggalang pertahanan, Slavoj Žižek mengeluarkan sebuah buku, berjudul Pandemic!. Pada akhirnya, Žižek, sang filsuf turun juga.

Pandemic!—yang dibagikan secara gratis oleh penerbit OR Books dan keseluruhan royaltinya akan disumbangkan ke LSM Médecins Sans Frontières (untuk itu saya perlu angkat topi)—merupakan sebuah percikan telaah terhadap situasi akibat pandemi. Sampulnya cukup menggelitik, menampilkan permainan tipografi yang menyendirikan huruf-huruf “dem” dalam “pandemic”, sehingga terbaca menjadi “panic”, alias panik. Ya, bencana, kepanikan, dan filsafat. Mungkinkah pada akhirnya, kita belajar sesuatu dari ranah filsafat, dalam kondisi seperti saat ini?

Perlu diingat bahwa filsafat telah lama memperoleh status sebagai minoritas, dalam konteks kehidupan masyarakat di Indonesia. Tidak banyak orang yang tahu apa sebenarnya yang dipelajari dalam ilmu filsafat, tapi toh mereka bisa-bisanya melabeli filsafat sebagai: kerumitan, sesuatu yang mengawang-awang, sesuatu yang tidak berguna, dan topik kurang kerjaan. Secara khusus di dunia perbukuan, filsafat juga tidak pernah meyakinkan untuk “dijual”, tertimbun buku-buku yang lebih seksi, seperti kumpulan puisi pendek, motivasi, petuah karier, atau novel.

Namun, setelah buku baru Žižek diunduh secara masif di internet, dan artikel-artikel Yuval Noah Harari, Mark Manson, Nassim Thaleb, serta kutipan-kutipan dari Epictetus, Albert Camus, atau Markus Aurelius tersirkulasi di Instagram, barangkali inilah saat filsafat mulai mendapat tempat di dalam masyarakat. Benarkah? Apakah pada akhirnya, filsafat akan diminati? 

Absurditas adalah Kunci

Žižek menyebut fenomena corona (di Eropa) sebagai perfect storm, sebuah badai dahsyat yang sangat langka terjadi. Meledaknya virus corona membuat beberapa isu keburukan birokrasi politik di beberapa negara (Rusia, AS, Turki, dan Cina) menguat, dan menambah kacau mitigasinya. Kedahsyatan corona membuat orang kehilangan harapan atas berbagai aspek; bukan saja kesehatan, tapi juga pemerintahan, birokrasi, masyarakat, dan bahkan sistem ekonomi.

Ini adalah momen ketika kita keluar rumah dan yang kita lihat adalah segala institusi mendadak tampak reyot, dan bersiap untuk roboh. Jika tidak ditangani segera, semua akan benar-benar roboh. Tapi masalahnya, bagaimana membenahinya? Ini adalah pertanyaan utama, dari sekian pertanyaan yang memberondong kita saat ini.

Misalnya, dari segi kemasyarakatan: apa yang bisa kita lakukan untuk menyokong lapisan masyarakat yang tiba-tiba berpenghasilan nol, tanpa tahu sampai kapan? Apakah mereka begitu Karena kesalahan mereka sendiri, atau kesalahan struktur? Apa jadinya jika mereka menimbulkan huru hara, dan meminta keadilan? Apakah mereka memiliki hak untuk kita tolong, dan siapakah yang wajib menolong mereka, individu atau negara? 

Dari segi politik: apakah prioritas pemerintahan adalah menjaga stabilitas ekonomi atau stabilitas politik? Mengapa kita tidak mendapatkan data secara transparan? Mengapa aura militer begitu kuat dalam situasi ini—apakah itu artinya selama ini, militer mengatur semuanya? Jadi apakah kita benar-benar demokratis? Apa itu kontrak politik?

Bahkan dari segi spiritual: jika beribadah bisa dilakukan di dalam rumah, lalu seberapa penting kegiatan agama secara kolektif yang selama ini kita lakukan? Bukankah begini saja sudah cukup?

Derajat kemendesakan membuat pertanyaan-pertanyaan tersebut sewaktu-waktu bisa menjelma kepanikan, sebab jawaban-jawabannya tidak kunjung datang. Sementara, realitas tidak peduli apakah pemahaman kita siap atau tidak. Dalam kondisi bencana yang bergulir terus, tanpa kita memiliki jawaban yang pasti, masing-masing orang mengalami absurditasnya sendiri-sendiri. Absurditas adalah kondisi buyarnya nilai-nilai yang selama ini kita yakini, kondisi ketika akal sehat (common sense) saja tidak cukup, sehingga kita kini tertinggal sendiri tanpa memiliki pegangan, tanpa memiliki harapan.  

Tren Mencari Esensi

Kita berutang pada situasi absurd ini, yang secara psikologis memaksa orang untuk mencari sesuatu. 

Apa yang kita cari ketika mobil kita rusak di pagi hari? Kita mencari alat transportasi pengganti, entah itu sepeda atau angkutan umum. Apa yang kita cari ketika gaji kita dipotong dan cicilan harus dilunasi? Kita mencari sumber pendapatan lain, entah itu berjualan barang atau menawarkan jasa. 

