Dan, Filsafat Semakin Akrab (Setelah Pandemi)

Pada 25 Maret 2020, ketika pandemi coronavirus telah meraksasa dan melibas nyaris seluruh dunia, ketika jumlah kematian di Italia dan Spanyol mencapai di atas 500 orang setiap hari, dan ketika Indonesia mulai kalang kabut menggalang pertahanan, Slavoj Žižek mengeluarkan sebuah buku, berjudul Pandemic!. Pada akhirnya, Žižek, sang filsuf turun juga.

Pandemic!—yang dibagikan secara gratis oleh penerbit OR Books dan keseluruhan royaltinya akan disumbangkan ke LSM Médecins Sans Frontières (untuk itu saya perlu angkat topi)—merupakan sebuah percikan telaah terhadap situasi akibat pandemi. Sampulnya cukup menggelitik, menampilkan permainan tipografi yang menyendirikan huruf-huruf “dem” dalam “pandemic”, sehingga terbaca menjadi “panic”, alias panik. Ya, bencana, kepanikan, dan filsafat. Mungkinkah pada akhirnya, kita belajar sesuatu dari ranah filsafat, dalam kondisi seperti saat ini?

Perlu diingat bahwa filsafat telah lama memperoleh status sebagai minoritas, dalam konteks kehidupan masyarakat di Indonesia. Tidak banyak orang yang tahu apa sebenarnya yang dipelajari dalam ilmu filsafat, tapi toh mereka bisa-bisanya melabeli filsafat sebagai: kerumitan, sesuatu yang mengawang-awang, sesuatu yang tidak berguna, dan topik kurang kerjaan. Secara khusus di dunia perbukuan, filsafat juga tidak pernah meyakinkan untuk “dijual”, tertimbun buku-buku yang lebih seksi, seperti kumpulan puisi pendek, motivasi, petuah karier, atau novel.

Namun, setelah buku baru Žižek diunduh secara masif di internet, dan artikel-artikel Yuval Noah Harari, Mark Manson, Nassim Thaleb, serta kutipan-kutipan dari Epictetus, Albert Camus, atau Markus Aurelius tersirkulasi di Instagram, barangkali inilah saat filsafat mulai mendapat tempat di dalam masyarakat. Benarkah? Apakah pada akhirnya, filsafat akan diminati? 

Absurditas adalah Kunci

Žižek menyebut fenomena corona (di Eropa) sebagai perfect storm, sebuah badai dahsyat yang sangat langka terjadi. Meledaknya virus corona membuat beberapa isu keburukan birokrasi politik di beberapa negara (Rusia, AS, Turki, dan Cina) menguat, dan menambah kacau mitigasinya. Kedahsyatan corona membuat orang kehilangan harapan atas berbagai aspek; bukan saja kesehatan, tapi juga pemerintahan, birokrasi, masyarakat, dan bahkan sistem ekonomi.

Ini adalah momen ketika kita keluar rumah dan yang kita lihat adalah segala institusi mendadak tampak reyot, dan bersiap untuk roboh. Jika tidak ditangani segera, semua akan benar-benar roboh. Tapi masalahnya, bagaimana membenahinya? Ini adalah pertanyaan utama, dari sekian pertanyaan yang memberondong kita saat ini.

Misalnya, dari segi kemasyarakatan: apa yang bisa kita lakukan untuk menyokong lapisan masyarakat yang tiba-tiba berpenghasilan nol, tanpa tahu sampai kapan? Apakah mereka begitu Karena kesalahan mereka sendiri, atau kesalahan struktur? Apa jadinya jika mereka menimbulkan huru hara, dan meminta keadilan? Apakah mereka memiliki hak untuk kita tolong, dan siapakah yang wajib menolong mereka, individu atau negara? 

Dari segi politik: apakah prioritas pemerintahan adalah menjaga stabilitas ekonomi atau stabilitas politik? Mengapa kita tidak mendapatkan data secara transparan? Mengapa aura militer begitu kuat dalam situasi ini—apakah itu artinya selama ini, militer mengatur semuanya? Jadi apakah kita benar-benar demokratis? Apa itu kontrak politik?

Bahkan dari segi spiritual: jika beribadah bisa dilakukan di dalam rumah, lalu seberapa penting kegiatan agama secara kolektif yang selama ini kita lakukan? Bukankah begini saja sudah cukup?

Derajat kemendesakan membuat pertanyaan-pertanyaan tersebut sewaktu-waktu bisa menjelma kepanikan, sebab jawaban-jawabannya tidak kunjung datang. Sementara, realitas tidak peduli apakah pemahaman kita siap atau tidak. Dalam kondisi bencana yang bergulir terus, tanpa kita memiliki jawaban yang pasti, masing-masing orang mengalami absurditasnya sendiri-sendiri. Absurditas adalah kondisi buyarnya nilai-nilai yang selama ini kita yakini, kondisi ketika akal sehat (common sense) saja tidak cukup, sehingga kita kini tertinggal sendiri tanpa memiliki pegangan, tanpa memiliki harapan.  

Tren Mencari Esensi

Kita berutang pada situasi absurd ini, yang secara psikologis memaksa orang untuk mencari sesuatu. 

Apa yang kita cari ketika mobil kita rusak di pagi hari? Kita mencari alat transportasi pengganti, entah itu sepeda atau angkutan umum. Apa yang kita cari ketika gaji kita dipotong dan cicilan harus dilunasi? Kita mencari sumber pendapatan lain, entah itu berjualan barang atau menawarkan jasa. 

