Autisme masih cukup asing di telinga orang Indonesia. Peluang seseorang untuk mengerti secara persis apa itu autisme, terjadi hanya melalui 2 hal: dengan memiliki anak atau saudara yang mengidap autisme, atau dengan mempersiapkan diri menjadi tenaga profesional di bidang perkembangan anak. Tidak mengherankan, kehadiran anak autis di masyarakat Indonesia seolah tak kasat mata.
Memahami fenomena autisme memang tidak bisa dibilang gampang. Autisme sendiri merupakan kumpulan gejala yang jangkauannya (spektrumnya) luas, mulai dari yang bisa berfungsi secara kemasyarakatan (high functioned) hingga yang tidak mampu mandiri, mulai dari yang verbal (dapat berkomunikasi) hingga yang non-verbal, mulai dari yang bertalenta di atas rata-rata (savant syndrome) hingga yang tanpa bakat, mulai dari yang hiperaktif hingga yang pendiam. Semuanya berpangkal pada perbedaan kondisi saraf yang terjadi sejak lahir.
Di atas semua ciri-ciri tersebut, yang paling jelas adalah bahwasanya penyandang autisme terlahir sebagai insan istimewa. Individu-individu ini tidak gampang untuk menyesuaikan dengan lingkungan normal. Sialnya, kondisi ini tidak cukup mudah dimengerti. Penyandang autisme sering disamakan dengan pemalas, moody, bodoh, freak, kesurupan, lemah mental, dan semacamnya.
Kesalahkaprahan tersebut tidak melulu salah masyarakat. Sangat bisa jadi, hal ini diakibatkan oleh kurangnya buku, media, atau kampanye terkait autisme. Maka itu, dibutuhkan sebuah buku yang mampu mengupas autisme dengan baik. The Reason I Jump (20015), karangan Naoki Higashida, menjadi salah satu buku yang sangat baik, karena mengupas seluk beluk penyandang autisme, langsung dari sisi seorang anak autis.

NAOKI HIGASHIDA adalah seorang pemuda asal Jepang yang diketahui menyandang autisme sejak usia 5 tahun. Pada usia itu, Naoki berjuang sangat keras untuk berkomunikasi secara verbal—bahkan hingga kini masih kesulitan. Beruntunglah guru-gurunya berambisi besar untuk membantu, dan Naoki pun berusaha dengan tanpa lelah. Naoki yang tampaknya suka bercerita itu, dibantu dengan sebuah tabel alfabet hiragana Jepang, serta QWERTY keyboard yang dicetak dalam bentuk kartu dan dilaminating. Naoki berkomunikasi dengan menunjuk huruf-huruf tersebut, didampingi asisten yang telaten. Singkat cerita, pada usia 13 tahun, ia menerbitkan buku The Reason I Jump tersebut.
The Reason I Jump merupakan kumpulan tanya-jawab untuk Naoki, yang sepertinya telah sering ia dapatkan selama itu, mulai dari yang sederhana, pribadi, hingga yang menelisik. Dalam buku setebal 135 halaman (edisi bahasa Inggris, terbitan Penguin Random House), Naoki menjadi narasumber untuk segala “keganjilan-keganjilan” yang dipertanyakan “orang normal”.
Ada 58 pertanyaan, yang dijawab dengan lugu namun terperinci, rata-rata hanya dalam 5 paragraf. Pertanyaan-pertanyaan itu di antaranya meliputi: Mengapa orang autis suka berteriak sangat lantang dan terdengar aneh? Mengapa kamu suka menirukan pertanyaan orang padamu? Mengapa kamu suka mengucapkan pertanyaan yang sama lagi dan lagi? Mengapa kamu lama sekali menjawab pertanyaan orang? Mengapa kamu tidak mau memandang orang yang mengajakmu bicara? Mengapa kamu suka menyendiri? Mengapa kamu tidak suka berpegangan tangan dengan orang lain? Mengapa kamu suka pilih-pilih dalam hal makanan? Mengapa kamu suka air? Mengapa kamu sering hilang/tersesat? Mengapa kamu tidak bisa diam? Mengapa kamu suka melompat?
Q: Mengapa kamu terus melakukan hal-hal yang dilarang dan telah diingatkan berulang kali?
Kami, penyandang autisme, mendengarkan larangan itu berkali-kali. Aku, aku selalu diingatkan untuk tidak melakukan hal yang sama dari sejak dahulu. Sekilas, aku tampak nakal atau bandel, tapi sejujurnya, tidak seperti itu. Ketika aku diperingatkan, aku merasa sedih dan takut bahwa aku akan melakukannya lagi. Tapi, ketika kesempatan itu datang, kami sungguh lupa kejadian terakhir, dan kami melakukannya lagi. Seolah-olah ada seseorang yang bukan aku yang menyuruh kami melakukannya.
Kamu pasti berpikir: “Hmm, apakah dia tidak pernah belajar?” Kami tahu, kami membuat Anda sedih dan kecewa, tapi jangan pikir kami tidak berusaha, dan sesungguhnya aku takut, kamu sungguh berpikir seperti itu. Tapi tolong, apa pun yang Anda pikir, jangan pernah menyerah dengan kami. Kami butuh bantuanmu.
Q: Mengapa caramu berbicara aneh?
Terkadang, penyandang autis berbicara dengan intonasi yang aneh, atau menggunakan bahasa yang berbeda. Orang yang tidak autis bisa memilah apa yang ingin dikatakan secara langsung, ketika sedang terlibat percakapan. Tapi untuk kami, kata-kata yang ingin aku ucapkan dan kata-kata yang bisa saya ucapkan tidak selalu cocok. Itulah mengapa cara bicara kami terdengar sedikit aneh, kayaknya. Ketika ada perbedaan antara apa yang kupikirkan dan kukatakan, itu karena kata-kata yang keluar dari mulutku adalah satu-satunya kata-kata yang bisa kuakses pada saat itu juga. Kata-kata itu muncul karena barangkali aku selalu mengucapkannya atau karena kata-kata itu pernah sangat berkesan bagiku.
Q: Benarkah kamu tidak suka disentuh?
Untukku sendiri, aku tidak punya masalah dengan kontak fisik, tapi pastinya, beberapa penyandang autisme yang lain tidak suka dipeluk atau disentuh. Aku tidak tahu alasannya—bisa jadi itu membuat mereka tidak nyaman. Bahkan cara kita mencari pakaian yang cocok dengan musim, memakai pakaian lebih banyak di musim dingin, dan lebih sedikit di musim panas, ini bisa menjadi problem besar untuk penyandang autis yang indera perasanya terlalu sensitif. Turut berubah sesuai situasi merupakan tantangan yang berat.
Pada umumnya, untuk penyandang autisme, disentuh oleh orang lain berarti membiarkan tubuh ini dikontrol oleh orang lain, padahal si pemiliki sendiri tidak cukup mampu mengontrol dirinya. Ini seolah kita kehilangan jati diri kita. Pikirlah baik-baik—sungguh mengerikan!
Q: Apa alasan kamu suka melompat?
Apa yang kurasakan ketika aku melompat-lompat sambil bertepuk tangan? Aku yakin kamu pikir aku tidak merasakan yang lain, kecuali kegilaan yang tercetak di wajahku. Tapi ketika melompat, rasanya perasaanku turut melejit ke langit. Sungguhan, keinginan untuk ditelan oleh langit itu sampai bisa membuat hatiku berbunga-bunga. Ketika aku melompat, aku bisa merasakan seluruh bagian tubuhku dengan baik—kaki-kaki yang menjejak dan tangan-tangan yang menepuk—dan itu membuatku merasa sungguh-sungguh bahagia.
Q: Apakah kamu ingin menjadi “Normal”?
Apa yang bisa kami lakukan, andai ada cara untuk membuat kami menjadi “normal”? Well, aku rasa orang-orang di sekitar kami—orang tua dan guru—akan sangat gembira, dan berkata, “Halleluya! Kita akan mengubah mereka menjadi normal!” Dan selama bertahun-tahun, aku sangat ingin menjadi normal juga. Hidup dalam kondisi berkebutuhan khusus sangat menyiksa dan melelahkan; Aku biasa berandai-andai, seandainya aku ini normal, pastinya itu sangat menyenangkan.
Tapi kini, bahkan ketika ada orang-orang yang mengupayakan penyembuhan autisme, aku lebih ingin menjadi diriku sendiri. Kenapa aku berpikir seperti ini?
Singkatnya, aku telah belajar bahwa setiap manusia, dengan atau tanpa disabilitas, harus berupaya keras untuk melakukan yang terbaik, dan dengan mengupayakan kebahagiaan, kamu akan menghampiri kebahagiaan. Bagi kami, kamu tahu, menyandang autisme merupakan hal yang normal—jadi kami tidak tahu secara pasti apa artinya “normal” dalam sudut pandangmu. Tapi selama kami bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, aku tidak yakin apa pentingnya menjadi normal atau autis.

