Apakah Anda pun mulai merasa kehilangan harapan?
Hari-hari ini, kita mengalami sebuah momen yang sangat langka. Baru sekaranglah, perhatian semua orang di seluruh dunia terpusat pada satu hal yang sama, yaitu pandemi virus Corona, yang telah merenggut puluhan ribu nyawa tanpa ampun, dan memarjinalkan setiap aktivitas ekonomi di segala bidang. Sayangnya, ini adalah sesuatu hal yang tidak menggembirakan. Detik ini, Anda dan 8 miliar penduduk dunia merasakan kegelisahan yang sama, bahkan barangkali sebagian besar mulai merasa takut, putus asa, atau depresi.
Membaca angka kematian di koran, mencermati prediksi krisis dan analisis ekonomi di televisi, dan menelusuri cuitan-cuitan pesimistis di Twitter, apakah Anda mulai bertanya-tanya: mengapa hidup menjadi sedemikian buram?
Anda mungkin terheran-heran sendiri, sebab dahulu, Anda masih bisa berpikir positif—seperti yang acap kali dianjurkan berbagai buku pengembangan diri. Harapan Anda sangat besar. Tapi, melihat realitas sekitar dengan mata kepala sendiri membuat Anda berpikir ulang.
* * *
Jika kegelisahan-kegelisahan itu yang melanda Anda saat ini, buku Segala-galanya Ambyar barangkali dapat menemani Anda. Buku terbaru dari Mark Manson, seorang penulis muda dari Amerika yang sebelumnya begitu dikenal berkat Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, ini mencoba mendekati sisi kelam kehidupan.
Hal pertama yang dikatakan oleh buku ini adalah: tenang. Ya, Anda diminta untuk tenang jika menghadapi hal-hal buruk ataupun kejadian yang sangat fatal sekalipun. Bukan karena Anda harus berpikiran positif, tapi karena apa yang Anda alami tidaklah istimewa. Jauh-jauh hari, ratusan atau ribuan tahun yang lalu, permasalahan yang Anda hadapi sudah pernah terjadi. Coba Anda sebutkan satu demi satu: peperangan? Wabah? Pembantaian massal? Bencana alam? Semua sudah pernah terjadi, bahkan lebih mengerikan.
Dengarkan kutipan berikut:
Hampir sepanjang sejarah manusia, orang-orang pernah menjadi brutal, menganut takhayul-takhayul, dan berperilaku biadab.. Dahulu orang-orang sadis dan gampang kalap. Hampir sepanjang sejarah, dunia ini bukanlah tempat yang menyenangkan untuk ditinggali…
Mark Manson hendak mengatakan bahwa penderitaan adalah hal yang niscaya terjadi. Kemungkinan kita menghadapi hal seperti ini adalah: 50%. Kalau Anda terlahir di dunia, ya konsekuensinya mengalami penderitaan—termasuk di dalamnya pandemi. Kita tidak perlu panik, atau mengumbar-umbar kesedihan, melainkan hadapi dan terima, sebab kita bukan satu-satunya makhluk yang ditimpa kesialan.
Hal kedua, Mark Manson juga hendak mengingatkan bahwa kehidupan kita saat ini adalah yang paling menyenangkan, dan kita memiliki semua sumber daya yang lebih dari cukup, yang sepatutnya membuat kita tidak mudah gelisah.Maka, jika Anda menjadi gelisah, depresi, panik, itu adalah respons yang keliru.
Mengapa keliru? Karena barangkali Anda menggantungkan harapan pada hal-hal yang irasional. Jika dalam hidupnya, seseorang selalu yakin bahwa ia harus diperlakukan dengan baik dan tidak boleh dikhianati, suatu saat ketika ia bertemu dengan seorang bos yang tegas dan tidak pandang bulu, bisa jadi ia akan stres dan depresi. Orang ini menggenggam erat harapan bahwa semua orang harus memperlakukan dia dengan baik, padahal kenyataannya tidak bisa begitu. Kenyataan tidak mengikuti keinginan atau harapan kita.
Sama halnya, dengan orang yang meyakini bahwa karena selama ini ia berbuat baik, tidak mungkin ia tertimpa malabencana. Ia berharap dunia berjalan sesuai keyakinan tersebut. Padahal, pandemi tidak memandang identitas—semua kena libas.
