Peruntungan “Buku Motivasi” Setelah Pandemi

Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara bertahap status pembatasan sosial di berbagai wilayah. Hal ini dianggap sebagai sinyal telah mulai meredanya pandemi Covid-19. Beberapa pihak mulai mengambil ancang-ancang strategi bisnis, tidak terkecuali industri buku. Meski demikian, insting mengatakan bahwa perilaku pasar pasca-Pandemi tentu telah mengalami perubahan. Salah satu yang jelas berubah adalah pada genre buku motivasional.

Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara bertahap status pembatasan sosial di berbagai wilayah. Hal ini dianggap sebagai sinyal telah mulai meredanya pandemi Covid-19. Beberapa pihak mulai mengambil ancang-ancang strategi bisnis, tidak terkecuali industri buku. Meski demikian, insting mengatakan bahwa perilaku pasar pasca-Pandemi tentu telah mengalami perubahan. Salah satu yang jelas berubah adalah pada genre buku motivasional.

Secara garis besar, buku motivasional adalah seluruh buku yang menyemangati pembaca untuk mengembangkan diri, biasanya dengan ukuran kesuksesan material, psikologis, spiritual, maupun gabungan dari ketiganya. Dunia buku motivasi Indonesia mengenal penulis-penulis terkenal—lalu mendapat julukan motivator—seperti Andrie Wongso, Mario Teguh, Merry Riana, Bong Chandra, Tung Desem Waringin, Ary Ginanjar, dan masih banyak lagi. Mereka telah lama menikmati kue besar di arena industri buku motivasional, yang tampaknya tidak pernah surut seiring maraknya budaya produktivitas di negara yang sedang sibuk membangun ini. Tidak mengherankan penulis-penulis baru terus bermunculan.

Dari data internal jaringan toko buku Gramedia (per September 2021), departemen self improvement—induk dari genre motivasi, berkontribusi membukukan penjualan sebesar 10%, tidak terpaut jauh dari kontribusi tertinggi yang dipegang oleh departemen buku anak, yaitu sebesar 15%, dan tertinggi kedua yang dipegang oleh departemen novel, yaitu sebesar 14%. Data ini dapat dibaca sebagai seberkas optimisme oleh penerbit maupun motivator, bahwa di tengah pandemi, animo masyarakat Indonesia untuk datang ke toko buku dan memprioritaskan pembelian buku motivasi masih tinggi.

Meski demikian, setidaknya terbit 2 pertanyaan. Pertama, apa karakteristik khas buku motivasi yang digemari—atau dianggap relevan—oleh masyarakat selama pandemi ini? Kedua, bisakah ditarik suatu proyeksi tentang karakteristik-karakteristik buku motivasi setelah pandemi nanti?

5 Besar Buku Motivasi dengan Penjualan Terlaris

Sejujurnya bukanlah perkara mudah memberi nasihat motivasional di saat semua orang merasakan petaka pandemi ini. Durasinya yang sangat lama (hampir 2 tahun) memberi imbas ekonomi yang dahsyat dan merata, sehingga orang lebih butuh sesuatu yang nyata ketimbang teori-teori penyemangat. Maka, selalu menjadi pertanyaan insan perbukuan, karakter buku motivasional seperti apa yang berhasil di masa ini?

Lima besar buku motivasi (self-improvement) dengan penjualan terlaris pada bulan September 2021 meliputi judul-judul berikut: (1) Rahasia Magnet Rezeki karya H. Nasrullah, (2) Atomic Habits: Perubahan Kecil yang Memberikan Hasil Luar Biasa karya James Clear, (3) Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson, (4) Filosofi Teras karya Henry Manampiring, dan (5) Insecurity is My Middle Name karya Alvi Syahrin. Rata-rata judul tersebut merupakan terbitan lama, kecuali Insecurity is My Middle Name yang dirilis pada Mei 2021.

Ditilik dari sudut pandang tema, semua mengangkat kesuksesan dari sudut pandang pengolahan kematangan jiwa/psikologis. Buku Rahasia Magnet Rezeki—cukup sekilas dilihat dari cover dan sinopsisnya—mengupas tema tersebut dari sudut pandang nilai-nilai Islami. Atomic Habits mengangkat tema manajemen pribadi yang diawali dari hal yang paling sederhana. Buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat mengadvokasi jiwa generasi muda yang kesulitan menemukan representasi yang sehat di dalam zaman modern yang serbarakus dan konsumeristis. Buku Filosofi Teras menghidupkan lagi pandangan lama tentang Stoikisme yang lama sempat tenggelam. Dan, buku Insecurity is My Middle Name rupanya menyambar isu kerentanan dan kerapuhan jiwa anak-anak muda dalam upaya pendewasaan diri. 