Lalu, apa yang kita cari ketika harapan dan keyakinan kita hilang? Yang kita cari adalah esensi hidup. Esensi adalah tujuan utama atau hakikat. Dia bisa ditemukan, salah satunya dengan mengabaikan hal-hal yang tidak penting. Sebelum ada bencana, kita dibanjiri dengan informasi-informasi yang tidak penting (fesyen, gosip, selebritas pamer tubuh-materi-atau-rumor, info operasi pemancungan hidung, sepatu lari yang paling ringan). Masyarakat tidak dibebani oleh kemendesakan apa pun, sehingga hal-hal tidak penting itu menjadi sebuah komoditas dengan nilai yang fantastis. 

Setelah badai corona menerpa, insting semua manusia adalah menyelamatkan diri. Fesyen tidak bisa menyelamatkan kita. Gosip apalagi. Selebritas, pemain bola, aktor, tiba-tiba tidak lagi menarik. Kita berusaha menyelamatkan hal-hal yang penting, termasuk di dalamnya adalah: keyakinan-keyakinan kita akan kemanusiaan, keadilan, Tuhan, atau etika. Itu semua adalah hal-hal yang abstrak, yang tidak bisa dilihat dan digenggam, seolah kita sedang memilih-milih syampo di minimarket. Tapi toh kita membicarakannya, mempertanyakannya, membandingkannya, menyalahkannya, hingga pada akhirnya membutuhkan pencerahan tentangnya.

Dan, jika beruntung, kita sampai pada kesadaran bahwa filsafat akan menolong kita.

Peluang Perbukuan

Buku filsafat adalah jenis yang susah dijual. Padahal, filsafat itu luas sekali. Filsafat bisa menyangkut hal-hal yang sangat abstrak, misalnya mengupas tentang apa yang ada dan tidak ada (metafisika), tentang apa yang baik dan yang jahat (etika), tentang apa yang indah dan buruk (estetika), dan lain sebagainya. Tetapi, filsafat juga bisa menyangkut hal-hal yang populer dan dekat, misalnya tentang budaya pop, kecenderungan milenial, sejarah kemanusiaan, dilema bisnis, hukuman mati, universal basic income, dan lain-lainnya.

Mungkinkah perkara “ketidakmenjualan” ini disebabkan oleh tema itu sendiri, atau sesungguhnya kemalasan penerbit untuk mendekatkan/mencipta kebutuhan? Itu adalah pertanyaan abadi yang tidak perlu dijawab, dan lebih afdol untuk direnungkan oleh pihak-pihak terkait saja. Kini, terbentang di depan kita: situasi yang menunjang kebutuhan akan pencerahan.

Jauh sebelum corona (bermula tahun 2018), sesungguhnya ada tren buku-buku filsafat terutama dalam tema Stoikisme. Stoikisme adalah cabang gaya filsafat dari sekolah Stoa (lahir kira-kira abad 3 SM), yang mengulas tentang kebijaksanaan hidup, atau cara kita hidup dengan bijaksana (do philosophy). Sebut saja buku-buku dari Mark Manson (Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, dan Segala-galanya Ambyar), dan Henry Manampiring (Filosofi Teras), yang sukses menjadi buku laris di Indonesia. Ada juga Yuval Noah Harari yang mendekati problem-problem filosofis secara tidak langsung, melalui pendekatan sejarah (Sapiens, dan Homo Deus).

Entah mengapa, mungkin corona hanyalah puncaknya saja. Sebelum corona datang, kondisi masyarakat global memang sudah membutuhkan buku-buku bertema filsafat. Saya menyitir kata-kata Byung Chul-Han dalam bab awal bukunya The Burnout Society (2015) tentang situasi masyarakat saat ini:

“Setiap zaman memiliki penderitaan masing-masing. Maka, kita mengenal adanya zaman bakterial; pada akhirnya, itu berakhir dengan penemuan antibiotik. Walau ketakutan akan epidemi influenza merebak, kita tidak lagi hidup di zaman virus. Berkat teknologi imunologis, kita telah menaklukkannya. Dari sudut pandang patologis, permulaan abad 21 ditandai bukan lagi oleh bakteri atau virus, tapi oleh neuron. Penyakit-penyakit Saraf seperti depresi, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), borderline personality disorder (BPD), dan sindrom kelelahan (burnout syndrome) menandai lansekap patologi di awal abad 21. Penyakit-penyakit itu bukanlah infeksi, melainkan infraksi; asalnya bukan dari negativitas dari sesuatu yang asing secara imunologis, tapi dari pasokan positivitas yang terlalu banyak.” 

Dengan kata lain, tren filsafat sedang bergerak. Filsafat kini semakin akrab. Kita boleh optimis, barangkali generasi milenial sedang mendewasakan dirinya. 

