Beda. Begitu singkat jawaban saya pada seorang teman yang mempertanyakan perbedaan book fair di Indonesia dengan book fair di London 2019 yang baru usai. Di Indonesia, book fair (yang berlabel “international” sekalipun) terutama adalah kesempatan penerbit, toko buku, serta penjual aneka produk lain untuk menjajakan buku atau dagangannya, umumnya dengan iming-iming rabat besar; pembaca atau konsumen bisa membeli buku langsung dari penerbit.
Apa yang Dijual di Book Fair?
Book fair di London, Frankfurt, Bologna, dan di beberapa negara lain, hampir-hampir tidak menjual buku. Memang ada 1 atau 2 stan distributor yang membawa buku untuk dijual, tapi beberapa penerbit bahkan memberikan produknya secara gratis karena di situ mereka tidak berjualan buku. Yang mereka tawarkan adalah “rights” dan lisensi, yaitu hak komersial karya, entah itu berupa hak penerjemahan, adaptasi, merchandise, atau film.
Book fair semacam ini telah berkembang sejak 1946 (di Leipzig) dan di Frankfurt (1949), tapi kalau mau dirunut ke belakang lagi, bisa ditemukan akarnya pada sekitar abad ke-12.
Dalam peristiwa inilah, roda ekonomi budaya berputar kencang. Memakai istilah yang agak mumbul yang dicetuskan Appadurai, book fair adalah tournament of values. Semua semut pekerja yang terlibat dalam rantai industri penerbitan dari berbagai belahan dunia hadir di situ: publisis yang sibuk membuat edaran pers, jurnalis peliput acara, editor yang bermuka masam karena harus menjelajahi seluruh arena, agen pustaka yang di pengujung hari akhirnya bebas untuk tidak berbincang lagi, para penulis yang sibuk mengisi acara dan sibuk keliling membagi kartu nama, distributor yang menawarkan kerja sama, dan tentu saja, para puan dan tuan yang sekadar melancong memanjakan mata.
Mereka bertatap muka dalam kurun waktu dan tempat yang sudah disiapkan. Aturan main atau logika yang digunakan pun telah disepakati bersama. Penerbit dari berbagai negara bersaing membangun jenama, merancang program promosi, dengan menyewa stan-stan yang luas, mengirim banyak staf penjualan, dan meluncurkan buku unggulan. Semakin besar suatu penerbit, semakin luas stannya, dan semakin banyak staf yang dikirim.
Semua ditempuh semata agar rights penulis yang diwakilinya terjual. Ya, rights. Dalam turnamen nilai semacam ini, yang menjadi ukuran (currency)-nya adalah rights, bukan buku fisik.
Lalu, siapakah primadona dalam ajang seperti ini? Tentu, yang datang dengan kartu nama Pemegang Rights International Best-Seller. Primadona lain, International Rights Buyer, apalagi dari penerbit besar dan negara-negara besar.
Lho, bukan penulis? Ya, bukan. Book fair bukan writer festival. Lalu di mana posisi penulis dalam perhelatan besar ini? Layaknya sebuah pasar, selalu diperlukan mereka yang berperan menarik minat orang untuk datang dan kemudian membeli produk yang dijajakan. Peran ini tidak hanya melekat pada penjual, sebab penulis dan pengisi acara lain pun sesungguhnya diperlukan. Nah, di sinilah peran besar penulis. Sebagai pemilik hak moral atas karyanya, mereka tentulah yang paling paham dengan produk. Apalagi penulis juga memiliki nilai plus, sebab selain “berjualan” karya mereka sendiri, umumnya penulis juga membawakan suara negerinya, antara lain situasi sosial, politik, dan budaya yang berkaitan dengan proses kreatif, atau hal lain—yang ujung-ujungnya menunjang “penjualan” rights.
Jadi, bagaimana posisi Indonesia dalam The London Book Fair 2019?
