Apakah Kita Masih Membutuhkan Buku?

“Zaman sekarang, memangnya masih ada orang yang membaca buku!?” Bukan sekali dua kali, saya bertemu orang yang berseloroh demikian. Saya sering mengganggap komentar itu sebagai angin lalu, karena percaya banyak orang membaca buku. Namun, ada ironi yang akhirnya menyita perhatian saya, yaitu ketika ada penjaga toko buku yang mengeluhkan jualannya yang tidak kunjung laku. “Besok saya mau resign saja, Mas. Jualan buku absurd,” keluhnya.

Ada asumsi bahwa buku bukan komoditi bagus. Orang tidak lagi membeli buku, apalagi membaca. Orang juga tidak memprioritaskan informasi yang didapat dari buku, bahkan sebagian orang seolah terasing dari buku. Dungulah orang yang masih mau berjualan buku, begitu keyakinan mereka. Buku seolah objek di lukisan-lukisan tentang zaman medieval yang terpajang di museum, yang ditonton orang-orang modern sambil sibuk memperhatikan ponselnya yang cerewet.

Tapi, apakah realitanya semiris itu?

Bahwa buku tidak lagi merupakan bisnis yang lezat, adalah perkara lain, sebab faktor-faktor bisnis cukup banyak, dan perlu diteliti secara akurat. Pertanyaan yang perlu dijawab lebih dulu, adalah benarkah kita tidak membutuhkan buku? Tentunya ini adalah pertanyaan penting, yang setiap jawabannya dapat menjadi bahan permenungan masing-masing dari kita.

Kita Tidak Membutuhkan Buku?

Ada 2 alasan utama mengapa kita (merasa) tidak membutuhkan buku. Pertama, kemajuan teknologi informasi telah merevolusi ongkos informasi itu sendiri. Dengan kata lain, akses informasi menjadi lebih mudah. Dan, murah. Informasi tentang perkara sehari-hari hingga yang terkait karier di masa depan, berserakan di berbagai platform internet. Keuntungan yang diukur dari frekuensi klik, semakin “mempermurah” nilai berita. Persaingan layanan informasi ini berputar-putar pada perkara siapa yang paling cepat, paling banyak, paling praktis, bahkan paling murah.

Bisa dibayangkan, betapa payahnya buku bersaing dengan informasi di internet.  

Kedua, situasi di atas membuat audiens senang dan menciptakan kebutuhan riil akan kuota internet. Kebutuhan akan internet naik menjadi kebutuhan primer, sehingga mengubah persepsi orang akan nilai suatu barang. Mahal atau tidaknya suatu barang, kini diukur dengan harga paket internet. Buku terpaksa harus tergeser dari prioritas kebutuhan orang saat ini, sebab dianggap mahal dan bisa digantikan.

Misalnya begini, sebuah buku hasil riset seorang lulusan fakultas kedokteran dibanderol dengan harga Rp85.000,00 akan dianggap terlalu mahal, dibandingkan paket internet seharga Rp60.000,00. Nominal sebesar itu dapat dipakai selama hampir sebulan, untuk mengakses tutorial di Youtube tentang perkara-perkara kesehatan—yang diulas di buku riset sang dokter, melakukan jual-beli di toko online, dan membaca artikel-artikel lain di situs berita online.

Namun demikian, sejujurnya, de facto benarkah harga buku mahal? Saya sering bertemu orang yang menyalahkan harga buku, atas problem rendahnya literasi. Tentu saja, dilihat dari hukum ekonomi, premis itu benar, sebab siapa pun akan urung membelanjakan sesuatu yang dianggap terlalu mahal—selama ada alternatif lain. Tetapi, mari kita pindahkan fokus permasalahan harga itu. Harga buku adalah sebuah mekanika bisnis. Perusahaan penerbitan telah melakukan perhitungan sedemikian rupa, sehingga bisnis bisa berkelanjutan. Margin keuntungan adalah rahasia perusahaan, tapi kita baiknya sama-sama tahu bahwa tidak ada bos penerbitan buku di Indonesia yang masuk dalam daftar 10 orang terkaya. Kalau bos telekomunikasi, banyak. Sebaliknya, jika ngotot mematok harga buku di angka yang rendah, siapa yang akan menjamin kelangsungan bisnis perbukuan?

Jadi, fokus permasalahan harga buku harus kita pindahkan pada sejauh mana pemerintah mampu memberi sokongan, sehingga harga buku menjadi lebih terjangkau dan tepat sasaran (artinya: sokongan diberikan pada lapisan masyarakat yang memang tidak mampu menjangkau produk ini). Sokongan dapat berupa subsidi, insentif untuk penerbitan dan penulis, atau dalam bentuk sumbangsih penanganan problem di bidang perbukuan—yang paling nyata adalah pembajakan.

Mengapa, harus pemerintah? Pasalnya, buku adalah komponen literasi, yang terbukti vital, seperti halnya sembako, BBM, atau perumahan. Kita sepakat, dengan literasi yang rendah, Indonesia tidak akan mampu mentas dari statusnya sebagai negara berkembang. Dengan serangkaian program pemerintah, tentu perlahan tapi pasti, buku dapat terinkorporasi dalam kegiatan-kegiatan formal maupun non-formal, sehingga menjadi kebutuhan yang nyata.

Sekali Lagi, Apakah Kita Membutuhkan Buku?

Lupakanlah dulu soal imajinasi kita tentang dunia perbukuan, dan keluh kesah kita bahwa “seharusnya begini, seharusnya begitu”. Berpijak pada kenyataan sekarang ini, patutlah kita teliti sungguh-sungguh, apakah masyarakat membutuhkan buku. Jika memang membutuhkan buku, tentu kita akan membeli terlepas harganya seberapa, seperti halnya beras, minyak goreng, atau BBM. Kebutuhan akan barang-barang tersebut nyata.

Jawabannya simpel, ya, kita masih membutuhkan buku.

Buku adalah salah satu hierarki tertinggi pemerolehan informasi saat ini. Anda akan lebih merasa aman dan puas jika sumber informasi adalah dari buku ketimbang berita online, media sosial, televisi, radio, atau pengakuan sembarang orang. Kalau dokter melakukan diagnosis dengan meng-googling keluhan Anda, apakah Anda tidak meragukan kemampuan dokter tersebut? Anda juga akan protes kalau materi-materi pelajaran anak Anda di sekolah didapatkan dari internet. Anda tentu berharap kualitas dokter atau guru tersebut bisa lebih diandalkan—dan itu bisa ditunjukkan dengan terjaminnya kualitas acuan atau sumber yang digunakan, yang adalah buku.

Buku adalah pertanggungjawaban terbaik kualitas seseorang atau suatu institusi. Kita membutuhkan buku, karena buku merupakan bentuk pertanggungjawaban paling baik kualitas seseorang atau suatu institusi. Disebut baik karena wahana buku bersifat sahih, yaitu teruji keabsahannya, sekaligus historis, yaitu terdokumentasi dengan baik. Seorang arsitek yang hebat dan telah membangun menara membutuhkan buku untuk mempertanggungjawabkan rincian pemikirannya tentang karya-karyanya, sekaligus mendokumentasikannya untuk pembelajaran generasi berikutnya. Demikian pula jenderal, politisi, pengacara, membutuhkan media buku untuk kepentingan yang sama. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi berita online, status FB, video, dan semacamnya.

Buku adalah format properti intelektual yang paling praktis untuk jangka panjang. Properti intelektual meliputi produk-produk teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Dari seluruh produk, format buku adalah yang paling praktis, karena dapat disimpan, dipegang, dibawa, dan diwariskan secara turun temurun. Baik dalam format cetak maupun ebook, buku tetap menjadi format yang paling praktis.

Jadi, apakah kita masih membutuhkan buku? Sekarang tengoklah di sekitar Anda, pasti akan Anda temukan setidaknya 1 buku di sekitar Anda. Sekali lagi, kita tidak dapat lepas dari buku. Jika toh saat ini Anda tidak berminat membaca, itu hanyalah masalah waktu. Ada saat ketika buku akan menemukan Anda.

Peruntungan “Buku Motivasi” Setelah Pandemi

Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara bertahap status pembatasan sosial di berbagai wilayah. Hal ini dianggap sebagai sinyal telah mulai meredanya pandemi Covid-19. Beberapa pihak mulai mengambil ancang-ancang strategi bisnis, tidak terkecuali industri buku. Meski demikian, insting mengatakan bahwa perilaku pasar pasca-Pandemi tentu telah mengalami perubahan. Salah satu yang jelas berubah adalah pada genre buku motivasional.

Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara bertahap status pembatasan sosial di berbagai wilayah. Hal ini dianggap sebagai sinyal telah mulai meredanya pandemi Covid-19. Beberapa pihak mulai mengambil ancang-ancang strategi bisnis, tidak terkecuali industri buku. Meski demikian, insting mengatakan bahwa perilaku pasar pasca-Pandemi tentu telah mengalami perubahan. Salah satu yang jelas berubah adalah pada genre buku motivasional.

Secara garis besar, buku motivasional adalah seluruh buku yang menyemangati pembaca untuk mengembangkan diri, biasanya dengan ukuran kesuksesan material, psikologis, spiritual, maupun gabungan dari ketiganya. Dunia buku motivasi Indonesia mengenal penulis-penulis terkenal—lalu mendapat julukan motivator—seperti Andrie Wongso, Mario Teguh, Merry Riana, Bong Chandra, Tung Desem Waringin, Ary Ginanjar, dan masih banyak lagi. Mereka telah lama menikmati kue besar di arena industri buku motivasional, yang tampaknya tidak pernah surut seiring maraknya budaya produktivitas di negara yang sedang sibuk membangun ini. Tidak mengherankan penulis-penulis baru terus bermunculan.

Dari data internal jaringan toko buku Gramedia (per September 2021), departemen self improvement—induk dari genre motivasi, berkontribusi membukukan penjualan sebesar 10%, tidak terpaut jauh dari kontribusi tertinggi yang dipegang oleh departemen buku anak, yaitu sebesar 15%, dan tertinggi kedua yang dipegang oleh departemen novel, yaitu sebesar 14%. Data ini dapat dibaca sebagai seberkas optimisme oleh penerbit maupun motivator, bahwa di tengah pandemi, animo masyarakat Indonesia untuk datang ke toko buku dan memprioritaskan pembelian buku motivasi masih tinggi.