Menjadi Co-Exhibitor di London Book Fair 2019

Tahun ini menjadi tahun yang istimewa bagi Indonesia dalam dunia perbukuan dunia dengan menjadi Market Focus Country (MFC) di The London Book Fair 2019. Perbukuan Indonesia menjadi tamu istimewa di Inggris.

Sebagai MFC, Indonesia menjadi sorotan dunia. Harapannya, ini dapat membuka kesempatan bisnis yang seluas-luasnya dengan dunia terutama dalam industri perbukuan.

Hal ini tentu telah dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh Indonesia agar sorotan dunia benar-benar terarah ke Indonesia. Melalui National Organizing Committee (NOC), Indonesia menyiapkan sangat banyak acara yang melibatkan penulis dan penerbit Indonesia, termasuk acara yang tidak terkait dengan buku, mulai bidang kuliner, fesyen, film, seni pertunjukan, pameran arsitektur, desain grafis, ilustrasi, boardgames, sampai animasi digital. 

Secara resmi ada 12 penulis dan 20 penerbit Indonesia (30 kalau digabungkan dengan bidang non-buku) yang diundang terbang ke London. Para penerbit ini kemudian disebut dengan co-exhibitor. Para penulis dan penerbit yang hadir di LBF 2019 ini sebelumnya mengikuti proses seleksi yang dilaksanakan oleh NOC. 

Saya, mewakili kelompok penerbit Gramedia, terpilih menjadi co-exhibitor dalam acara ini. Fasilitas yang saya dapatkan dengan menjadi co-ex adalah tiket pesawat PP Jakarta-London dan booth di stan Indonesia.

Selama 12-14 Maret, saya berada di stan, mengadakan rapat dan bertemu dengan perwakilan penerbit dari beberapa negara, di antaranya Jepang, Korea, Cina, Inggris, Amerika Serikat, India, dan Malaysia. Satu hak cipta terjual, yaitu buku karya Naela Ali, berjudul Stories for Rainy Days. Sementara itu, ada 36 judul yang diminati.

Untuk LBF tahun ini, panitia sengaja mengundang banyak penerbit agar pasar hak cipta Indonesia dikenal lebih beragam. Para co-ex dibekali dengan ilmu menjual hak cipta dengan mengikuti 2 kali seminar mengenai penjualan hak cipta yang diadakan di Indonesia dan di London, sehari sebelum pameran dibuka. 

Harapan saya, di tahun-tahun selanjutnya, apabila ada kesempatan lagi menjadi MFC, Indonesia lebih berkonsentrasi dalam pemberian dukungan terjemahan. Upaya penerjemahan yang lebih banyak lagi (dan tentu tetap dengan kualitas yang baik) akan sangat membantu mengembangkan perbukuan Indonesia di mata dunia. Saat ini, karya-karya Indonesia kurang dikenal dunia bukan karena karya-karyanya tidak bagus, tetapi orang-orang tidak dapat mengapresiasinya karena keterbatasan bahasa.

Suasana dalam pameran LBF 2019 (credit: Joko Wibowo)

Tulisan ini diterima oleh booqsy.com pada 31 Maret 2019, sebagai catatan kecil keikutsertaan di The London Book Fair 2019.

Gelegar Indonesia di Panggung London Book Fair 2019

Beda. Begitu singkat jawaban saya pada seorang teman yang mempertanyakan perbedaan book fair di Indonesia dengan book fair di London 2019 yang baru usai. Di Indonesia, book fair (yang berlabel “international” sekalipun) terutama adalah kesempatan penerbit, toko buku, serta penjual aneka produk lain untuk menjajakan buku atau dagangannya, umumnya dengan iming-iming rabat besar; pembaca atau konsumen bisa membeli buku langsung dari penerbit.

Apa yang Dijual di Book Fair?

Book fair di London, Frankfurt, Bologna, dan di beberapa negara lain, hampir-hampir tidak menjual buku. Memang ada 1 atau 2 stan distributor yang membawa buku untuk dijual, tapi beberapa penerbit bahkan memberikan produknya secara gratis karena di situ mereka tidak berjualan buku. Yang mereka tawarkan adalah “rights” dan lisensi, yaitu hak komersial karya, entah itu berupa hak penerjemahan, adaptasi, merchandise, atau film. 

Book fair semacam ini telah berkembang sejak 1946 (di Leipzig) dan di Frankfurt (1949), tapi kalau mau dirunut ke belakang lagi, bisa ditemukan akarnya pada sekitar abad ke-12.

Dalam peristiwa inilah, roda ekonomi budaya berputar kencang. Memakai istilah yang agak mumbul yang dicetuskan Appadurai, book fair adalah tournament of values. Semua semut pekerja yang terlibat dalam rantai industri penerbitan dari berbagai belahan dunia hadir di situ: publisis yang sibuk membuat edaran pers, jurnalis peliput acara, editor yang bermuka masam karena harus menjelajahi seluruh arena, agen pustaka yang di pengujung hari akhirnya bebas untuk tidak berbincang lagi, para penulis yang sibuk mengisi acara dan sibuk keliling membagi kartu nama, distributor yang menawarkan kerja sama, dan tentu saja, para puan dan tuan yang sekadar melancong memanjakan mata. 