Buku ini sangat berharga. Meski tidak semua penderita autisme sama seperti Naoki, setidaknya kita mendapatkan kesempatan yang sangat mahal, untuk bisa “bertamu dan berbincang secara intim” dengan seorang penyandang autis. Segala kebingungan dan prasangka yang barangkali keliru, mendapatkan klarifikasi langsung, sehingga harapannya, tergantikan oleh empati dan kebesaran hati. Kebesaran hati untuk apa? Untuk menerima keragaman, dan membuang jauh-jauh diskriminasi.

Saya menyukai buku ini. Sangat menyukai. Selain tulisan Naoki, tidak boleh dilupakan pula, pengantar dari David Mitchel, yang menurut saya sangat kuat dan bagus dalam berbagi pikiran mengenai autisme. Dalam salah satu paragraf, David Mitchel yang anaknya juga menyandang autisme, berbagi pengalamannya saat pertama kali membaca buku ini—yang sepenuhnya saya amini:
Bagi saya, semua ini merupakan pemahaman yang transformatif, dan menguatkan. Ketika Anda tahu bahwa anak Anda ingin berbicara pada Anda, ketika Anda tahu bahwa ia memperhatikan lingkungan sekitarnya secara teliti dan penuh khidmat, sama seperti anak Anda yang tidak autis, walau dari luaran tampak berlawanan, maka Anda bisa sepuluh kali lebih sabar, menerima, memahami dan komunikatif; dan sepuluh kali lebih baik dalam membantu perkembangannya. Bukanlah berlebihan jika saya menganggap The Reason I Jump membantu saya untuk mempererat relasi saya dengan anak saya. Tulisan Naoki Higashida mengupayakan sebuah tendangan yang saya butuhkan, supaya saya berhenti meratapi nasib saya, dan mulai berpikir bahwa betapa beratnya hidup yang harus diperjuangkan oleh anak saya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk meringankannya.
*Pada 2015, Naoki Higashida menerbitkan sekuel buku ini, berjudul Fall Down 7 Times Get Up 8.