Meski demikian, setidaknya terbit 2 pertanyaan. Pertama, apa karakteristik khas buku motivasi yang digemari—atau dianggap relevan—oleh masyarakat selama pandemi ini? Kedua, bisakah ditarik suatu proyeksi tentang karakteristik-karakteristik buku motivasi setelah pandemi nanti?

5 Besar Buku Motivasi dengan Penjualan Terlaris

Sejujurnya bukanlah perkara mudah memberi nasihat motivasional di saat semua orang merasakan petaka pandemi ini. Durasinya yang sangat lama (hampir 2 tahun) memberi imbas ekonomi yang dahsyat dan merata, sehingga orang lebih butuh sesuatu yang nyata ketimbang teori-teori penyemangat. Maka, selalu menjadi pertanyaan insan perbukuan, karakter buku motivasional seperti apa yang berhasil di masa ini?

Lima besar buku motivasi (self-improvement) dengan penjualan terlaris pada bulan September 2021 meliputi judul-judul berikut: (1) Rahasia Magnet Rezeki karya H. Nasrullah, (2) Atomic Habits: Perubahan Kecil yang Memberikan Hasil Luar Biasa karya James Clear, (3) Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson, (4) Filosofi Teras karya Henry Manampiring, dan (5) Insecurity is My Middle Name karya Alvi Syahrin. Rata-rata judul tersebut merupakan terbitan lama, kecuali Insecurity is My Middle Name yang dirilis pada Mei 2021.

Ditilik dari sudut pandang tema, semua mengangkat kesuksesan dari sudut pandang pengolahan kematangan jiwa/psikologis. Buku Rahasia Magnet Rezeki—cukup sekilas dilihat dari cover dan sinopsisnya—mengupas tema tersebut dari sudut pandang nilai-nilai Islami. Atomic Habits mengangkat tema manajemen pribadi yang diawali dari hal yang paling sederhana. Buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat mengadvokasi jiwa generasi muda yang kesulitan menemukan representasi yang sehat di dalam zaman modern yang serbarakus dan konsumeristis. Buku Filosofi Teras menghidupkan lagi pandangan lama tentang Stoikisme yang lama sempat tenggelam. Dan, buku Insecurity is My Middle Name rupanya menyambar isu kerentanan dan kerapuhan jiwa anak-anak muda dalam upaya pendewasaan diri. 

Baik di luar maupun di dalam negeri, motivator selalu identik dengan slogan optimistis, yang terkadang justru terdengar bombastis. Namun, bukan kebetulan bahwa mayoritas buku yang terdapat dalam daftar 5 besar ini tidak mengangkat klaim yang bombastis (satu-satunya perkecualian adalah istilah magnet rezeki di judul buku milik H. Nasrullah). Bahkan dalam pengantar buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat terdapat ajakan untuk jangan berubah, untuk meyakinkan bahwa perubahan yang paling ideal bukan didorong oleh klaim-klaim kesuksesan orang lain atau oleh pencapaian sosok seleb yang dipamerkan di media-media sosial, tapi dari proses kesadaran dan tanggung jawab setiap individu. Alih-alih bombastis, sebagian besar buku ini berbicara tentang pentingnya percaya pada proses yang sederhana, dan jangan takut (insecure) pada hal-hal di luar diri kita. Dalam situasi ketidakberdayaan (akibat pandemi), barangkali yang dicari adalah penyemangat yang sederhana layaknya sahabat, bukan pemberi mimpi bombastis.

Cakupan makna “sederhana” tersebut tentu saja terbuka untuk diperdebatkan, sebab sederhana bukan berarti mudah dibuat. Penulis-penulis di atas jelas memiliki kecakapan yang mumpuni. Yang kita anggap sederhana, dirancang sedemikian rupa dengan riset yang mendalam. Jangan berasumsi, tema sederhana berarti tema yang medioker. Apalagi, seperti kata Leonardo da Vinci (konon, bukan betul-betul ucapan da Vinci), “Kesederhanaan adalah puncaknya kerumitan.”

Peruntungan Buku Motivasional

Berbicara tentang peruntungan, orang spontan bertanya: apakah di masa pandemi, cara mudah untuk cepat menangguk cuan adalah menulis “buku motivasi”? Nah, yang jauh-jauh hari perlu diingat, di masa kapan pun, menulis buku motivasional tidak pernah mudah. Buku motivasional yang bagus dan laris, bukanlah sekadar hujan kata-kata indah. Meski begitu, jika berbicara cuan, tentu saja fakta tentang data penjualan genre self-improvement di bagian sebelumnya sudah cukup menjawab. Dengan kata lain, buku motivasional tetap memiliki panggung.

Belajar dari data yang ada, kiranya ada beberapa insight untuk tema buku motivasional pasca-pandemi yang terkelompokkan dalam 3 kategori:

  1. Zona hijau: Yang dimaksud dengan zona hijau adalah penerbitan buku yang sejalan dengan tren. Disebut hijau karena dengan mengusung tema-tema yang telah terbukti penjualannya, penerbit tentu akan lebih mudah menerima. Ini meliputi ciri-ciri berikut: (a) tidak melulu bertumpu pada pencapaian kesuksesan material, (b) tidak menjanjikan nilai-nilai yang bombastis, (c) tidak mengabaikan faktor insecurity/kerapuhan psikologis pembaca.
  2. Zona kuning:Yang dimaksud dengan zona kuning adalah penerbitan buku yang sedikit “memberontak” dari tren. Mengikuti tren memang baik, tapi pesaingnya (baik penulis lama maupun penulis baru) tentu sangat banyak, sehingga akan lebih “berdarah-darah”. Maka, diperlukan modifikasi (tweak) tema. Tema utamanya masih sama, namun ada bagian yang dimodifikasi, entah pada penjabaran teknis, sudut pandang, pengemasan isi, dan lain sebagainya. Penerbit mungkin perlu waktu untuk diyakinkan, namun tidak akan langsung menolak.
  3. Zona merah: Yang dimaksud dengan zona merah adalah tema-tema yang jauh berbeda, bahkan mungkin masih mengangkat tema-tema lama yang bombastis. Bukan berarti tema ini jelas tidak akan bisa diterima, tapi tema ini tentu akan sangat menantang. Direkomendasikan untuk penulis yang telah memiliki komunitas, jaringan kokoh, atau nama besar.

Ada ide atau sanggahan? Tulis di kolom komentar, ya!

Musim Mengubur

1

Untuk orang yang mengalami kedukaan, tidak ada satu benda pun di dunia ini yang dapat menjadi silih. Kedukaan menjadikannya berjarak dari kehidupan, sebab seluruh barang dunia dalam sekejap, menjadi tidak relevan, karena tak bisa mengembalikan kepergian orang yang dicinta itu. Untuk sementara, ia menjadi emoh dengan segala hal di dunia ini.

Raut mukanya mungkin tampak biasa-biasa saja di pemakaman. Dia masih bisa tersenyum dan berbasa-basi, meski sejatinya kakinya seolah tidak menjejak di tanah dan jiwanya sedang melayang-layang—persis seperti larik-larik puisi Subagio Sastrowardoyo: aku telah sampai pada tepi/Darimana aku tak mungkin lagi kembali./Aku kini melayang di tengah ruang/Di mana tak berpisah malam dan siang./ (Manusia Pertama di Angkasa Luar, 1970).

Namun demikian, di hari kepulangan ayah saya pada 3 Juli yang lalu, saya tidak sempat merasakan itu—saya tak sempat melayang-layang. Pasalnya, di hari itu, ada 492 orang yang turut wafat akibat Covid di seluruh Indonesia, yang membuat kedukaan yang saya alami menjadi sesuatu yang terasa komunal, bahkan massal. Saya tidak sempat merasakan kesendirian. Ada perasaan kehilangan, tapi bersamaan dengan itu terbit pula belarasa pada ratusan keluarga lain yang juga sedang kehilangan—bahkan saya masih bisa mendoakan kawan atau kenalan yang sanak saudaranya tengah meregang nyawa. Tentu saja, saya juga berterima kasih karena menerima belarasa dari banyak orang.

Tepatlah pendapat Rutger Bregman dalam bukunya Humankind (2020):

It’s when crisis hits – when the bombs fall or the floodwaters rise – that we humans become our best selves.

2

Yang terjadi saat ini, sekilas seperti “musim mengubur”, yaitu musim ketika berita kematian mewarnai linimasa kita, selayaknya warna hijau yang bertebaran di jalan-jalan saat musim mangga. Sejak awal Juli, korban meninggal akibat Covid di Indonesia berkisar pada angka 1000 nyaris setiap harinya. Bahkan kemarin (22 Juli 2021), terdapat kematian 1440 jiwa. Itu adalah angka yang patut diratapi, terutama jika orang-orang yang kita kenal ikut terbilang di sana.

Pertanyaannya, apa yang kita ratapi: nasibkah?

Tak perlu meratap, sebab memang beginilah hidup. Petaka bukanlah hal baru, sebab dari waktu ke waktu selalu ada yang seperti ini. Nietzsche mengajak setiap orang untuk menghayati “amor fati”, bukan sekadar mengetahui, menerima, atau meratap, tapi juga mencintai nasib ini. Memang sudah nasib kita, menjalani hidup dengan segala untung dan malang, dan kita berduyun-duyun menyongsong kematian.

Inikah yang disuarakan banyak orang dalam sepotong jargon “berdamai dengan covid”? Barangkali karena wabah covid ini tidak mampu kita bendung, kita pun diajak untuk tidak menaruh harapan yang mustahil—terutama untuk waktu-waktu dekat, misalnya: semoga Agustus sudah bisa jalan-jalan dengan bebas, semoga Desember, sudah boleh nongkrong tanpa masker, dan semacamnya. Berdamai berarti menerima nasib—tepatnya, nasib yang apes.