Mereka bertatap muka dalam kurun waktu dan tempat yang sudah disiapkan. Aturan main atau logika yang digunakan pun telah disepakati bersama. Penerbit dari berbagai negara bersaing membangun jenama, merancang program promosi, dengan menyewa stan-stan yang luas, mengirim banyak staf penjualan, dan meluncurkan buku unggulan. Semakin besar suatu penerbit, semakin luas stannya, dan semakin banyak staf yang dikirim. 

Semua ditempuh semata agar rights penulis yang diwakilinya terjual. Ya, rights. Dalam turnamen nilai semacam ini, yang menjadi ukuran (currency)-nya adalah rights, bukan buku fisik.

Lalu, siapakah primadona dalam ajang seperti ini? Tentu, yang datang dengan kartu nama Pemegang Rights International Best-Seller. Primadona lain, International Rights Buyer, apalagi dari penerbit besar dan negara-negara besar.

Lho, bukan penulis? Ya, bukan. Book fair bukan writer festival. Lalu di mana posisi penulis dalam perhelatan besar ini? Layaknya sebuah pasar, selalu diperlukan mereka yang berperan menarik minat orang untuk datang dan kemudian membeli produk yang dijajakan. Peran ini tidak hanya melekat pada penjual, sebab penulis dan pengisi acara lain pun sesungguhnya diperlukan. Nah, di sinilah peran besar penulis. Sebagai pemilik hak moral atas karyanya, mereka tentulah yang paling paham dengan produk. Apalagi penulis juga memiliki nilai plus, sebab selain “berjualan” karya mereka sendiri, umumnya penulis juga membawakan suara negerinya, antara lain situasi sosial, politik, dan budaya yang berkaitan dengan proses kreatif, atau hal lain—yang ujung-ujungnya menunjang “penjualan” rights

Jadi, bagaimana posisi Indonesia dalam The London Book Fair 2019? 

Entahlah di mana posisi Indonesia dalam penyelenggaraan event LBF di tahun-tahun sebelumnya. Yang jelas, dengan menjadi Market Focus (yang berarti ada dukungan dana tidak sedikit dari pemerintah), nama “Indonesia” di LBF 2019 ini bisa terpampang besar di hall utama. Indonesia jadi punya stan yang luas, sekira 600 meter persegi. Lepas dari apakah desain stan itu lebih mengutamakan segi estetis ketimbang fungsi, paviliun Indonesia tampak menonjol dan sedikit lebih besar daripada stan Penguin Random House atau Hachette, penerbit-penerbit raksasa dunia itu. Umbul-umbul bertuliskan “Indonesia” tegak terpasang mewarnai jalanan menuju pameran dan di dalam ruang pameran.

Para penulis juga mendapat beberapa kesempatan berbicara, baik di lokasi pameran, di universitas, atau di lembaga lain. Dalam buku acara yang diterbitkan Komite Buku Nasional, tertulis Indonesia menggelar 99 acara di arena pameran, London, dan daerah lain. Acara itu melibatkan 134 pengisi acara dari Indonesia dan dari daerah setempat. Dari komposisi acara, tampak bahwa penerbit dan pelaku digital mulai diberi ruang untuk bersuara. Penerbit yang dibantu sebagian pendanaannya agar bisa menggelar lapak juga lumayan banyak: ada 34 penerbit, dan beragam—meski pemilihan ini rasa-rasanya mungkin berdasarkan pertimbangan “sama rasa sama rata”, bukan berdasarkan “merit” prestasi.

Apakah angka-angka itu cukup lantang, menjadi gelegar di tengah hiruk-pikuk London Book Fair? Laman situs London Book Fair 2019 menyatakan, acara ini diikuti oleh sekitar 24.000 pengunjung, 13.000 di antaranya berasal dari 113 lebih negara. Peserta pameran berjumlah sekitar 1.600 lembaga yang berasal dari 60 negara. Itu semua adalah jajaran angka yang ratusan kali lebih besar—teramat besar jika dibandingkan dengan Indonesia. 

Belum lagi jika melihat angka penjualan rights yang dicapai. Selama LBF, sebanyak 23 judul buku Indonesia terjual rights-nya—sekitar 46 persen dari target tahun 2019 ini, yaitu  50 judul. Tidak begitu jelas dasar penargetan ini. Angka produksi buku Indonesia menurut IKAPI mencapai 30.000 judul setahun. Jika dengan asumsi buku karya penulis Indonesia adalah 50% (karena 50% selebihnya adalah buku terjemahan), rights yang tersedia untuk dijual adalah 15.000 judul per tahun. Katakanlah dari angka tersebut yang benar-benar layak untuk dipasarkan sangat minim, hanya 10%, maka tersedia 1.500 judul setiap tahunnya yang siap untuk dipasarkan rightsnya.

Target 50 judul dari 1500 yang tersedia? Tentu itu kurang sebanding. 

