Sebenarnya, Bikin Buku untuk Siapa? Penerbit atau Pembaca?

Niat untuk berkarier menjadi seorang penulis, tentu saja mensyaratkan Anda untuk mencipta buku yang menyita perhatian. Penulis-penulis besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, Ayu Utami, atau Anwar Fuady dikenal berkat karya-karya yang sukses merebut hati pembaca tanah air. Pertanyaannya, bagaimana mengukur seberapa “hebatnya” calon karya Anda?

Adalah wajar bahwa Anda menggantungkan impian untuk bisa sejajar dengan penulis-penulis besar. Adalah wajar memelihara keyakinan bahwa karya Anda membawa nilai-nilai atau pesan yang senapas dengan karya-karya mereka. Itu adalah idealisme. Sayangnya, menurut pengalaman banyak orang, idealisme harus tahan banting ketika berhadapan dengan penerbit.

Pada praktiknya bukan sekadar tahan banting, calon naskah Anda benar-benar “dilempar” oleh penerbit—ditolak dengan alasan klise: tidak menjual.

Kadang calon naskah yang Anda anggap telah menampung idealisme itu, dipreteli dan dimintakan revisi oleh editor dengan alasan jamak: supaya lebih bisa diterima pasar. Emosi penulis pemula yang idealismenya membara seperti magma, tentu mudah tersulut oleh sikap penerbit semacam ini. Nah, dari sinilah diskusi berlanjut: apakah ukuran untuk karya yang baik sepenuhnya ada di tangan penerbit?

Faktanya, Penerbit itu “Jualan”

Fakta yang harus diterima adalah penerbit itu “jualan”. Penerbit adalah entitas dalam sebuah ekonomi pasar, yang kegiatan utamanya adalah menyediakan barang-barang yang diinginkan oleh konsumennya. Konsekuensinya, penerbit harus mencari untung sebesar-besarnya, supaya kegiatan ekonominya terus berjalan. 

Atau, sederhananya, nomor satu adalah mencari cuan, nomor dua mencari naskah yang baik.

Dengan pola pikir di atas, penerbit di mana pun, pertama-tama akan mengendus selera pasar dengan animo paling besar—hanya dengan itu, dapur penerbit akan terus mengepul. Idealisme penerbit tentang nilai-nilai suatu konten, berjalan dalam koridor bisnis. Logikanya, semulia-mulianya atau sebagus-bagusnya sebuah calon naskah, jika dalam “itung-itungan” bisnis tidak cukup menjual, jelas tidak akan diterima. Wajar bukan, sebab penerbit mana yang bersedia gulung tikar? 

Jadi, penulis semestinya tidak bersikap naif. Anda bersikap naif, jika Anda menganggap penerbit mencari “naskah yang baik”. Teramat naif lagi bila ukuran baik adalah: nilai-nilai moral, nilai-nilai revolusioner, avant garde, eksperimen sastrawi, dan lain sebagainya yang sering dirangkum dalam satu kata berhuruf kapital: IDEALISME.

Nyatanya, apa yang baik di mata penerbit—tak lain tak bukan adalah: apakah naskah Anda laku atau tidak?

Membuka Mata, Membuka Telinga

Kasus yang sering terjadi: penulis dan penerbit berbeda pendapat. Empunya naskah mengatakan bahwa naskahnya baik, sementara penerbit meyakini bahwa naskah tersebut tidak akan laku. Siapa yang benar?

Tidak ada yang bisa menjamin. Tidak ada yang benar, sebelum terbukti di pasaran. Ada banyak kisah tentang naskah-naskah yang semula mengalami banyak penolakan (Seri Harry Potter, misalnya), akhirnya justru meledak. Tapi, tidak sedikit pula yang ternyata jeblok di pasaran. Terlalu banyak untuk menyebutkan satu per satu judulnya. 

Berkaca pada kenyataan di atas, sebagai calon penulis, Anda perlu membuka mata untuk menyadari bahwa: ketika sebuah buku tidak mencetak angka penjualan yang baik, kerugian terbesar ada pada penerbit. Penerbit telah melakukan investasi di muka, dalam wujud biaya-biaya produksi, distribusi, display, dan sistem.

Kira-kira, untuk 1 buku, diperlukan biaya 100 – 200 juta rupiah. Kerugian akan semakin mencekik, jika itu dialami oleh penerbit kecil yang nota bene produk bukunya masih sedikit, sehingga tidak bisa memungkinkan untuk menambal sulam lubang kerugian.

Jadi, risiko untuk sebuah idealisme penulis sangatlah mahal.

Maka itu, diperlukan proses komunikasi dan kemauan untuk saling mendengarkan. Anda, sebagai penulis pemula, juga harus melihat dari sisi profit. Jangan alergi untuk bicara tentang pasar, jangan alergi untuk bersikap sebagai penjual. Prinsip “mencari profit” yang dipakai oleh penerbit adalah sesuatu yang riil.

Penerbit juga bukan berarti tanpa cela. Jika selalu “main aman”, menambatkan kualifikasi sebuah calon naskah hanya berdasarkan tren penjualan, tidak akan membawa kemajuan. Selamanya hanya akan mengekor saja, dan hanya akan membanjiri toko buku dengan permainan-permainan gimmick belaka (padahal jelas-jelas isi bukunya itu lagi-itu lagi). Sesekali, buatlah analisis yang tajam terhadap ide-ide baru, dan lakukan terobosan dalam marketing

Jadi, Sesungguhnya Penulis Bikin Buku untuk Penerbit?

Memang penulis baru pada umumnya tergoda untuk berpikir sinis, memandang penerbit sebagai semacam mata rantai kapitalisme yang memblokir kemunculan buku-buku bagus (yang adalah karyanya yang ditolak itu). Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru. Hanya saja, terkesan manja. 

Benar bahwa penerbit itu mata rantai kapitalisme, sebab itu adalah takdir bagi siapa pun yang berdagang. Yang keliru dari pandangan itu adalah bahwasanya penerbit bukan hal yang pokok dalam dunia perbukuan. Jangan berpikir bahwa tidak ada penerbit, berarti tidak ada buku. Keliru. Ada buku yang dipasarkan tanpa melibatkan penerbit-penerbit konvensional, dan beberapa di antaranya meraup sukses.

Maka, di  situlah letak alasan mengapa pernyataan itu terkesan manja. Jika memang Anda percaya betul bahwa karya Anda akan laris atau revolusioner, Anda bisa bergerak tanpa penerbit. Terbitkanlah dengan cara indie, galanglah jaringan, bikinlah komunitas, adakan lokakarya, sebarkan melalui aneka platform alternatif, dan manfaatkan media sosial seluas-luasnya. Jadilah penulis sekaligus pedagang.

Niscaya, akan ada hikmah dari usaha tersebut. Jika Anda sukses, penerbit akan belajar dari itu. Jika Anda mengakui gagal, mau tak mau Andalah yang harus membuka diri dan menyempurnakan karya Anda.

Yang jelas—kembali ke pertanyaan awal, ukuran kehebatan sebuah buku tetap saja: jika menorehkan angka penjualan yang tinggi.