Namun begitu, ada yang lebih mendasar. Konsekuensi logis di musim penguburan saat ini bukan saja berdamai dengan covid, namun berdamai dengan kematian. Bukan berarti leleh luweh dan “nekat mati”, berdamai dengan kematian berarti menaruh kematian dalam ujung tombak spiritualitas kita.

Jadi, kembali pada pertanyaan sebelumnya: apa yang patut diratapi dalam musim mengubur ini? Bukan nasib, melainkan sikap penyangkalan kita pada kematian.

3

Martin Hägglund, seorang filsuf muda asal Swedia, mengatakan bahwa keyakinan akan kehidupan kekal setelah mati, adalah salah satu sumber masalah di dunia ini. Dalam bukunya, This Life: Secular Faith and Spiritual Freedom (2019), ia berujar bahwa keyakinan semacam itu membuat orang tidak sungguh-sungguh merawat kehidupan, karena merasa hidup ini hanya peralihan. Hidup yang sesungguhnya bukan sekarang, tapi nanti sesudah mati. Padahal, seharusnya kesadaran bahwa kita semua akan mati, membuat kita saling menyadari kefanaan dan kerapuhan segala hal—bahwasanya, kehidupan ini memiliki batas. Batas itu adalah kematian, dan setelah kematian, siapa pun itu akan sirna dan tidak bisa lagi melanjutkan semua rencana dan proyeknya di bumi ini.

Martin Hägglund menyebutnya sebagai sense of finitude, yaitu: kesadaran akan kerapuhan segala benda yang kita sayangi. Ketika semua manusia sama-sama menyadari keberbatasan dunia ini, di situlah lahir secular faith (iman sekuler), yaitu: bentuk iman yang kita pegang ketika mengasihi seseorang atau sesuatu yang sangat mudah sirna. Kita semua mengasihi—diri sendiri, orang lain, dan seisi dunia tempat kita berpijak—dan kasih itu terpaut erat dan tak bisa lepas dari risiko kehilangan. Baginya, ini merupakan bentuk iman yang paling universal, yang bisa dihayati oleh siapa pun, baik yang relijius maupun yang tidak.

Ide Hägglund sederhana tapi merangkum seluruh tema tentang berdamai dengan kematian. Dia ingin mengatakan bahwa hidup ini akan kehilangan makna jika tak ada kematian. Berharganya kehidupan bukan pertama-tama disebabkan oleh janji akan hidup abadi sesudah kematian, tapi pada fakta bahwa hidup ini tidak abadi. Karena nyawa kita (dan seisi dunia) tidak abadi, adalah keharusan setiap orang untuk merawatnya.

Iman religius dapat kehilangan relevansinya jika gagal meresapi makna kematian itu. Konyol sekali, bahwa ada oknum relijius di Indonesia yang masih memandang enteng risiko kematian, lalu menyia-nyiakan nyawanya dan nyawa orang lain, dengan alasan iman pada Tuhan. Tidak ada belarasa sekaligus tidak memiliki sense of finitude. Padahal, perkara meresapi kematian itu harus sampai pada rasa sayang pada dunia dan seisi ciptaan yang fana ini—sayang yang sungguh-sungguh besar, bahkan sampai tidak mungkin ditukar dengan nikmatnya janji kehidupan kekal di surga. Di situlah, tumbuh “kedamaian dengan kematian” yang sesungguhnya.

Saya teringat akan bagian terakhir film Silence (2016) karya Scorsese. Romo Rodrigues (diperankan Andrew Garfield)—mengikuti jejak Romo Ferreira (Liam Neeson)—meninggal bukan lagi sebagai seorang Yesuit, tapi sebagai pendeta agama lokal Jepang. Mereka rela menanggalkan identitas itu, dianggap pengecut oleh semua pihak, demi berhentinya siksaan keji yang berturut-turut dialami jemaat Katolik yang mereka pimpin.

Menolak Ambyar ala Mark Manson

Apakah Anda pun mulai merasa kehilangan harapan?

Hari-hari ini, kita mengalami sebuah momen yang sangat langka. Baru sekaranglah, perhatian semua orang di seluruh dunia terpusat pada satu hal yang sama, yaitu pandemi virus Corona, yang telah merenggut puluhan ribu nyawa tanpa ampun, dan memarjinalkan setiap aktivitas ekonomi di segala bidang. Sayangnya, ini adalah sesuatu hal yang tidak menggembirakan. Detik ini, Anda dan 8 miliar penduduk dunia merasakan kegelisahan yang sama, bahkan barangkali sebagian besar mulai merasa takut, putus asa, atau depresi.

Membaca angka kematian di koran, mencermati prediksi krisis dan analisis ekonomi di televisi, dan menelusuri cuitan-cuitan pesimistis di Twitter, apakah Anda mulai bertanya-tanya: mengapa hidup menjadi sedemikian buram?

Anda mungkin terheran-heran sendiri, sebab dahulu, Anda masih bisa berpikir positif—seperti yang acap kali dianjurkan berbagai buku pengembangan diri. Harapan Anda sangat besar. Tapi, melihat realitas sekitar dengan mata kepala sendiri membuat Anda berpikir ulang. 

* * *

Jika kegelisahan-kegelisahan itu yang melanda Anda saat ini, buku Segala-galanya Ambyar barangkali dapat menemani Anda. Buku terbaru dari Mark Manson, seorang penulis muda dari Amerika yang sebelumnya begitu dikenal berkat Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, ini mencoba mendekati sisi kelam kehidupan. 

Hal pertama yang dikatakan oleh buku ini adalah: tenang. Ya, Anda diminta untuk tenang jika menghadapi hal-hal buruk ataupun kejadian yang sangat fatal sekalipun. Bukan karena Anda harus berpikiran positif, tapi karena apa yang Anda alami tidaklah istimewa. Jauh-jauh hari, ratusan atau ribuan tahun yang lalu, permasalahan yang Anda hadapi sudah pernah terjadi. Coba Anda sebutkan satu demi satu: peperangan? Wabah? Pembantaian massal? Bencana alam? Semua sudah pernah terjadi, bahkan lebih mengerikan.  

Dengarkan kutipan berikut:

Hampir sepanjang sejarah manusia, orang-orang pernah menjadi brutal, menganut takhayul-takhayul, dan berperilaku biadab.. Dahulu orang-orang sadis dan gampang kalap. Hampir sepanjang sejarah, dunia ini bukanlah tempat yang menyenangkan untuk ditinggali…

Mark Manson hendak mengatakan bahwa penderitaan adalah hal yang niscaya terjadi. Kemungkinan kita menghadapi hal seperti ini adalah: 50%. Kalau Anda terlahir di dunia, ya konsekuensinya mengalami penderitaan—termasuk di dalamnya pandemi. Kita tidak perlu panik, atau mengumbar-umbar kesedihan, melainkan hadapi dan terima, sebab kita bukan satu-satunya makhluk yang ditimpa kesialan. 

Hal kedua, Mark Manson juga hendak mengingatkan bahwa kehidupan kita saat ini adalah yang paling menyenangkan, dan kita memiliki semua sumber daya yang lebih dari cukup, yang sepatutnya membuat kita tidak mudah gelisah.Maka, jika Anda menjadi gelisah, depresi, panik, itu adalah respons yang keliru.

Mengapa keliru? Karena barangkali Anda menggantungkan harapan pada hal-hal yang irasional. Jika dalam hidupnya, seseorang selalu yakin bahwa ia harus diperlakukan dengan baik dan tidak boleh dikhianati, suatu saat ketika ia bertemu dengan seorang bos yang tegas dan tidak pandang bulu, bisa jadi ia akan stres dan depresi. Orang ini menggenggam erat harapan bahwa semua orang harus memperlakukan dia dengan baik, padahal kenyataannya tidak bisa begitu. Kenyataan tidak mengikuti keinginan atau harapan kita. 

Sama halnya, dengan orang yang meyakini bahwa karena selama ini ia berbuat baik, tidak mungkin ia tertimpa malabencana. Ia berharap dunia berjalan sesuai keyakinan tersebut. Padahal, pandemi tidak memandang identitas—semua kena libas.

Dengan kata lain, dalam buku Segala-galanya Ambyar ini, Mark Manson menggarisbawahi harapan sebagai biang kerok permasalahan psikis manusia modern. Semakin hidup dipermudah, semakin orang mengharapkan bahwa hidup HARUS berjalan sesuai keinginan mereka. Maka, ia mengatakan: lepaskan harapan, jika Anda ingin hidup bahagia—maksud Manson adalah harapan-harapan yang tidak rasional itu.

Hal ketiga, Mark Manson justru mengatakan bahwa hidup ini akan jauh lebih membahagiakan jika Anda bisa beraktivitas sehari-hari tanpa menaruh harapan apa pun. Benarkah itu? Ya, Anda tidak salah dengar. Bahkan, Manson memberi contoh nyata, yaitu kehidupan seorang filsuf besar, Immanuel Kant.

Dengarkan kutipan berikut:

Kant bersikap bodo amat. Dan menurut saya, sikap bodo amatnya sungguh ada dalam kualitas yang paling murni dan paling mendalam. Ia adalah satu-satunya pemikir yang membuat saya terkesan, yang menghindari harapan beserta tumpuannya, yaitu nilai-nilai manusiawi yang cacat.

Bagaimana mungkin seseorang bisa hidup tanpa berharap? Bisa. Orang yang mencintai pasangannya dengan harapan dirinya balas dicintai, tidak akan pernah bahagia, sebab ia melakukan suatu usaha dengan pamrih, dan sewaktu-waktu, akan kecewa. Jadi, kalau Anda ingin bahagia, cintailah pasanganmu tanpa berharap apa pun. Cintai dia karena Anda memang percaya bahwa mencintainya adalah sebuah tindakan yang baik. Titik. Tanpa harapan apa pun.