Meski begitu, menarik kesimpulan bahwa semua usaha di atas gak ngaruh juga terlalu tergesa-gesa. Jangankan memenangi, untuk ikut muncul dalam papan bawah turnamen “nilai simbolik” semacam ini, diperlukan waktu, yang makin tak terbayangkan panjangnya jika tidak kunjung dimulai. Mempunyai paviliun seluas 600 meter persegi dan menggelar 99 acara selama sekitar 14 hari itu sesuatu yang patut diacungi jempol. Tanpa dukungan pemerintah, kalau stan diibaratkan dengan rumah, paling-paling penerbit kita hanya bisa ngontrak segede beranda Random House—kalau bukan malah sebesar pos sekuritinya. Namun begitu, paviliun semegah itu, terasa ironis jika tak diiringi prestasi yang sesungguhnya. Tantangan sudah jelas, perlu lebih fokus.

Jadi, lebih baik ngontrak pos sekuriti atau beranda? Lah….yang gini kok ditanyakan.

Suasana dalam LBF 2019 (credit: Christina Udiani)

Tulisan ini diterima oleh booqsy.com pada 26 Maret 2019, sebagai catatan kecil keikutsertaan di The London Book Fair 2019.

Merayakan Perbukuan Sekembalinya dari London Book Fair 2019

Pada 12-14 Maret 2019, di kota London, tepatnya di Olympia Hall, Kensington, ada gelaran menarik. Dunia mengenalnya sebagai London Book Fair. Tahun 2019 ini adalah gelaran yang ke-48 kalinya, alias sudah 48 tahun diadakan. Bukan waktu yang singkat. Tema yang diangkat Taking Words Further Content Across Media.

London Book Fair, berkembang dari pameran dagang pustakawan yang disebut Pameran Penerbit Spesialis untuk Pustakawan (SPEX) yang dimulai pada 5 November 1971 oleh Clive BIngley dan Lionel Leventhal. Bingley ingin memberi platform penerbit kecil agar dengan mudah menunjukkan judul mereka kepada pustakawan. Lokasi dipilih karena kedekatannya dengan Asosiasi Perpustakaan, dan tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan pertemuan dewan bulanan di sana, yang akan dihadiri oleh sejumlah pustakawan luar kota. 

Pameran pertama itu sukses, sehingga  BIngley dan Leventhal ingin merutinkan acara tersebut. Pasangan ini membuat pameran kedua pada November 1972. Bloomsbury Centre Hotel menjadi tuan rumah bagi Pameran Penerbit Kecil dan Spesialis yang telah berganti nama. Cakupan dan pengaruh acara tumbuh dan mulai mencakup penerbit yang lebih besar dan lebih umum. Pada 1977, SPEX resmi ditanggalkan, dan berganti judul menjadi London Book Fair.

Ada Apa di London Book Fair?

London Book Fair sekarang dianggap sebagai yang kiblat kedua bagi dunia perbukuan, setelah Frankfurt Book Fair. Dalam sejarah 48 tahun memimpin pasar dan pameran buku, lebih dari 60 negara secara teratur memamerkan, pengunjung datang dari 135 negara, dan ada 25.000 profesional penerbitan yang hadir. Menurut Jacks Thomas, Direktur dari London Book Fair, penerbit buku datang ke London untuk memublikasikan judul mereka yang akan datang, dan untuk menjual serta membeli hak terjemahan buku dari penerbit lain.

Pameran ini sendiri mencakup berbagai kepentingan dan pasar dalam industri penerbitan, termasuk negosiasi hak dan penjualan dan distribusi konten di seluruh saluran cetak, audio, TV, film, dan digital, serta bentuk penerbitan yang lebih tradisional. Ada banyak kegiatan sepanjang London Book Fair, mulai dari pertemuan bisnis antara perusahaan penerbitan, pengenalan judul buku kepada pembaca dan pengunjung, pengumuman hadiah dan penghargaan, serta banyak lokakarya dan seminar untuk membahas masalah dan tren terkini dalam industri perbukuan.

Semegah Ini, Demi Buku?

Kemunculan kindle, gawai pembaca buku digital besutanAmazon pada awal 2007 sempat memantikkan kekhawatiran. Peranti ringan buatan raksasa ritel daring terbesar itu disinyalir akan menggantikan buku cetak konvensional (printed books). Banyak kalangan meramalkan, dunia perbukuan cetak ada di ambang senjakala, alias sekarat. Bahkan seorang teman sempat bertanya langsung pada saya, “Gimana dunia perbukuan sekarang? Katanya udah nggak sebagus dulu?”

Jawab saya singkat, “Itu hoaks!” Pasalnya, kalau Anda sempat mampir di perhelatan London Book Fair atau pameran buku dunia lain, seperti Bologna Children Book Fair (yang khusus untuk buku-buku anak), atau Frankfurt Book Fair, di Jerman yang lebih besar lagi daripada kedua pameran buku dunia itu, Anda pasti akan mengamini perkataan saya. Para peserta pameran ataupun pengunjung yang sebagian besar adalah penerbit yang akan membeli hak terbit (rights) dari penerbit lain, berjubel di tempat itu. Interaksi inilah yang meneguhkan harapan bahwa buku cetak tidak tergantikan.

