Musim Mengubur

1

Untuk orang yang mengalami kedukaan, tidak ada satu benda pun di dunia ini yang dapat menjadi silih. Kedukaan menjadikannya berjarak dari kehidupan, sebab seluruh barang dunia dalam sekejap, menjadi tidak relevan, karena tak bisa mengembalikan kepergian orang yang dicinta itu. Untuk sementara, ia menjadi emoh dengan segala hal di dunia ini.

Raut mukanya mungkin tampak biasa-biasa saja di pemakaman. Dia masih bisa tersenyum dan berbasa-basi, meski sejatinya kakinya seolah tidak menjejak di tanah dan jiwanya sedang melayang-layang—persis seperti larik-larik puisi Subagio Sastrowardoyo: aku telah sampai pada tepi/Darimana aku tak mungkin lagi kembali./Aku kini melayang di tengah ruang/Di mana tak berpisah malam dan siang./ (Manusia Pertama di Angkasa Luar, 1970).

Namun demikian, di hari kepulangan ayah saya pada 3 Juli yang lalu, saya tidak sempat merasakan itu—saya tak sempat melayang-layang. Pasalnya, di hari itu, ada 492 orang yang turut wafat akibat Covid di seluruh Indonesia, yang membuat kedukaan yang saya alami menjadi sesuatu yang terasa komunal, bahkan massal. Saya tidak sempat merasakan kesendirian. Ada perasaan kehilangan, tapi bersamaan dengan itu terbit pula belarasa pada ratusan keluarga lain yang juga sedang kehilangan—bahkan saya masih bisa mendoakan kawan atau kenalan yang sanak saudaranya tengah meregang nyawa. Tentu saja, saya juga berterima kasih karena menerima belarasa dari banyak orang.

Tepatlah pendapat Rutger Bregman dalam bukunya Humankind (2020):

It’s when crisis hits – when the bombs fall or the floodwaters rise – that we humans become our best selves.

2

Yang terjadi saat ini, sekilas seperti “musim mengubur”, yaitu musim ketika berita kematian mewarnai linimasa kita, selayaknya warna hijau yang bertebaran di jalan-jalan saat musim mangga. Sejak awal Juli, korban meninggal akibat Covid di Indonesia berkisar pada angka 1000 nyaris setiap harinya. Bahkan kemarin (22 Juli 2021), terdapat kematian 1440 jiwa. Itu adalah angka yang patut diratapi, terutama jika orang-orang yang kita kenal ikut terbilang di sana.

Pertanyaannya, apa yang kita ratapi: nasibkah?

Tak perlu meratap, sebab memang beginilah hidup. Petaka bukanlah hal baru, sebab dari waktu ke waktu selalu ada yang seperti ini. Nietzsche mengajak setiap orang untuk menghayati “amor fati”, bukan sekadar mengetahui, menerima, atau meratap, tapi juga mencintai nasib ini. Memang sudah nasib kita, menjalani hidup dengan segala untung dan malang, dan kita berduyun-duyun menyongsong kematian.

Inikah yang disuarakan banyak orang dalam sepotong jargon “berdamai dengan covid”? Barangkali karena wabah covid ini tidak mampu kita bendung, kita pun diajak untuk tidak menaruh harapan yang mustahil—terutama untuk waktu-waktu dekat, misalnya: semoga Agustus sudah bisa jalan-jalan dengan bebas, semoga Desember, sudah boleh nongkrong tanpa masker, dan semacamnya. Berdamai berarti menerima nasib—tepatnya, nasib yang apes.

Namun begitu, ada yang lebih mendasar. Konsekuensi logis di musim penguburan saat ini bukan saja berdamai dengan covid, namun berdamai dengan kematian. Bukan berarti leleh luweh dan “nekat mati”, berdamai dengan kematian berarti menaruh kematian dalam ujung tombak spiritualitas kita.

Jadi, kembali pada pertanyaan sebelumnya: apa yang patut diratapi dalam musim mengubur ini? Bukan nasib, melainkan sikap penyangkalan kita pada kematian.

3

Martin Hägglund, seorang filsuf muda asal Swedia, mengatakan bahwa keyakinan akan kehidupan kekal setelah mati, adalah salah satu sumber masalah di dunia ini. Dalam bukunya, This Life: Secular Faith and Spiritual Freedom (2019), ia berujar bahwa keyakinan semacam itu membuat orang tidak sungguh-sungguh merawat kehidupan, karena merasa hidup ini hanya peralihan. Hidup yang sesungguhnya bukan sekarang, tapi nanti sesudah mati. Padahal, seharusnya kesadaran bahwa kita semua akan mati, membuat kita saling menyadari kefanaan dan kerapuhan segala hal—bahwasanya, kehidupan ini memiliki batas. Batas itu adalah kematian, dan setelah kematian, siapa pun itu akan sirna dan tidak bisa lagi melanjutkan semua rencana dan proyeknya di bumi ini.

Martin Hägglund menyebutnya sebagai sense of finitude, yaitu: kesadaran akan kerapuhan segala benda yang kita sayangi. Ketika semua manusia sama-sama menyadari keberbatasan dunia ini, di situlah lahir secular faith (iman sekuler), yaitu: bentuk iman yang kita pegang ketika mengasihi seseorang atau sesuatu yang sangat mudah sirna. Kita semua mengasihi—diri sendiri, orang lain, dan seisi dunia tempat kita berpijak—dan kasih itu terpaut erat dan tak bisa lepas dari risiko kehilangan. Baginya, ini merupakan bentuk iman yang paling universal, yang bisa dihayati oleh siapa pun, baik yang relijius maupun yang tidak.

Ide Hägglund sederhana tapi merangkum seluruh tema tentang berdamai dengan kematian. Dia ingin mengatakan bahwa hidup ini akan kehilangan makna jika tak ada kematian. Berharganya kehidupan bukan pertama-tama disebabkan oleh janji akan hidup abadi sesudah kematian, tapi pada fakta bahwa hidup ini tidak abadi. Karena nyawa kita (dan seisi dunia) tidak abadi, adalah keharusan setiap orang untuk merawatnya.

Iman religius dapat kehilangan relevansinya jika gagal meresapi makna kematian itu. Konyol sekali, bahwa ada oknum relijius di Indonesia yang masih memandang enteng risiko kematian, lalu menyia-nyiakan nyawanya dan nyawa orang lain, dengan alasan iman pada Tuhan. Tidak ada belarasa sekaligus tidak memiliki sense of finitude. Padahal, perkara meresapi kematian itu harus sampai pada rasa sayang pada dunia dan seisi ciptaan yang fana ini—sayang yang sungguh-sungguh besar, bahkan sampai tidak mungkin ditukar dengan nikmatnya janji kehidupan kekal di surga. Di situlah, tumbuh “kedamaian dengan kematian” yang sesungguhnya.

Saya teringat akan bagian terakhir film Silence (2016) karya Scorsese. Romo Rodrigues (diperankan Andrew Garfield)—mengikuti jejak Romo Ferreira (Liam Neeson)—meninggal bukan lagi sebagai seorang Yesuit, tapi sebagai pendeta agama lokal Jepang. Mereka rela menanggalkan identitas itu, dianggap pengecut oleh semua pihak, demi berhentinya siksaan keji yang berturut-turut dialami jemaat Katolik yang mereka pimpin.