Memang, Manson tidak serta merta mengatakan bahwa harapan itu harus dihapus. Tidak. Anda boleh, bahkan harus memiliki harapan. Hanya saja, harapkanlah sesuatu yang memang sudah jelas akan terjadi. Misalnya: jika Anda memutuskan akan menikah, jangan berharap Anda dan pasangan Anda akan bahagia sampai akhir hayat, sebab itu tidak mungkin. Alih-alih, berharaplah Anda dan pasangan Anda bisa menghadapi suka dan duka, kebosanan dan krisis, yang jelas pasti akan menimpa. Atau, jika Anda membeli ponsel terbaru, jangan berharap ponsel itu membuat Anda tampak lebih berwibawa, sebab itu mustahil. Ponsel tetaplah ponsel, harapkanlah alat itu bisa membantu Anda berkomunikasi dan bekerja dengan lebih lancar.

Dan, jika saat ini Anda hidup di dunia, jangan berharap Anda akan selamanya bahagia—sebab itu tidak mungkin. Sewaktu-waktu terjadi bencana, yang mana sangat mungkin terjadi, Anda bisa kecewa berat. Pertanyaannya: apa yang seharusnya kita harapkan pada kehidupan ini? Nah, untuk itu, Manson sudah mengulasnya dengan sangat gamblang dan jenaka. 

* * *

Terus terang, kekuatan buku ini ada pada gaya Mark Manson. Berbeda dengan penulis-penulis sains lainnya, seperti Yuval Noah Harari atau Steven Pinker atau Hans Rosling, Manson mampu mengulas 3 kombinasi tema besar, yaitu filsafat, sejarah, dan psikologi klinis, dengan gaya yang ringan dan dibungkus dengan cerita yang menarik. Dengan begitu, segalanya menjadi tampak ringan dan sangat mudah dicerna. Tidak terasa, sebuah sejarah pemikiran modern berabad-abad sedang diterangkan oleh Manson.

Jika dalam buku terdahulu, ia mengenalkan frasa yang populer: bodo amat—sebagai terjemahan dari not give a f*ck, kali ini Manson memakai frasa yang tidak kalah menariknya: ambyar—sebagai terjemahan f*cked. Tidak berlebihan memang, sebab kata ambyar mewakili kondisi faktual maupun psikis, ketika kita bersentuhan dengan kekecewaan yang mendalam, bahkan kehancuran. 

Tapi, poinnya bukan sekadar pada kehancuran atau keambyaran, melainkan pada perspektif dewasa kita dalam menerima segalanya dengan lapang dada. 

Dan, Filsafat Semakin Akrab (Setelah Pandemi)

Pada 25 Maret 2020, ketika pandemi coronavirus telah meraksasa dan melibas nyaris seluruh dunia, ketika jumlah kematian di Italia dan Spanyol mencapai di atas 500 orang setiap hari, dan ketika Indonesia mulai kalang kabut menggalang pertahanan, Slavoj Žižek mengeluarkan sebuah buku, berjudul Pandemic!. Pada akhirnya, Žižek, sang filsuf turun juga.

Pandemic!—yang dibagikan secara gratis oleh penerbit OR Books dan keseluruhan royaltinya akan disumbangkan ke LSM Médecins Sans Frontières (untuk itu saya perlu angkat topi)—merupakan sebuah percikan telaah terhadap situasi akibat pandemi. Sampulnya cukup menggelitik, menampilkan permainan tipografi yang menyendirikan huruf-huruf “dem” dalam “pandemic”, sehingga terbaca menjadi “panic”, alias panik. Ya, bencana, kepanikan, dan filsafat. Mungkinkah pada akhirnya, kita belajar sesuatu dari ranah filsafat, dalam kondisi seperti saat ini?

Perlu diingat bahwa filsafat telah lama memperoleh status sebagai minoritas, dalam konteks kehidupan masyarakat di Indonesia. Tidak banyak orang yang tahu apa sebenarnya yang dipelajari dalam ilmu filsafat, tapi toh mereka bisa-bisanya melabeli filsafat sebagai: kerumitan, sesuatu yang mengawang-awang, sesuatu yang tidak berguna, dan topik kurang kerjaan. Secara khusus di dunia perbukuan, filsafat juga tidak pernah meyakinkan untuk “dijual”, tertimbun buku-buku yang lebih seksi, seperti kumpulan puisi pendek, motivasi, petuah karier, atau novel.

Namun, setelah buku baru Žižek diunduh secara masif di internet, dan artikel-artikel Yuval Noah Harari, Mark Manson, Nassim Thaleb, serta kutipan-kutipan dari Epictetus, Albert Camus, atau Markus Aurelius tersirkulasi di Instagram, barangkali inilah saat filsafat mulai mendapat tempat di dalam masyarakat. Benarkah? Apakah pada akhirnya, filsafat akan diminati? 

Absurditas adalah Kunci

Žižek menyebut fenomena corona (di Eropa) sebagai perfect storm, sebuah badai dahsyat yang sangat langka terjadi. Meledaknya virus corona membuat beberapa isu keburukan birokrasi politik di beberapa negara (Rusia, AS, Turki, dan Cina) menguat, dan menambah kacau mitigasinya. Kedahsyatan corona membuat orang kehilangan harapan atas berbagai aspek; bukan saja kesehatan, tapi juga pemerintahan, birokrasi, masyarakat, dan bahkan sistem ekonomi.

Ini adalah momen ketika kita keluar rumah dan yang kita lihat adalah segala institusi mendadak tampak reyot, dan bersiap untuk roboh. Jika tidak ditangani segera, semua akan benar-benar roboh. Tapi masalahnya, bagaimana membenahinya? Ini adalah pertanyaan utama, dari sekian pertanyaan yang memberondong kita saat ini.

Misalnya, dari segi kemasyarakatan: apa yang bisa kita lakukan untuk menyokong lapisan masyarakat yang tiba-tiba berpenghasilan nol, tanpa tahu sampai kapan? Apakah mereka begitu Karena kesalahan mereka sendiri, atau kesalahan struktur? Apa jadinya jika mereka menimbulkan huru hara, dan meminta keadilan? Apakah mereka memiliki hak untuk kita tolong, dan siapakah yang wajib menolong mereka, individu atau negara? 

Dari segi politik: apakah prioritas pemerintahan adalah menjaga stabilitas ekonomi atau stabilitas politik? Mengapa kita tidak mendapatkan data secara transparan? Mengapa aura militer begitu kuat dalam situasi ini—apakah itu artinya selama ini, militer mengatur semuanya? Jadi apakah kita benar-benar demokratis? Apa itu kontrak politik?

Bahkan dari segi spiritual: jika beribadah bisa dilakukan di dalam rumah, lalu seberapa penting kegiatan agama secara kolektif yang selama ini kita lakukan? Bukankah begini saja sudah cukup?

Derajat kemendesakan membuat pertanyaan-pertanyaan tersebut sewaktu-waktu bisa menjelma kepanikan, sebab jawaban-jawabannya tidak kunjung datang. Sementara, realitas tidak peduli apakah pemahaman kita siap atau tidak. Dalam kondisi bencana yang bergulir terus, tanpa kita memiliki jawaban yang pasti, masing-masing orang mengalami absurditasnya sendiri-sendiri. Absurditas adalah kondisi buyarnya nilai-nilai yang selama ini kita yakini, kondisi ketika akal sehat (common sense) saja tidak cukup, sehingga kita kini tertinggal sendiri tanpa memiliki pegangan, tanpa memiliki harapan.  

Tren Mencari Esensi

Kita berutang pada situasi absurd ini, yang secara psikologis memaksa orang untuk mencari sesuatu. 

Apa yang kita cari ketika mobil kita rusak di pagi hari? Kita mencari alat transportasi pengganti, entah itu sepeda atau angkutan umum. Apa yang kita cari ketika gaji kita dipotong dan cicilan harus dilunasi? Kita mencari sumber pendapatan lain, entah itu berjualan barang atau menawarkan jasa. 

Lalu, apa yang kita cari ketika harapan dan keyakinan kita hilang? Yang kita cari adalah esensi hidup. Esensi adalah tujuan utama atau hakikat. Dia bisa ditemukan, salah satunya dengan mengabaikan hal-hal yang tidak penting. Sebelum ada bencana, kita dibanjiri dengan informasi-informasi yang tidak penting (fesyen, gosip, selebritas pamer tubuh-materi-atau-rumor, info operasi pemancungan hidung, sepatu lari yang paling ringan). Masyarakat tidak dibebani oleh kemendesakan apa pun, sehingga hal-hal tidak penting itu menjadi sebuah komoditas dengan nilai yang fantastis. 

Setelah badai corona menerpa, insting semua manusia adalah menyelamatkan diri. Fesyen tidak bisa menyelamatkan kita. Gosip apalagi. Selebritas, pemain bola, aktor, tiba-tiba tidak lagi menarik. Kita berusaha menyelamatkan hal-hal yang penting, termasuk di dalamnya adalah: keyakinan-keyakinan kita akan kemanusiaan, keadilan, Tuhan, atau etika. Itu semua adalah hal-hal yang abstrak, yang tidak bisa dilihat dan digenggam, seolah kita sedang memilih-milih syampo di minimarket. Tapi toh kita membicarakannya, mempertanyakannya, membandingkannya, menyalahkannya, hingga pada akhirnya membutuhkan pencerahan tentangnya.

Dan, jika beruntung, kita sampai pada kesadaran bahwa filsafat akan menolong kita.

Peluang Perbukuan

Buku filsafat adalah jenis yang susah dijual. Padahal, filsafat itu luas sekali. Filsafat bisa menyangkut hal-hal yang sangat abstrak, misalnya mengupas tentang apa yang ada dan tidak ada (metafisika), tentang apa yang baik dan yang jahat (etika), tentang apa yang indah dan buruk (estetika), dan lain sebagainya. Tetapi, filsafat juga bisa menyangkut hal-hal yang populer dan dekat, misalnya tentang budaya pop, kecenderungan milenial, sejarah kemanusiaan, dilema bisnis, hukuman mati, universal basic income, dan lain-lainnya.

Mungkinkah perkara “ketidakmenjualan” ini disebabkan oleh tema itu sendiri, atau sesungguhnya kemalasan penerbit untuk mendekatkan/mencipta kebutuhan? Itu adalah pertanyaan abadi yang tidak perlu dijawab, dan lebih afdol untuk direnungkan oleh pihak-pihak terkait saja. Kini, terbentang di depan kita: situasi yang menunjang kebutuhan akan pencerahan.