The Guardian pernah mengulas perbandingan penjualan buku cetak dengan buku digital pada 2016, dalam artikelnya (14 Maret, 2017), berjudul Ebook sales continue to fall as younger generations drive appetite for print.

Lebih dari 360 juta buku terjual pada 2016 — naik 2% dalam setahun, yang artinya: konsumen Inggris membelanjakan 6% ekstra, atau £100 juta untuk buku-buku dalam format cetak dan ebook (digital), menurut temuan kelompok riset industri Nielsen dalam laporan tahunan survei buku dan pembelinya. Data itu juga mengungkapkan kabar baik untuk toko buku fisik, karena ternyata ada kenaikan penjualan sebesar 4% di seluruh Inggris.

Ketika penjualan melalui toko-toko mengalami peningkatan 7% pada 2016, penjualan ebook rupanya menurun sebesar 4%. Tahun ini adalah untuk kedua kalinya secara berturut-turut, penjualan ebook telah jatuh, dan penurunan ini baru terjadi dua kali sejak pemantauan resmi oleh badan industri dalam satu dekade ini. 

Pada 2015, Asosiasi Penerbit menemukan bahwa penjualan konten digital turun dari £563 juta pada 2014 menjadi £554 juta, sementara penjualan buku fisik meningkat dari £2,74milyar menjadi £2,76 milyar. 

Secara sederhana, dari pengalaman kunjungan singkat saya ke London Book Fair 2019, saya berani menyimpulkan bahwa dunia masih membaca. Sungguh berita yang bagus, bukan? Dengan kata lain, buku masih memegang peran penting sebagai komoditas strategis yang menggerakkan roda ekonomi. Kemegahan book fair tersebut merupakan sebuah konsekuensi logis, yang patut dirayakan.

Catatan dari LBF

Tak kalah menarik, sebagai catatan pinggir selain menyoal buku cetak yang masih memikat, di London Book Fair 2019 kali ini, Indonesia menjadi market focus (tamu kehormatan), dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mendapat kehormatan itu. Tema yang diangkat masih sama seperti ketika Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair, yaitu 17.000 Islands of Imagination

Sebagai market focus, Indonesia mendapat kesempatan untuk memperkenalkan konten literasi, penerbitan, serta industri kreatif, seperti arsitektur, fesyen, kuliner, dan juga game kepada publik Inggris dan pasar internasional. Komite pelaksananya adalah Bekraf, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Komite Buku Nasional. Ada 12 penulis Indonesia yang diikutsertakan di ajang ini, seperti Agustinus Wibowo, Clara Ng, Dewi Lestari, Faisal Oddang, Intan Paramaditha, Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, Nirwan Dewanto, Norman Erikson Pasaribu, Reda Gaudiamo, Seno Gumira Ajidarma, dan Sheila Rooswitha Putri.  

Kabar baiknya, dalam pameran buku ini, Indonesia berhasil menjual 23 judul buku dan 408 judul lain yang masih dalam tahap negosiasi, serta meraup tiga milyar dari penjualan buku-buku tersebut.

Suasana dalam pameran LBF 2019 (credit: Joko Wibowo)

Tulisan ini dibuat pada 30 Maret 2019, sebagai catatan kecil keikutsertaan di The London Book Fair 2019.

Bertamu ke Benak Anak Autis, Bersama Naoki Higashida

Autisme masih cukup asing di telinga orang Indonesia. Peluang seseorang untuk mengerti secara persis apa itu autisme, terjadi hanya melalui 2 hal: dengan memiliki anak atau saudara yang mengidap autisme, atau dengan mempersiapkan diri menjadi tenaga profesional di bidang perkembangan anak. Tidak mengherankan, kehadiran anak autis di masyarakat Indonesia seolah tak kasat mata.

Memahami fenomena autisme memang tidak bisa dibilang gampang. Autisme sendiri merupakan kumpulan gejala yang jangkauannya (spektrumnya) luas, mulai dari yang bisa berfungsi secara kemasyarakatan (high functioned) hingga yang tidak mampu mandiri, mulai dari yang verbal (dapat berkomunikasi) hingga yang non-verbal, mulai dari yang bertalenta di atas rata-rata (savant syndrome) hingga yang tanpa bakat, mulai dari yang hiperaktif hingga yang pendiam. Semuanya berpangkal pada perbedaan kondisi saraf yang terjadi sejak lahir.

Di atas semua ciri-ciri tersebut, yang paling jelas adalah bahwasanya penyandang autisme terlahir sebagai insan istimewa. Individu-individu ini tidak gampang untuk menyesuaikan dengan lingkungan normal. Sialnya, kondisi ini tidak cukup mudah dimengerti. Penyandang autisme sering disamakan dengan pemalas, moody, bodoh, freak, kesurupan, lemah mental, dan semacamnya. 