Lalu, apa yang kita cari ketika harapan dan keyakinan kita hilang? Yang kita cari adalah esensi hidup. Esensi adalah tujuan utama atau hakikat. Dia bisa ditemukan, salah satunya dengan mengabaikan hal-hal yang tidak penting. Sebelum ada bencana, kita dibanjiri dengan informasi-informasi yang tidak penting (fesyen, gosip, selebritas pamer tubuh-materi-atau-rumor, info operasi pemancungan hidung, sepatu lari yang paling ringan). Masyarakat tidak dibebani oleh kemendesakan apa pun, sehingga hal-hal tidak penting itu menjadi sebuah komoditas dengan nilai yang fantastis. 

Setelah badai corona menerpa, insting semua manusia adalah menyelamatkan diri. Fesyen tidak bisa menyelamatkan kita. Gosip apalagi. Selebritas, pemain bola, aktor, tiba-tiba tidak lagi menarik. Kita berusaha menyelamatkan hal-hal yang penting, termasuk di dalamnya adalah: keyakinan-keyakinan kita akan kemanusiaan, keadilan, Tuhan, atau etika. Itu semua adalah hal-hal yang abstrak, yang tidak bisa dilihat dan digenggam, seolah kita sedang memilih-milih syampo di minimarket. Tapi toh kita membicarakannya, mempertanyakannya, membandingkannya, menyalahkannya, hingga pada akhirnya membutuhkan pencerahan tentangnya.

Dan, jika beruntung, kita sampai pada kesadaran bahwa filsafat akan menolong kita.

Peluang Perbukuan

Buku filsafat adalah jenis yang susah dijual. Padahal, filsafat itu luas sekali. Filsafat bisa menyangkut hal-hal yang sangat abstrak, misalnya mengupas tentang apa yang ada dan tidak ada (metafisika), tentang apa yang baik dan yang jahat (etika), tentang apa yang indah dan buruk (estetika), dan lain sebagainya. Tetapi, filsafat juga bisa menyangkut hal-hal yang populer dan dekat, misalnya tentang budaya pop, kecenderungan milenial, sejarah kemanusiaan, dilema bisnis, hukuman mati, universal basic income, dan lain-lainnya.

Mungkinkah perkara “ketidakmenjualan” ini disebabkan oleh tema itu sendiri, atau sesungguhnya kemalasan penerbit untuk mendekatkan/mencipta kebutuhan? Itu adalah pertanyaan abadi yang tidak perlu dijawab, dan lebih afdol untuk direnungkan oleh pihak-pihak terkait saja. Kini, terbentang di depan kita: situasi yang menunjang kebutuhan akan pencerahan.

Jauh sebelum corona (bermula tahun 2018), sesungguhnya ada tren buku-buku filsafat terutama dalam tema Stoikisme. Stoikisme adalah cabang gaya filsafat dari sekolah Stoa (lahir kira-kira abad 3 SM), yang mengulas tentang kebijaksanaan hidup, atau cara kita hidup dengan bijaksana (do philosophy). Sebut saja buku-buku dari Mark Manson (Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, dan Segala-galanya Ambyar), dan Henry Manampiring (Filosofi Teras), yang sukses menjadi buku laris di Indonesia. Ada juga Yuval Noah Harari yang mendekati problem-problem filosofis secara tidak langsung, melalui pendekatan sejarah (Sapiens, dan Homo Deus).

Entah mengapa, mungkin corona hanyalah puncaknya saja. Sebelum corona datang, kondisi masyarakat global memang sudah membutuhkan buku-buku bertema filsafat. Saya menyitir kata-kata Byung Chul-Han dalam bab awal bukunya The Burnout Society (2015) tentang situasi masyarakat saat ini:

“Setiap zaman memiliki penderitaan masing-masing. Maka, kita mengenal adanya zaman bakterial; pada akhirnya, itu berakhir dengan penemuan antibiotik. Walau ketakutan akan epidemi influenza merebak, kita tidak lagi hidup di zaman virus. Berkat teknologi imunologis, kita telah menaklukkannya. Dari sudut pandang patologis, permulaan abad 21 ditandai bukan lagi oleh bakteri atau virus, tapi oleh neuron. Penyakit-penyakit Saraf seperti depresi, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), borderline personality disorder (BPD), dan sindrom kelelahan (burnout syndrome) menandai lansekap patologi di awal abad 21. Penyakit-penyakit itu bukanlah infeksi, melainkan infraksi; asalnya bukan dari negativitas dari sesuatu yang asing secara imunologis, tapi dari pasokan positivitas yang terlalu banyak.” 

Dengan kata lain, tren filsafat sedang bergerak. Filsafat kini semakin akrab. Kita boleh optimis, barangkali generasi milenial sedang mendewasakan dirinya. 

2 thoughts on “Dan, Filsafat Semakin Akrab (Setelah Pandemi)”

  1. Menarik bahwa analisisnya menjadi representasi aktual saat ini. Berefleksi atas pandemi covid-19 memaksa setiap orang untuk membiasakan hal yang tak biasa. Di akui bahwa wabah ini menghantar pada situasi batas manusia, sekaligus membangun jembatan untuk sedikit lebih berani ber-epikeia termasuk kaitannya dengan berfilsafat. Kenyataan selalu menuntut untuk bermetafora dalam hidup. Karena itu, bagus bahwa eksistensi filsafat akan semakin membuka cara pandang seseorang ketika bersentuhan dengan realitas yang tersaji😊😊.

    Like

Leave a comment