Jauh sebelum corona (bermula tahun 2018), sesungguhnya ada tren buku-buku filsafat terutama dalam tema Stoikisme. Stoikisme adalah cabang gaya filsafat dari sekolah Stoa (lahir kira-kira abad 3 SM), yang mengulas tentang kebijaksanaan hidup, atau cara kita hidup dengan bijaksana (do philosophy). Sebut saja buku-buku dari Mark Manson (Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, dan Segala-galanya Ambyar), dan Henry Manampiring (Filosofi Teras), yang sukses menjadi buku laris di Indonesia. Ada juga Yuval Noah Harari yang mendekati problem-problem filosofis secara tidak langsung, melalui pendekatan sejarah (Sapiens, dan Homo Deus).

Entah mengapa, mungkin corona hanyalah puncaknya saja. Sebelum corona datang, kondisi masyarakat global memang sudah membutuhkan buku-buku bertema filsafat. Saya menyitir kata-kata Byung Chul-Han dalam bab awal bukunya The Burnout Society (2015) tentang situasi masyarakat saat ini:

“Setiap zaman memiliki penderitaan masing-masing. Maka, kita mengenal adanya zaman bakterial; pada akhirnya, itu berakhir dengan penemuan antibiotik. Walau ketakutan akan epidemi influenza merebak, kita tidak lagi hidup di zaman virus. Berkat teknologi imunologis, kita telah menaklukkannya. Dari sudut pandang patologis, permulaan abad 21 ditandai bukan lagi oleh bakteri atau virus, tapi oleh neuron. Penyakit-penyakit Saraf seperti depresi, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), borderline personality disorder (BPD), dan sindrom kelelahan (burnout syndrome) menandai lansekap patologi di awal abad 21. Penyakit-penyakit itu bukanlah infeksi, melainkan infraksi; asalnya bukan dari negativitas dari sesuatu yang asing secara imunologis, tapi dari pasokan positivitas yang terlalu banyak.” 

Dengan kata lain, tren filsafat sedang bergerak. Filsafat kini semakin akrab. Kita boleh optimis, barangkali generasi milenial sedang mendewasakan dirinya. 

Bertamu ke Benak Anak Autis, Bersama Naoki Higashida

Autisme masih cukup asing di telinga orang Indonesia. Peluang seseorang untuk mengerti secara persis apa itu autisme, terjadi hanya melalui 2 hal: dengan memiliki anak atau saudara yang mengidap autisme, atau dengan mempersiapkan diri menjadi tenaga profesional di bidang perkembangan anak. Tidak mengherankan, kehadiran anak autis di masyarakat Indonesia seolah tak kasat mata.

Memahami fenomena autisme memang tidak bisa dibilang gampang. Autisme sendiri merupakan kumpulan gejala yang jangkauannya (spektrumnya) luas, mulai dari yang bisa berfungsi secara kemasyarakatan (high functioned) hingga yang tidak mampu mandiri, mulai dari yang verbal (dapat berkomunikasi) hingga yang non-verbal, mulai dari yang bertalenta di atas rata-rata (savant syndrome) hingga yang tanpa bakat, mulai dari yang hiperaktif hingga yang pendiam. Semuanya berpangkal pada perbedaan kondisi saraf yang terjadi sejak lahir.

Di atas semua ciri-ciri tersebut, yang paling jelas adalah bahwasanya penyandang autisme terlahir sebagai insan istimewa. Individu-individu ini tidak gampang untuk menyesuaikan dengan lingkungan normal. Sialnya, kondisi ini tidak cukup mudah dimengerti. Penyandang autisme sering disamakan dengan pemalas, moody, bodoh, freak, kesurupan, lemah mental, dan semacamnya. 

Kesalahkaprahan tersebut tidak melulu salah masyarakat. Sangat bisa jadi, hal ini diakibatkan oleh kurangnya buku, media, atau kampanye terkait autisme. Maka itu, dibutuhkan sebuah buku yang mampu mengupas autisme dengan baik. The Reason I Jump (20015), karangan Naoki Higashida, menjadi salah satu buku yang sangat baik, karena mengupas seluk beluk penyandang autisme, langsung dari sisi seorang anak autis.

Naoki Higashida, kala berusia 25 tahun.

NAOKI HIGASHIDA adalah seorang pemuda asal Jepang yang diketahui menyandang autisme sejak usia 5 tahun. Pada usia itu, Naoki berjuang sangat keras untuk berkomunikasi secara verbal—bahkan hingga kini masih kesulitan. Beruntunglah guru-gurunya berambisi besar untuk membantu, dan Naoki pun berusaha dengan tanpa lelah. Naoki yang tampaknya suka bercerita itu, dibantu dengan sebuah tabel alfabet hiragana Jepang, serta QWERTY keyboard yang dicetak dalam bentuk kartu dan dilaminating. Naoki berkomunikasi dengan menunjuk huruf-huruf tersebut, didampingi asisten yang telaten. Singkat cerita, pada usia 13 tahun, ia menerbitkan buku The Reason I Jump tersebut.

The Reason I Jump merupakan kumpulan tanya-jawab untuk Naoki, yang sepertinya telah sering ia dapatkan selama itu, mulai dari yang sederhana, pribadi, hingga yang menelisik. Dalam buku setebal 135 halaman (edisi bahasa Inggris, terbitan Penguin Random House), Naoki menjadi narasumber untuk segala “keganjilan-keganjilan” yang dipertanyakan “orang normal”. 

Ada 58 pertanyaan, yang dijawab dengan lugu namun terperinci, rata-rata hanya dalam 5 paragraf. Pertanyaan-pertanyaan itu di antaranya meliputi: Mengapa orang autis suka berteriak sangat lantang dan terdengar aneh? Mengapa kamu suka menirukan pertanyaan orang padamu? Mengapa kamu suka mengucapkan pertanyaan yang sama lagi dan lagi? Mengapa kamu lama sekali menjawab pertanyaan orang? Mengapa kamu tidak mau memandang orang yang mengajakmu bicara? Mengapa kamu suka menyendiri? Mengapa kamu tidak suka berpegangan tangan dengan orang lain? Mengapa kamu suka pilih-pilih dalam hal makanan? Mengapa kamu suka air? Mengapa kamu sering hilang/tersesat? Mengapa kamu tidak bisa diam? Mengapa kamu suka melompat?

Q: Mengapa kamu terus melakukan hal-hal yang dilarang dan telah diingatkan berulang kali?

Kami, penyandang autisme, mendengarkan larangan itu berkali-kali. Aku, aku selalu diingatkan untuk tidak melakukan hal yang sama dari sejak dahulu. Sekilas, aku tampak nakal atau bandel, tapi sejujurnya, tidak seperti itu. Ketika aku diperingatkan, aku merasa sedih dan takut bahwa aku akan melakukannya lagi. Tapi, ketika kesempatan itu datang, kami sungguh lupa kejadian terakhir, dan kami melakukannya lagi. Seolah-olah ada seseorang yang bukan aku yang menyuruh kami melakukannya.

Kamu pasti berpikir: “Hmm, apakah dia tidak pernah belajar?” Kami tahu, kami membuat Anda sedih dan kecewa, tapi jangan pikir kami tidak berusaha, dan sesungguhnya aku takut, kamu sungguh berpikir seperti itu. Tapi tolong, apa pun yang Anda pikir, jangan pernah menyerah dengan kami. Kami butuh bantuanmu.

Q: Mengapa caramu berbicara aneh?

Terkadang, penyandang autis berbicara dengan intonasi yang aneh, atau menggunakan bahasa yang berbeda. Orang yang tidak autis bisa memilah apa yang ingin dikatakan secara langsung, ketika sedang terlibat percakapan. Tapi untuk kami, kata-kata yang ingin aku ucapkan dan kata-kata yang bisa saya ucapkan tidak selalu cocok. Itulah mengapa cara bicara kami terdengar sedikit aneh, kayaknya. Ketika ada perbedaan antara apa yang kupikirkan dan kukatakan, itu karena kata-kata yang keluar dari mulutku adalah satu-satunya kata-kata yang bisa kuakses pada saat itu juga. Kata-kata itu muncul karena barangkali aku selalu mengucapkannya atau karena kata-kata itu pernah sangat berkesan bagiku.

Q: Benarkah kamu tidak suka disentuh?

Untukku sendiri, aku tidak punya masalah dengan kontak fisik, tapi pastinya, beberapa penyandang autisme yang lain tidak suka dipeluk atau disentuh. Aku tidak tahu alasannya—bisa jadi itu membuat mereka tidak nyaman. Bahkan cara kita mencari pakaian yang cocok dengan musim, memakai pakaian lebih banyak di musim dingin, dan lebih sedikit di musim panas, ini bisa menjadi problem besar untuk penyandang autis yang indera perasanya terlalu sensitif. Turut berubah sesuai situasi merupakan tantangan yang berat. 

Pada umumnya, untuk penyandang autisme, disentuh oleh orang lain berarti membiarkan tubuh ini dikontrol oleh orang lain, padahal si pemiliki sendiri tidak cukup mampu mengontrol dirinya. Ini seolah kita kehilangan jati diri kita. Pikirlah baik-baik—sungguh mengerikan!

Q: Apa alasan kamu suka melompat?

Apa yang kurasakan ketika aku melompat-lompat sambil bertepuk tangan? Aku yakin kamu pikir aku tidak merasakan yang lain, kecuali kegilaan yang tercetak di wajahku. Tapi ketika melompat, rasanya perasaanku turut melejit ke langit. Sungguhan, keinginan untuk ditelan oleh langit itu sampai bisa membuat hatiku berbunga-bunga. Ketika aku melompat, aku bisa merasakan seluruh bagian tubuhku dengan baik—kaki-kaki yang menjejak dan tangan-tangan yang menepuk—dan itu membuatku merasa sungguh-sungguh bahagia.

Q: Apakah kamu ingin menjadi “Normal”?