Kesalahkaprahan tersebut tidak melulu salah masyarakat. Sangat bisa jadi, hal ini diakibatkan oleh kurangnya buku, media, atau kampanye terkait autisme. Maka itu, dibutuhkan sebuah buku yang mampu mengupas autisme dengan baik. The Reason I Jump (20015), karangan Naoki Higashida, menjadi salah satu buku yang sangat baik, karena mengupas seluk beluk penyandang autisme, langsung dari sisi seorang anak autis.

Naoki Higashida, kala berusia 25 tahun.

NAOKI HIGASHIDA adalah seorang pemuda asal Jepang yang diketahui menyandang autisme sejak usia 5 tahun. Pada usia itu, Naoki berjuang sangat keras untuk berkomunikasi secara verbal—bahkan hingga kini masih kesulitan. Beruntunglah guru-gurunya berambisi besar untuk membantu, dan Naoki pun berusaha dengan tanpa lelah. Naoki yang tampaknya suka bercerita itu, dibantu dengan sebuah tabel alfabet hiragana Jepang, serta QWERTY keyboard yang dicetak dalam bentuk kartu dan dilaminating. Naoki berkomunikasi dengan menunjuk huruf-huruf tersebut, didampingi asisten yang telaten. Singkat cerita, pada usia 13 tahun, ia menerbitkan buku The Reason I Jump tersebut.

The Reason I Jump merupakan kumpulan tanya-jawab untuk Naoki, yang sepertinya telah sering ia dapatkan selama itu, mulai dari yang sederhana, pribadi, hingga yang menelisik. Dalam buku setebal 135 halaman (edisi bahasa Inggris, terbitan Penguin Random House), Naoki menjadi narasumber untuk segala “keganjilan-keganjilan” yang dipertanyakan “orang normal”. 

Ada 58 pertanyaan, yang dijawab dengan lugu namun terperinci, rata-rata hanya dalam 5 paragraf. Pertanyaan-pertanyaan itu di antaranya meliputi: Mengapa orang autis suka berteriak sangat lantang dan terdengar aneh? Mengapa kamu suka menirukan pertanyaan orang padamu? Mengapa kamu suka mengucapkan pertanyaan yang sama lagi dan lagi? Mengapa kamu lama sekali menjawab pertanyaan orang? Mengapa kamu tidak mau memandang orang yang mengajakmu bicara? Mengapa kamu suka menyendiri? Mengapa kamu tidak suka berpegangan tangan dengan orang lain? Mengapa kamu suka pilih-pilih dalam hal makanan? Mengapa kamu suka air? Mengapa kamu sering hilang/tersesat? Mengapa kamu tidak bisa diam? Mengapa kamu suka melompat?

Q: Mengapa kamu terus melakukan hal-hal yang dilarang dan telah diingatkan berulang kali?

Kami, penyandang autisme, mendengarkan larangan itu berkali-kali. Aku, aku selalu diingatkan untuk tidak melakukan hal yang sama dari sejak dahulu. Sekilas, aku tampak nakal atau bandel, tapi sejujurnya, tidak seperti itu. Ketika aku diperingatkan, aku merasa sedih dan takut bahwa aku akan melakukannya lagi. Tapi, ketika kesempatan itu datang, kami sungguh lupa kejadian terakhir, dan kami melakukannya lagi. Seolah-olah ada seseorang yang bukan aku yang menyuruh kami melakukannya.

Kamu pasti berpikir: “Hmm, apakah dia tidak pernah belajar?” Kami tahu, kami membuat Anda sedih dan kecewa, tapi jangan pikir kami tidak berusaha, dan sesungguhnya aku takut, kamu sungguh berpikir seperti itu. Tapi tolong, apa pun yang Anda pikir, jangan pernah menyerah dengan kami. Kami butuh bantuanmu.

Q: Mengapa caramu berbicara aneh?

Terkadang, penyandang autis berbicara dengan intonasi yang aneh, atau menggunakan bahasa yang berbeda. Orang yang tidak autis bisa memilah apa yang ingin dikatakan secara langsung, ketika sedang terlibat percakapan. Tapi untuk kami, kata-kata yang ingin aku ucapkan dan kata-kata yang bisa saya ucapkan tidak selalu cocok. Itulah mengapa cara bicara kami terdengar sedikit aneh, kayaknya. Ketika ada perbedaan antara apa yang kupikirkan dan kukatakan, itu karena kata-kata yang keluar dari mulutku adalah satu-satunya kata-kata yang bisa kuakses pada saat itu juga. Kata-kata itu muncul karena barangkali aku selalu mengucapkannya atau karena kata-kata itu pernah sangat berkesan bagiku.

Q: Benarkah kamu tidak suka disentuh?