Dengan kata lain, dalam buku Segala-galanya Ambyar ini, Mark Manson menggarisbawahi harapan sebagai biang kerok permasalahan psikis manusia modern. Semakin hidup dipermudah, semakin orang mengharapkan bahwa hidup HARUS berjalan sesuai keinginan mereka. Maka, ia mengatakan: lepaskan harapan, jika Anda ingin hidup bahagia—maksud Manson adalah harapan-harapan yang tidak rasional itu.

Hal ketiga, Mark Manson justru mengatakan bahwa hidup ini akan jauh lebih membahagiakan jika Anda bisa beraktivitas sehari-hari tanpa menaruh harapan apa pun. Benarkah itu? Ya, Anda tidak salah dengar. Bahkan, Manson memberi contoh nyata, yaitu kehidupan seorang filsuf besar, Immanuel Kant.
Dengarkan kutipan berikut:
Kant bersikap bodo amat. Dan menurut saya, sikap bodo amatnya sungguh ada dalam kualitas yang paling murni dan paling mendalam. Ia adalah satu-satunya pemikir yang membuat saya terkesan, yang menghindari harapan beserta tumpuannya, yaitu nilai-nilai manusiawi yang cacat.
Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup tanpa berharap? Bisa. Orang yang mencintai pasangannya dengan harapan dirinya balas dicintai, tidak akan pernah bahagia, sebab ia melakukan suatu usaha dengan pamrih, dan sewaktu-waktu, akan kecewa. Jadi, kalau Anda ingin bahagia, cintailah pasanganmu tanpa berharap apa pun. Cintai dia karena Anda memang percaya bahwa mencintainya adalah sebuah tindakan yang baik. Titik. Tanpa harapan apa pun.
Memang, Manson tidak serta merta mengatakan bahwa harapan itu harus dihapus. Tidak. Anda boleh, bahkan harus memiliki harapan. Hanya saja, harapkanlah sesuatu yang memang sudah jelas akan terjadi. Misalnya: jika Anda memutuskan akan menikah, jangan berharap Anda dan pasangan Anda akan bahagia sampai akhir hayat, sebab itu tidak mungkin. Alih-alih, berharaplah Anda dan pasangan Anda bisa menghadapi suka dan duka, kebosanan dan krisis, yang jelas pasti akan menimpa. Atau, jika Anda membeli ponsel terbaru, jangan berharap ponsel itu membuat Anda tampak lebih berwibawa, sebab itu mustahil. Ponsel tetaplah ponsel, harapkanlah alat itu bisa membantu Anda berkomunikasi dan bekerja dengan lebih lancar.
Dan, jika saat ini Anda hidup di dunia, jangan berharap Anda akan selamanya bahagia—sebab itu tidak mungkin. Sewaktu-waktu terjadi bencana, yang mana sangat mungkin terjadi, Anda bisa kecewa berat. Pertanyaannya: apa yang seharusnya kita harapkan pada kehidupan ini? Nah, untuk itu, Manson sudah mengulasnya dengan sangat gamblang dan jenaka.
* * *

Terus terang, kekuatan buku ini ada pada gaya Mark Manson. Berbeda dengan penulis-penulis sains lainnya, seperti Yuval Noah Harari atau Steven Pinker atau Hans Rosling, Manson mampu mengulas 3 kombinasi tema besar, yaitu filsafat, sejarah, dan psikologi klinis, dengan gaya yang ringan dan dibungkus dengan cerita yang menarik. Dengan begitu, segalanya menjadi tampak ringan dan sangat mudah dicerna. Tidak terasa, sebuah sejarah pemikiran modern berabad-abad sedang diterangkan oleh Manson.
Jika dalam buku terdahulu, ia mengenalkan frasa yang populer: bodo amat—sebagai terjemahan dari not give a f*ck, kali ini Manson memakai frasa yang tidak kalah menariknya: ambyar—sebagai terjemahan f*cked. Tidak berlebihan memang, sebab kata ambyar mewakili kondisi faktual maupun psikis, ketika kita bersentuhan dengan kekecewaan yang mendalam, bahkan kehancuran.
Tapi, poinnya bukan sekadar pada kehancuran atau keambyaran, melainkan pada perspektif dewasa kita dalam menerima segalanya dengan lapang dada.
Categories: buku
1 reply ›