Apa yang bisa kami lakukan, andai ada cara untuk membuat kami menjadi “normal”? Well, aku rasa orang-orang di sekitar kami—orang tua dan guru—akan sangat gembira, dan berkata, “Halleluya! Kita akan mengubah mereka menjadi normal!” Dan selama bertahun-tahun, aku sangat ingin menjadi normal juga. Hidup dalam kondisi berkebutuhan khusus sangat menyiksa dan melelahkan; Aku biasa berandai-andai, seandainya aku ini normal, pastinya itu sangat menyenangkan.

Tapi kini, bahkan ketika ada orang-orang yang mengupayakan penyembuhan autisme, aku lebih ingin menjadi diriku sendiri. Kenapa aku berpikir seperti ini?

Singkatnya, aku telah belajar bahwa setiap manusia, dengan atau tanpa disabilitas, harus berupaya keras untuk melakukan yang terbaik, dan dengan mengupayakan kebahagiaan, kamu akan menghampiri kebahagiaan. Bagi kami, kamu tahu, menyandang autisme merupakan hal yang normal—jadi kami tidak tahu secara pasti apa artinya “normal” dalam sudut pandangmu. Tapi selama kami bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, aku tidak yakin apa pentingnya menjadi normal atau autis.

Review buku ini ditulis bertepatan dengan World Autism Awareness Day, yang jatuh setiap tanggal 2 April, dan ditandai dengan memakai pakaian berwarna biru.

Buku ini sangat berharga. Meski tidak semua penderita autisme sama seperti Naoki, setidaknya kita mendapatkan kesempatan yang sangat mahal, untuk bisa “bertamu dan berbincang secara intim” dengan seorang penyandang autis. Segala kebingungan dan prasangka yang barangkali keliru, mendapatkan klarifikasi langsung, sehingga harapannya, tergantikan oleh empati dan kebesaran hati. Kebesaran hati untuk apa? Untuk menerima keragaman, dan membuang jauh-jauh diskriminasi.

Berminat dengan buku ini, dapatkan di: https://www.amazon.com/Reason-Jump-Inner-Thirteen-Year-Old-Autism-ebook/dp/B00BVJG3CS

Saya menyukai buku ini. Sangat menyukai. Selain tulisan Naoki, tidak boleh dilupakan pula, pengantar dari David Mitchel, yang menurut saya sangat kuat dan bagus dalam berbagi pikiran mengenai autisme. Dalam salah satu paragraf, David Mitchel yang anaknya juga menyandang autisme, berbagi pengalamannya saat pertama kali membaca buku ini—yang sepenuhnya saya amini:

Bagi saya, semua ini merupakan pemahaman yang transformatif, dan menguatkan. Ketika Anda tahu bahwa anak Anda ingin berbicara pada Anda, ketika Anda tahu bahwa ia memperhatikan lingkungan sekitarnya secara teliti dan penuh khidmat, sama seperti anak Anda yang tidak autis, walau dari luaran tampak berlawanan, maka Anda bisa sepuluh kali lebih sabar, menerima, memahami dan komunikatif; dan sepuluh kali lebih baik dalam membantu perkembangannya. Bukanlah berlebihan jika saya menganggap The Reason I Jump membantu saya untuk mempererat relasi saya dengan anak saya. Tulisan Naoki Higashida mengupayakan sebuah tendangan yang saya butuhkan, supaya saya berhenti meratapi nasib saya, dan mulai berpikir bahwa betapa beratnya hidup yang harus diperjuangkan oleh anak saya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk meringankannya.

*Pada 2015, Naoki Higashida menerbitkan sekuel buku ini, berjudul Fall Down 7 Times Get Up 8.

Sebenarnya, Bikin Buku untuk Siapa? Penerbit atau Pembaca?

Niat untuk berkarier menjadi seorang penulis, tentu saja mensyaratkan Anda untuk mencipta buku yang menyita perhatian. Penulis-penulis besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, Ayu Utami, atau Anwar Fuady dikenal berkat karya-karya yang sukses merebut hati pembaca tanah air. Pertanyaannya, bagaimana mengukur seberapa “hebatnya” calon karya Anda?

Adalah wajar bahwa Anda menggantungkan impian untuk bisa sejajar dengan penulis-penulis besar. Adalah wajar memelihara keyakinan bahwa karya Anda membawa nilai-nilai atau pesan yang senapas dengan karya-karya mereka. Itu adalah idealisme. Sayangnya, menurut pengalaman banyak orang, idealisme harus tahan banting ketika berhadapan dengan penerbit.

Pada praktiknya bukan sekadar tahan banting, calon naskah Anda benar-benar “dilempar” oleh penerbit—ditolak dengan alasan klise: tidak menjual.

Kadang calon naskah yang Anda anggap telah menampung idealisme itu, dipreteli dan dimintakan revisi oleh editor dengan alasan jamak: supaya lebih bisa diterima pasar. Emosi penulis pemula yang idealismenya membara seperti magma, tentu mudah tersulut oleh sikap penerbit semacam ini. Nah, dari sinilah diskusi berlanjut: apakah ukuran untuk karya yang baik sepenuhnya ada di tangan penerbit?

Faktanya, Penerbit itu “Jualan”

Fakta yang harus diterima adalah penerbit itu “jualan”. Penerbit adalah entitas dalam sebuah ekonomi pasar, yang kegiatan utamanya adalah menyediakan barang-barang yang diinginkan oleh konsumennya. Konsekuensinya, penerbit harus mencari untung sebesar-besarnya, supaya kegiatan ekonominya terus berjalan. 

Atau, sederhananya, nomor satu adalah mencari cuan, nomor dua mencari naskah yang baik.

Dengan pola pikir di atas, penerbit di mana pun, pertama-tama akan mengendus selera pasar dengan animo paling besar—hanya dengan itu, dapur penerbit akan terus mengepul. Idealisme penerbit tentang nilai-nilai suatu konten, berjalan dalam koridor bisnis. Logikanya, semulia-mulianya atau sebagus-bagusnya sebuah calon naskah, jika dalam “itung-itungan” bisnis tidak cukup menjual, jelas tidak akan diterima. Wajar bukan, sebab penerbit mana yang bersedia gulung tikar? 

Jadi, penulis semestinya tidak bersikap naif. Anda bersikap naif, jika Anda menganggap penerbit mencari “naskah yang baik”. Teramat naif lagi bila ukuran baik adalah: nilai-nilai moral, nilai-nilai revolusioner, avant garde, eksperimen sastrawi, dan lain sebagainya yang sering dirangkum dalam satu kata berhuruf kapital: IDEALISME.

Nyatanya, apa yang baik di mata penerbit—tak lain tak bukan adalah: apakah naskah Anda laku atau tidak?

Membuka Mata, Membuka Telinga

Kasus yang sering terjadi: penulis dan penerbit berbeda pendapat. Empunya naskah mengatakan bahwa naskahnya baik, sementara penerbit meyakini bahwa naskah tersebut tidak akan laku. Siapa yang benar?

Tidak ada yang bisa menjamin. Tidak ada yang benar, sebelum terbukti di pasaran. Ada banyak kisah tentang naskah-naskah yang semula mengalami banyak penolakan (Seri Harry Potter, misalnya), akhirnya justru meledak. Tapi, tidak sedikit pula yang ternyata jeblok di pasaran. Terlalu banyak untuk menyebutkan satu per satu judulnya. 

Berkaca pada kenyataan di atas, sebagai calon penulis, Anda perlu membuka mata untuk menyadari bahwa: ketika sebuah buku tidak mencetak angka penjualan yang baik, kerugian terbesar ada pada penerbit. Penerbit telah melakukan investasi di muka, dalam wujud biaya-biaya produksi, distribusi, display, dan sistem.

Kira-kira, untuk 1 buku, diperlukan biaya 100 – 200 juta rupiah. Kerugian akan semakin mencekik, jika itu dialami oleh penerbit kecil yang nota bene produk bukunya masih sedikit, sehingga tidak bisa memungkinkan untuk menambal sulam lubang kerugian.

Jadi, risiko untuk sebuah idealisme penulis sangatlah mahal.

Maka itu, diperlukan proses komunikasi dan kemauan untuk saling mendengarkan. Anda, sebagai penulis pemula, juga harus melihat dari sisi profit. Jangan alergi untuk bicara tentang pasar, jangan alergi untuk bersikap sebagai penjual. Prinsip “mencari profit” yang dipakai oleh penerbit adalah sesuatu yang riil.

Penerbit juga bukan berarti tanpa cela. Jika selalu “main aman”, menambatkan kualifikasi sebuah calon naskah hanya berdasarkan tren penjualan, tidak akan membawa kemajuan. Selamanya hanya akan mengekor saja, dan hanya akan membanjiri toko buku dengan permainan-permainan gimmick belaka (padahal jelas-jelas isi bukunya itu lagi-itu lagi). Sesekali, buatlah analisis yang tajam terhadap ide-ide baru, dan lakukan terobosan dalam marketing

Jadi, Sesungguhnya Penulis Bikin Buku untuk Penerbit?

Memang penulis baru pada umumnya tergoda untuk berpikir sinis, memandang penerbit sebagai semacam mata rantai kapitalisme yang memblokir kemunculan buku-buku bagus (yang adalah karyanya yang ditolak itu). Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru. Hanya saja, terkesan manja. 

Benar bahwa penerbit itu mata rantai kapitalisme, sebab itu adalah takdir bagi siapa pun yang berdagang. Yang keliru dari pandangan itu adalah bahwasanya penerbit bukan hal yang pokok dalam dunia perbukuan. Jangan berpikir bahwa tidak ada penerbit, berarti tidak ada buku. Keliru. Ada buku yang dipasarkan tanpa melibatkan penerbit-penerbit konvensional, dan beberapa di antaranya meraup sukses.

Maka, di  situlah letak alasan mengapa pernyataan itu terkesan manja. Jika memang Anda percaya betul bahwa karya Anda akan laris atau revolusioner, Anda bisa bergerak tanpa penerbit. Terbitkanlah dengan cara indie, galanglah jaringan, bikinlah komunitas, adakan lokakarya, sebarkan melalui aneka platform alternatif, dan manfaatkan media sosial seluas-luasnya. Jadilah penulis sekaligus pedagang.