Untukku sendiri, aku tidak punya masalah dengan kontak fisik, tapi pastinya, beberapa penyandang autisme yang lain tidak suka dipeluk atau disentuh. Aku tidak tahu alasannya—bisa jadi itu membuat mereka tidak nyaman. Bahkan cara kita mencari pakaian yang cocok dengan musim, memakai pakaian lebih banyak di musim dingin, dan lebih sedikit di musim panas, ini bisa menjadi problem besar untuk penyandang autis yang indera perasanya terlalu sensitif. Turut berubah sesuai situasi merupakan tantangan yang berat. 

Pada umumnya, untuk penyandang autisme, disentuh oleh orang lain berarti membiarkan tubuh ini dikontrol oleh orang lain, padahal si pemiliki sendiri tidak cukup mampu mengontrol dirinya. Ini seolah kita kehilangan jati diri kita. Pikirlah baik-baik—sungguh mengerikan!

Q: Apa alasan kamu suka melompat?

Apa yang kurasakan ketika aku melompat-lompat sambil bertepuk tangan? Aku yakin kamu pikir aku tidak merasakan yang lain, kecuali kegilaan yang tercetak di wajahku. Tapi ketika melompat, rasanya perasaanku turut melejit ke langit. Sungguhan, keinginan untuk ditelan oleh langit itu sampai bisa membuat hatiku berbunga-bunga. Ketika aku melompat, aku bisa merasakan seluruh bagian tubuhku dengan baik—kaki-kaki yang menjejak dan tangan-tangan yang menepuk—dan itu membuatku merasa sungguh-sungguh bahagia.

Q: Apakah kamu ingin menjadi “Normal”?

Apa yang bisa kami lakukan, andai ada cara untuk membuat kami menjadi “normal”? Well, aku rasa orang-orang di sekitar kami—orang tua dan guru—akan sangat gembira, dan berkata, “Halleluya! Kita akan mengubah mereka menjadi normal!” Dan selama bertahun-tahun, aku sangat ingin menjadi normal juga. Hidup dalam kondisi berkebutuhan khusus sangat menyiksa dan melelahkan; Aku biasa berandai-andai, seandainya aku ini normal, pastinya itu sangat menyenangkan.

Tapi kini, bahkan ketika ada orang-orang yang mengupayakan penyembuhan autisme, aku lebih ingin menjadi diriku sendiri. Kenapa aku berpikir seperti ini?

Singkatnya, aku telah belajar bahwa setiap manusia, dengan atau tanpa disabilitas, harus berupaya keras untuk melakukan yang terbaik, dan dengan mengupayakan kebahagiaan, kamu akan menghampiri kebahagiaan. Bagi kami, kamu tahu, menyandang autisme merupakan hal yang normal—jadi kami tidak tahu secara pasti apa artinya “normal” dalam sudut pandangmu. Tapi selama kami bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, aku tidak yakin apa pentingnya menjadi normal atau autis.

Review buku ini ditulis bertepatan dengan World Autism Awareness Day, yang jatuh setiap tanggal 2 April, dan ditandai dengan memakai pakaian berwarna biru.

Buku ini sangat berharga. Meski tidak semua penderita autisme sama seperti Naoki, setidaknya kita mendapatkan kesempatan yang sangat mahal, untuk bisa “bertamu dan berbincang secara intim” dengan seorang penyandang autis. Segala kebingungan dan prasangka yang barangkali keliru, mendapatkan klarifikasi langsung, sehingga harapannya, tergantikan oleh empati dan kebesaran hati. Kebesaran hati untuk apa? Untuk menerima keragaman, dan membuang jauh-jauh diskriminasi.

Berminat dengan buku ini, dapatkan di: https://www.amazon.com/Reason-Jump-Inner-Thirteen-Year-Old-Autism-ebook/dp/B00BVJG3CS

Saya menyukai buku ini. Sangat menyukai. Selain tulisan Naoki, tidak boleh dilupakan pula, pengantar dari David Mitchel, yang menurut saya sangat kuat dan bagus dalam berbagi pikiran mengenai autisme. Dalam salah satu paragraf, David Mitchel yang anaknya juga menyandang autisme, berbagi pengalamannya saat pertama kali membaca buku ini—yang sepenuhnya saya amini:

Bagi saya, semua ini merupakan pemahaman yang transformatif, dan menguatkan. Ketika Anda tahu bahwa anak Anda ingin berbicara pada Anda, ketika Anda tahu bahwa ia memperhatikan lingkungan sekitarnya secara teliti dan penuh khidmat, sama seperti anak Anda yang tidak autis, walau dari luaran tampak berlawanan, maka Anda bisa sepuluh kali lebih sabar, menerima, memahami dan komunikatif; dan sepuluh kali lebih baik dalam membantu perkembangannya. Bukanlah berlebihan jika saya menganggap The Reason I Jump membantu saya untuk mempererat relasi saya dengan anak saya. Tulisan Naoki Higashida mengupayakan sebuah tendangan yang saya butuhkan, supaya saya berhenti meratapi nasib saya, dan mulai berpikir bahwa betapa beratnya hidup yang harus diperjuangkan oleh anak saya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk meringankannya.

*Pada 2015, Naoki Higashida menerbitkan sekuel buku ini, berjudul Fall Down 7 Times Get Up 8.