Entahlah di mana posisi Indonesia dalam penyelenggaraan event LBF di tahun-tahun sebelumnya. Yang jelas, dengan menjadi Market Focus (yang berarti ada dukungan dana tidak sedikit dari pemerintah), nama “Indonesia” di LBF 2019 ini bisa terpampang besar di hall utama. Indonesia jadi punya stan yang luas, sekira 600 meter persegi. Lepas dari apakah desain stan itu lebih mengutamakan segi estetis ketimbang fungsi, paviliun Indonesia tampak menonjol dan sedikit lebih besar daripada stan Penguin Random House atau Hachette, penerbit-penerbit raksasa dunia itu. Umbul-umbul bertuliskan “Indonesia” tegak terpasang mewarnai jalanan menuju pameran dan di dalam ruang pameran.

Para penulis juga mendapat beberapa kesempatan berbicara, baik di lokasi pameran, di universitas, atau di lembaga lain. Dalam buku acara yang diterbitkan Komite Buku Nasional, tertulis Indonesia menggelar 99 acara di arena pameran, London, dan daerah lain. Acara itu melibatkan 134 pengisi acara dari Indonesia dan dari daerah setempat. Dari komposisi acara, tampak bahwa penerbit dan pelaku digital mulai diberi ruang untuk bersuara. Penerbit yang dibantu sebagian pendanaannya agar bisa menggelar lapak juga lumayan banyak: ada 34 penerbit, dan beragam—meski pemilihan ini rasa-rasanya mungkin berdasarkan pertimbangan “sama rasa sama rata”, bukan berdasarkan “merit” prestasi.
Apakah angka-angka itu cukup lantang, menjadi gelegar di tengah hiruk-pikuk London Book Fair? Laman situs London Book Fair 2019 menyatakan, acara ini diikuti oleh sekitar 24.000 pengunjung, 13.000 di antaranya berasal dari 113 lebih negara. Peserta pameran berjumlah sekitar 1.600 lembaga yang berasal dari 60 negara. Itu semua adalah jajaran angka yang ratusan kali lebih besar—teramat besar jika dibandingkan dengan Indonesia.
Belum lagi jika melihat angka penjualan rights yang dicapai. Selama LBF, sebanyak 23 judul buku Indonesia terjual rights-nya—sekitar 46 persen dari target tahun 2019 ini, yaitu 50 judul. Tidak begitu jelas dasar penargetan ini. Angka produksi buku Indonesia menurut IKAPI mencapai 30.000 judul setahun. Jika dengan asumsi buku karya penulis Indonesia adalah 50% (karena 50% selebihnya adalah buku terjemahan), rights yang tersedia untuk dijual adalah 15.000 judul per tahun. Katakanlah dari angka tersebut yang benar-benar layak untuk dipasarkan sangat minim, hanya 10%, maka tersedia 1.500 judul setiap tahunnya yang siap untuk dipasarkan rightsnya.
Target 50 judul dari 1500 yang tersedia? Tentu itu kurang sebanding.
Meski begitu, menarik kesimpulan bahwa semua usaha di atas gak ngaruh juga terlalu tergesa-gesa. Jangankan memenangi, untuk ikut muncul dalam papan bawah turnamen “nilai simbolik” semacam ini, diperlukan waktu, yang makin tak terbayangkan panjangnya jika tidak kunjung dimulai. Mempunyai paviliun seluas 600 meter persegi dan menggelar 99 acara selama sekitar 14 hari itu sesuatu yang patut diacungi jempol. Tanpa dukungan pemerintah, kalau stan diibaratkan dengan rumah, paling-paling penerbit kita hanya bisa ngontrak segede beranda Random House—kalau bukan malah sebesar pos sekuritinya. Namun begitu, paviliun semegah itu, terasa ironis jika tak diiringi prestasi yang sesungguhnya. Tantangan sudah jelas, perlu lebih fokus.
Jadi, lebih baik ngontrak pos sekuriti atau beranda? Lah….yang gini kok ditanyakan.

Tulisan ini diterima oleh booqsy.com pada 26 Maret 2019, sebagai catatan kecil keikutsertaan di The London Book Fair 2019.