Niscaya, akan ada hikmah dari usaha tersebut. Jika Anda sukses, penerbit akan belajar dari itu. Jika Anda mengakui gagal, mau tak mau Andalah yang harus membuka diri dan menyempurnakan karya Anda.

Yang jelas—kembali ke pertanyaan awal, ukuran kehebatan sebuah buku tetap saja: jika menorehkan angka penjualan yang tinggi.

Meringkus “Post-Truth” Bersama Lee McIntyre

Istilah post-truth tiba-tiba naik daun setelah Oxford Dictionaries memilihnya sebagai word of the year pada 2016. Pemilihan tersebut terkait dengan fenomena post-truth yang telah memorakporandakan kesehatan alam pikir masyarakat Eropa dan Amerika Serikat. Kini—2 tahun kemudian, giliran kita yang harus bersiap menghadapi terjangan “badai” ini.

Sebuah buku relatif baru (Februari, 2018), berjudul Post-Truth karangan Lee McIntyre dapat menjadi panduan yang sangat komprehensif tentang tema ini. Mumpung pada hari-hari ini—menjelang pilpres Indonesia, istilah post-truth menjadi refren para politisi. 

Mengapa disebut post-truth? Penulis yang merupakan seorang filsuf sekaligus peneliti dengan karya-karya yang cukup banyak memberi alasan yang baik, bahwa bukan berarti kita telah melangkah, melampaui kebenaran, namun bahwa kebenaran sekarang sedang terhalang atau bahkan digodam—menjadi tidak relevan. Kebenaran sedang ditantang secara masif, dan aksi ini merupakan sebuah strategi untuk memenangkan dominasi politik.

Menurut Oxford Dictionaries, definisi post-truth adalah: berkaitan dengan kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, ketimbang hal-hal yang mendukung emosi atau keyakinan pribadi. Ini terjadi ketika seseorang menampik data-data resmi, dan menerima hanya yang mendukung keyakinan atau opininya. Akhirnya, mereka hanya menerima “yang rasa-rasanya benar”, bukan “yang secara faktual benar”. 

Dalam kontestasi politik menjelang pilpres, sering kita mendengar politikus berbicara, “Rezim ini telah memasukkan tenaga kerja asing hingga jutaan.” Padahal, perkara angka TKA ini, ada catatannya, dan secara faktual bertentangan dengan klaim tersebut. Namun demikian, fakta itu tidak mau diterima. Alih-alih berpedoman pada data, politikus tersebut memaparkan aneka pengakuan dari orang-orang yang mengatakan bahwa mereka semakin sering melihat tenaga asing berlalu lalang. Mereka merasa terancam, mereka merasa jumlah meningkat. Demikianlah, “yang rasa-rasanya benar” menjadi pembenaran, berkedok merakyat/populis, untuk mengatakan bahwa data faktual itu tidak valid, atau bahkan dibengkokkan secara sengaja oleh rezim.

Dulu juga pernah terjadi perdebatan di ranah twitter, tentang jumlah peserta REUNI 212 pada 2 Desember 2018. Jumlah peserta ini bergeser menjadi komoditas politik, sebab banyak tokoh yang merasa perlu untuk turun tangan. Akal sehat mencoba menjelaskan dari berbagai pendekatan yang saintifik, bahwa dengan membandingkan dan menerapkan rasio jumlah manusia per meter, perkiraan jumlah peserta reuni tersebut sekitar 700 ribu – 1 juta orang. Tentu saja pendapat ini menuai penyangkalan.

Salah satunya dibalas dengan melampirkan foto udara yang menunjukkan padatnya area monas. Lalu, ia mengatakan, “Coba lihat betapa padatnya. Rasakan sendiri, apakah jumlah sebanyak itu hanya 1 juta!” Lagi-lagi kebenaran dibawa pada ranah perasaan.

Menurut Lee, ini telah menjadi tren:

… banyak orang melihat post-truth sebagai bagian dari tren internasional yang sedang berkembang, dimana sebagian orang merasa berani mencoba membengkokkan kenyataan sehingga sesuai dengan opini mereka, ketimbang sebaliknya. Ini bukan sekadar gerakan yang mengampanyekan irelevansi fakta, tapi justru sebuah tuduhan bahwa fakta selalu bisa ditutupi, dipilih, dan disajikan dalam konteks politik yang mendukung sebuah interpretasi atas kebenaran di antara interpretasi-interpretasi lainnya. 

Dengan kata lain, terdapat tuduhan bahwa kebenaran bukan saja tak relevan, tapi juga tidak ada. Yang ada adalah kebenaran menurut versi yang mana. Kebenaran versi oposisi? Kebenaran versi penguasa? Kebenaran versi lawan politik? 

Post-Truth, oleh Lee McIntryre, 236 halaman, MIT Press (February 16, 2018)

Ini merupakan sebuah situasi yang patut disayangkan, mempertimbangkan mahalnya kerugian yang harus kita bayar. Lee mendaftar beberapa kasus yang kiranya akan membuat kita tercengang.

Ketika Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki mengklaim bahwa obat-obatan antiretroviral merupakan bagian dari plot Barat, dan bahwa bawang putih dan jus lemon bisa dipakai untuk menyembuhkan AIDS, lebih dari 300.000 orang tewas. Ketika Presiden Trump berkeras bahwa perubahan iklim adalah sebuah hoax yang dibuat-buat oleh pemerintahan Cina untuk menghancurkan ekonomi Amerika, konsekuensi jangka panjang akan sama mengerikannya, bahkan lebih dari itu.

Maka itu, permasalahan sesungguhnya, menurut saya, bukan saja isi suatu keyakinan tertentu (yang keterlaluan), tapi ide bahwa—tergantung dari isi kebenaran yang diinginkan seseorang—beberapa fakta lebih penting ketimbang fakta lainnya. Jangan berpikir bahwa penolak perubahan iklim tidak percaya pada fakta-fakta, kenyataannya yang mereka inginkan hanyalah menerima fakta-fakta yang membenarkan ideologi mereka saja.

Seperti halnya semua penggagas teori konspirasi, mereka mengamalkan standar ganda, di mana mereka secara bersamaan memercayai (tanpa bukti) bahwa ilmuwan-ilmuwan iklim dunia merupakan bagian dari konspirasi global untuk meramaikan bukti tentang perubahan iklim, tapi kemudian, mereka memilih-milih data statistik yang menunjukkan bahwa temperatur global tidak naik di 2 dekade terakhir.

Segenap penyangkal dan ideolog secara rutin memeluk standar ganda berupa keraguan terhadap fakta-fakta yang tak mau mereka percayai, seiring dengan keyakinan mereka terhadap fakta-fakta yang mendukung agenda mereka sendiri. Kriteria utamanya adalah apa yang mendukung kepercayaan dasar mereka. Ini bukanlah penolakan atas fakta, tapi sebuah korupsi atas proses pengumpulan fakta dan penggunaannya untuk membentuk keyakinan orang akan realitas.

Ini adalah sebuah permainan, yang biasanya murni politis, atau terkait dengan lobi. Mempermainkan fakta, membuat sesuatu seolah benar hanya karena mereka ingin dipercaya, adalah sesuatu hal yang sering terjadi. Permasalahannya, dalam konteks politik, permainan membahayakan struktur tatanan masyarakat. Bisakah kita membayangkan sebuah masyarakat yang kacau pola berpikirnya? Bisakah kita membayangkan masyarakat yang lebih percaya dengan hoax, masyarakat yang menolak ilmu pengetahuan (science denial), hanya karena suatu pandangan terkesan membela kepentingan mereka?

Ini merupakan sebuah tantangan terhadap hirarki prinsip kemanusiaan. Maraknya post-truth, menantang keberanian masyarakat (dan politisi) untuk menaruh kejernihan pikir di atas strategi politik. 

Dalam buku ini, Lee menjabarkan secara bagus. Ia juga memprihatinkan klaim-klaim dari Trump yang dengan entengnya menuduh koran atau majalah yang berseberangan dengannya sebagai jurnalisme berita bohong. Dia sukses merobohkan kepercayaan masyarakat terhadap berita. Bersamaan dengan itu, ia memanfaatkan media sosial untuk secara langsung memberikan berita segar dari moncong mulutnya, tanpa difilter.

Pada bagian akhir, Lee memberikan konklusi yang bersifat profetik. Ia mengingatkan bahwa permainan memiliki risiko yang tidak kecil:

Entah kita menyebutnya post-truth atau pre-truth, mengabaikan realitas itu berbahaya. Dan itulah yang sedang kita bicarakan di sini. Bahaya post-truth bukan hanya bahwa kita mempersilakan opini-opini dan perasaan kita memegang peranan dalam membentuk apa yang kita pikir sebagai fakta dan kebenaran, tapi bahwa dengan melakukan hal tersebut, kita mengambil risiko untuk terasing dari kenyataan itu sendiri. 

Kapan Kita Bisa Berkata Cukup pada Toleransi?

Sejak SD, kita diajarkan untuk berbangga terhadap toleransi. Namun sejatinya, toleransi merupakan sebuah nilai yang perlu dikaji ulang.

Mengapa saya skeptis dengan toleransi di negara ini? Alasannya, toleransi di Indonesia nyaris tidak ada batasnya, dan disalahmengerti. Barangkali karena di benak kita, toleransi identik dengan kerukunan dan kehidupan berdampingan antar-pemeluk agama, terkesan tabu untuk memberikan batasan. 

Orang lebih memilih untuk menjalani saja, tidak perlu menawar, daripada mendapat stigma “intoleran” yang merupakan label yang mengerikan. Sepadan dengan egois, tertutup, arogan, bahkan teroris. 

Itulah mengapa toleransi perlu diurai dan dimengerti secara benar, sebab kecurigaan saya: toleransi hanyalah apa yang tampak di luar. 