Baik di luar maupun di dalam negeri, motivator selalu identik dengan slogan optimistis, yang terkadang justru terdengar bombastis. Namun, bukan kebetulan bahwa mayoritas buku yang terdapat dalam daftar 5 besar ini tidak mengangkat klaim yang bombastis (satu-satunya perkecualian adalah istilah magnet rezeki di judul buku milik H. Nasrullah). Bahkan dalam pengantar buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat terdapat ajakan untuk jangan berubah, untuk meyakinkan bahwa perubahan yang paling ideal bukan didorong oleh klaim-klaim kesuksesan orang lain atau oleh pencapaian sosok seleb yang dipamerkan di media-media sosial, tapi dari proses kesadaran dan tanggung jawab setiap individu. Alih-alih bombastis, sebagian besar buku ini berbicara tentang pentingnya percaya pada proses yang sederhana, dan jangan takut (insecure) pada hal-hal di luar diri kita. Dalam situasi ketidakberdayaan (akibat pandemi), barangkali yang dicari adalah penyemangat yang sederhana layaknya sahabat, bukan pemberi mimpi bombastis.

Cakupan makna “sederhana” tersebut tentu saja terbuka untuk diperdebatkan, sebab sederhana bukan berarti mudah dibuat. Penulis-penulis di atas jelas memiliki kecakapan yang mumpuni. Yang kita anggap sederhana, dirancang sedemikian rupa dengan riset yang mendalam. Jangan berasumsi, tema sederhana berarti tema yang medioker. Apalagi, seperti kata Leonardo da Vinci (konon, bukan betul-betul ucapan da Vinci), “Kesederhanaan adalah puncaknya kerumitan.”

Peruntungan Buku Motivasional

Berbicara tentang peruntungan, orang spontan bertanya: apakah di masa pandemi, cara mudah untuk cepat menangguk cuan adalah menulis “buku motivasi”? Nah, yang jauh-jauh hari perlu diingat, di masa kapan pun, menulis buku motivasional tidak pernah mudah. Buku motivasional yang bagus dan laris, bukanlah sekadar hujan kata-kata indah. Meski begitu, jika berbicara cuan, tentu saja fakta tentang data penjualan genre self-improvement di bagian sebelumnya sudah cukup menjawab. Dengan kata lain, buku motivasional tetap memiliki panggung.

Belajar dari data yang ada, kiranya ada beberapa insight untuk tema buku motivasional pasca-pandemi yang terkelompokkan dalam 3 kategori:

  1. Zona hijau: Yang dimaksud dengan zona hijau adalah penerbitan buku yang sejalan dengan tren. Disebut hijau karena dengan mengusung tema-tema yang telah terbukti penjualannya, penerbit tentu akan lebih mudah menerima. Ini meliputi ciri-ciri berikut: (a) tidak melulu bertumpu pada pencapaian kesuksesan material, (b) tidak menjanjikan nilai-nilai yang bombastis, (c) tidak mengabaikan faktor insecurity/kerapuhan psikologis pembaca.
  2. Zona kuning:Yang dimaksud dengan zona kuning adalah penerbitan buku yang sedikit “memberontak” dari tren. Mengikuti tren memang baik, tapi pesaingnya (baik penulis lama maupun penulis baru) tentu sangat banyak, sehingga akan lebih “berdarah-darah”. Maka, diperlukan modifikasi (tweak) tema. Tema utamanya masih sama, namun ada bagian yang dimodifikasi, entah pada penjabaran teknis, sudut pandang, pengemasan isi, dan lain sebagainya. Penerbit mungkin perlu waktu untuk diyakinkan, namun tidak akan langsung menolak.
  3. Zona merah: Yang dimaksud dengan zona merah adalah tema-tema yang jauh berbeda, bahkan mungkin masih mengangkat tema-tema lama yang bombastis. Bukan berarti tema ini jelas tidak akan bisa diterima, tapi tema ini tentu akan sangat menantang. Direkomendasikan untuk penulis yang telah memiliki komunitas, jaringan kokoh, atau nama besar.

Ada ide atau sanggahan? Tulis di kolom komentar, ya!