Memaklumi Penyimpangan

Pernah mendengar nama Douwes Dekker? Ia adalah seorang Belanda, kelahiran 1820 yang “merantau” ke Indonesia. Dalam tugasnya sebagai pegawai perusahaan Belanda, ia melihat dan mengamati secara dekat, kehidupan rakyat lokal yang menderita di bawah kendali Hindia-Belanda. Ia menulis sebuah novel berjudul Max Havelaar untuk merekam ketidakadilan pemerintah kolonial dan beban penderitaan rakyat. Novel satir itu segera menjadi buah bibir, dan hingga kini, Max Havelaar terus dikenang. Ia membubuhkan nama pena Multatuli.  

Douwes Dekker alias Multatuli

Multatuli memiliki arti: saya yang telah menanggung begitu banyak (berasal dari bahasa Latin: multa, banyak dan tuli, menanggung). Toleransi memiliki akar kata yang sama dengan tuli, sama-sama berasal dari kata tolerāre yang berarti menanggung derita. Maka itu, arti sesungguhnya dari toleransi adalah kesedian untuk menderita. 

Jelas, bahwa toleransi bukanlah kata yang menarik. Siapa yang rela menderita sepanjang hidupnya? Mau tak mau, penderitaan harus selalu ada batasnya bukan? Multatuli alias Douwes Dekker adalah orang yang telah banyak bertoleransi, dan ia ingin menyudahinya. Sebab itu ia menulis Max Havelaar justru dengan harapan mengakhiri kesewenang-wenangan pemerintah kolonial. 

Jadi idealnya, toleransi memiliki batas. Toleransi bukan sebuah nilai yang patut dilombakan, seperti kejujuran atau kebersihan. Dalam konteks teknik misalnya, toleransi adalah batas penyimpangan yang boleh dimaklumi. Misalnya, sebuah mesin hanya boleh menyimpang paling jauh, 0.3 milimeter. Lebih dari angka itu, mesin itu dinyatakan gagal, sebab akan membahayakan. Itulah batas toleransi.

Dalam hidup sosial, toleransi hendaknya juga ada batasnya, untuk mencegah bahaya. Bolehlah masyarakat diajak untuk menoleransi penyimpangan, namun ada dosis dan batasnya. Jangan jadikan toleransi sebagai dalih atas kemalasan, kesembronoan, atau agenda-agenda tertentu. Jangan membangga-banggakan toleransi, padahal di lapisan paling bawah, ada api dalam sekam.

Api di Balik Sekam Toleransi

Setiap tindakan toleransi merupakan tindakan memaklumi penyimpangan. Penyimpangan terhadap apa? Tentu saja penyimpangan terhadap hukum. 

Hukum mengatakan bahwa penutupan jalan raya untuk kepentingan pribadi, seperti pernikahan, tidak boleh dilakukan, kecuali mendapat izin dari kepolisian dan yang bersangkutan memberikan jalan alternatif dengan rambu yang jelas. Jika tahu-tahu ada penutupan jalan tanpa kelengkapan prosedur hukum seperti yang disyaratkan, itulah yang disebut penyimpangan. 

Namun, karena yang empunya hajat adalah tetangga Anda, Anda bisa memakluminya. Anda menoleransinya—Anda rela menanggung derita dengan mengambil jalan berputar. 

Hukum mengatakan bahwa orang tidak boleh membuat kebisingan yang mengganggu tetangganya. Ketika tetangga sebelah rumah Anda menyetel pertunjukkan wayang kulit dalam rangka acara khitanan, hingga larut malam, sebenarnya Anda terganggu. 

Namun, karena yang empunya hajat adalah tetangga Anda, Anda bisa memakluminya. Anda berpikir, tidak apa-apa, toh hanya sesekali—Anda rela menanggung derita dengan mencoba tidur meskipun bising. 

Dengan kata lain, toleransi adalah memaklumi terjadinya ketidakadilan. Namun, praktik semacam ini tidak untuk dilakukan berulang-ulang. Jika terjadi terus-menerus, dan dibiarkan, buat apa ada hukum? Apakah hukum hanya basa-basi? Lagipula, jika dibiarkan terjadi terus menerus—menjadi sebuah kebiasaan, akan membahayakan kehidupan bermasyarakat. Mereka yang mencoba membela hukum, justru akan mendapatkan penekanan dari pihak-pihak yang merasa benar karena bersandar pada faktor-faktor di luar hukum, misalnya: mayoritas, senioritas, moralitas, atau bahkan agama dan ras.

Sampai batas itukah, kita harus bertoleransi? Jika Negara membolehkan terjadinya penyimpangan, dan memohon masyarakat untuk memaklumi (menoleransi), bukankah itu sama saja Negara diam saja. Jika praktiknya seperti itu, sama saja Negara mendorong tabiat yang anti-hukum.

Pada akhirnya akan ada pihak-pihak yang terpojok, dan harus terus menerima atas nama toleransi, dengan serangkaian nilai perbedaan yang dipaksakan. Jika terus terjadi, api itu akan mudah “dimainkan” untuk kepentingan-kepentingan kelompok/golongan.

Toleransi semestinya bersifat sementara. Jika terjadi terus menerus tanpa batas yang jelas, itu adalah pembiaran, alias ketidakadilan. 

Hormat-Menghormati Tidak Termasuk Toleransi

Kita memang lebih sering mendengar istilah toleransi antar-umat beragama. Apakah sesungguhnya istilah itu ada?

Sering orang memasukkan tindakan saling memberi selamat kepada pemeluk agama lain yang sedang merayakan hari besar agama mereka, sebagai contoh tindakan toleransi antar-umat beragama. Padahal ini bukan toleransi. Memberi selamat merupakan sebuah panggilan hati, timbul dari perasaan kekeluargaan dan persaudaraan. Jika itu disebut toleransi, tindakan itu menjadi sebuah paksaan. Sebab, kelak orang melakukan hal itu, hanya karena takut dianggap tidak toleran. 

Padahal, tidak memberi selamat bukanlah sebuah pelanggaran hukum. Tidak ada konsekuensi hukum apa pun, jika seseorang tidak melakukannya. Barangkali hanya sanksi sosial, yang cukup lumrah terjadi. Di luar itu, agama adalah urusan pribadi di negara ini, sehingga perkara mengucapkan selamat atau tidak, tidak perlu dibesar-besarkan. 

Dari contoh sederhana itu, sesungguhnya terjadi kesesatan pikir. Menyamakan toleransi dengan sikap saling hormat menghormati antar-pemeluk agama adalah salah kaprah. Jangan masukkan ranah norma hukum ke dalam ranah norma sosial.

Saling hormat-menghormati antar-pemeluk agama adalah norma sosial. Terjadi bukan karena paksaan, tapi karena dinamika sosial. Makin hormat, tentu saja makin baik, sebab itu artinya, masyarakat telah dewasa. Kedewasaan sosial itu terjadi secara alami, seperti halnya nilai-nilai sosial lain, seperti gotong royong, saling bertegursapa, dan lain sebagainya. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa tanpa embel-embel agama, yang namanya “saling hormat” adalah sebuah keharusan.

Toleransi ada pada ranah hukum. Jika ada orang terbukti menghina ulama, misalnya, orang ini bukanlah intoleran, melainkan jelas sudah melanggar hukum. Jika ada orang-orang melakukan perusakan tempat hiburan atas nama agama, ia bukanlah intoleran. Ia sudah menjadi pelaku kriminal. Sudah sepantasnya, orang tersebut dibawa ke pengadilan, dan jangan ditoleransi.  Jangan meminta yang lain untuk bertoleransi, atas hal-hal yang jelas-jelas merupakan pelanggaran.

Toleransi yang Paling Besar

Janganlah dikesankan, seolah-olah istilah toleransi hanya melekat pada kehidupan beragama. Itu hanyalah 1 persennya. Alasan utama masyarakat mau bertoleransi adalah karena memaklumi belum tersedianya fasilitas dan infrastruktur penunjang penegakan hukum. 

Pada era 2000an, terjadi beberapa kasus orang tewas tersengat listrik karena duduk di atas atap KRL Jakarta. Masyarakat pada saat itu tidak tahu lagi harus bersikap apa. Satu-satunya cara adalah memaklumi, dan menoleransi PJKA, karena kita berpikir instansi negara ini belum memiliki cukup anggaran. Meski menyedihkan, tapi pada waktu itu, kita berusaha menoleransi. Kini KRL sudah berbenah. Kita bersyukur kita tidak lagi harus menoleransi keadaan semacam itu lagi, sebab untungnya Negara sudah menyempurnakan.

Ada banyak contoh lain, tentang penegakan hukum yang tidak terjadi. Akibatnya, keanehan dan kejanggalan berlangsung terus menerus. Bahkan, lama-lama justru dianggap wajar. Anak usia sekolah yang menggelandang di jalanan. Anak-anak di bawah umur yang merokok. Pekerja seks yang dipermalukan di depan kamera. Konvoi kampanye parpol yang diisi preman-preman memenuhi jalanan sambil menggeber knalpot.  Napi koruptor yang mendesain penjaranya menjadi kamar mewah. Pungutan liar yang harus diladeni demi menjaga keamanan ruko. Polisi yang ogah mengusut kalau tak diberi uang jaminan. Dan lain-lain.

Hal-hal tersebut adalah alasan tepat untuk menyebut masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat toleran. Kita memiliki kearifan, untuk memandang bahwa semuanya masih dalam proses, dan kita menyabarkan diri kita di dalamnya. Namun, itu hanya membuktikan ketidakberesan.

Toleransi masyarakat pada Negara, sebagai pemegang amanah (kontrak sosial) rakyat, adalah yang paling besar. Namun tidak afdol, jika Negara masih saja menuntut masyarakat untuk bertoleransi, sebab sama saja dengan melempar tanggungjawab. Dan, jangan pula membangga-banggakan toleransi masyarakat Indonesia, sebab itu seperti mendengarkan sindiran yang paling gelap, sekaligus paling akbar.

Akhir kata, pertanyaan pada judul ini tidak untuk diperdebatkan, tapi dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Semoga sedikit demi sedikit, masyarakat tidak lagi dituntut untuk bertoleransi atas apa pun.