Menjadi Co-Exhibitor di London Book Fair 2019

Tahun ini menjadi tahun yang istimewa bagi Indonesia dalam dunia perbukuan dunia dengan menjadi Market Focus Country (MFC) di The London Book Fair 2019. Perbukuan Indonesia menjadi tamu istimewa di Inggris.

Sebagai MFC, Indonesia menjadi sorotan dunia. Harapannya, ini dapat membuka kesempatan bisnis yang seluas-luasnya dengan dunia terutama dalam industri perbukuan.

Hal ini tentu telah dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh Indonesia agar sorotan dunia benar-benar terarah ke Indonesia. Melalui National Organizing Committee (NOC), Indonesia menyiapkan sangat banyak acara yang melibatkan penulis dan penerbit Indonesia, termasuk acara yang tidak terkait dengan buku, mulai bidang kuliner, fesyen, film, seni pertunjukan, pameran arsitektur, desain grafis, ilustrasi, boardgames, sampai animasi digital. 

Secara resmi ada 12 penulis dan 20 penerbit Indonesia (30 kalau digabungkan dengan bidang non-buku) yang diundang terbang ke London. Para penerbit ini kemudian disebut dengan co-exhibitor. Para penulis dan penerbit yang hadir di LBF 2019 ini sebelumnya mengikuti proses seleksi yang dilaksanakan oleh NOC. 

Saya, mewakili kelompok penerbit Gramedia, terpilih menjadi co-exhibitor dalam acara ini. Fasilitas yang saya dapatkan dengan menjadi co-ex adalah tiket pesawat PP Jakarta-London dan booth di stan Indonesia.

Selama 12-14 Maret, saya berada di stan, mengadakan rapat dan bertemu dengan perwakilan penerbit dari beberapa negara, di antaranya Jepang, Korea, Cina, Inggris, Amerika Serikat, India, dan Malaysia. Satu hak cipta terjual, yaitu buku karya Naela Ali, berjudul Stories for Rainy Days. Sementara itu, ada 36 judul yang diminati.

Untuk LBF tahun ini, panitia sengaja mengundang banyak penerbit agar pasar hak cipta Indonesia dikenal lebih beragam. Para co-ex dibekali dengan ilmu menjual hak cipta dengan mengikuti 2 kali seminar mengenai penjualan hak cipta yang diadakan di Indonesia dan di London, sehari sebelum pameran dibuka. 

Harapan saya, di tahun-tahun selanjutnya, apabila ada kesempatan lagi menjadi MFC, Indonesia lebih berkonsentrasi dalam pemberian dukungan terjemahan. Upaya penerjemahan yang lebih banyak lagi (dan tentu tetap dengan kualitas yang baik) akan sangat membantu mengembangkan perbukuan Indonesia di mata dunia. Saat ini, karya-karya Indonesia kurang dikenal dunia bukan karena karya-karyanya tidak bagus, tetapi orang-orang tidak dapat mengapresiasinya karena keterbatasan bahasa.

Suasana dalam pameran LBF 2019 (credit: Joko Wibowo)

Tulisan ini diterima oleh booqsy.com pada 31 Maret 2019, sebagai catatan kecil keikutsertaan di The London Book Fair 2019.

Gelegar Indonesia di Panggung London Book Fair 2019

Beda. Begitu singkat jawaban saya pada seorang teman yang mempertanyakan perbedaan book fair di Indonesia dengan book fair di London 2019 yang baru usai. Di Indonesia, book fair (yang berlabel “international” sekalipun) terutama adalah kesempatan penerbit, toko buku, serta penjual aneka produk lain untuk menjajakan buku atau dagangannya, umumnya dengan iming-iming rabat besar; pembaca atau konsumen bisa membeli buku langsung dari penerbit.

Apa yang Dijual di Book Fair?

Book fair di London, Frankfurt, Bologna, dan di beberapa negara lain, hampir-hampir tidak menjual buku. Memang ada 1 atau 2 stan distributor yang membawa buku untuk dijual, tapi beberapa penerbit bahkan memberikan produknya secara gratis karena di situ mereka tidak berjualan buku. Yang mereka tawarkan adalah “rights” dan lisensi, yaitu hak komersial karya, entah itu berupa hak penerjemahan, adaptasi, merchandise, atau film. 

Book fair semacam ini telah berkembang sejak 1946 (di Leipzig) dan di Frankfurt (1949), tapi kalau mau dirunut ke belakang lagi, bisa ditemukan akarnya pada sekitar abad ke-12.

Dalam peristiwa inilah, roda ekonomi budaya berputar kencang. Memakai istilah yang agak mumbul yang dicetuskan Appadurai, book fair adalah tournament of values. Semua semut pekerja yang terlibat dalam rantai industri penerbitan dari berbagai belahan dunia hadir di situ: publisis yang sibuk membuat edaran pers, jurnalis peliput acara, editor yang bermuka masam karena harus menjelajahi seluruh arena, agen pustaka yang di pengujung hari akhirnya bebas untuk tidak berbincang lagi, para penulis yang sibuk mengisi acara dan sibuk keliling membagi kartu nama, distributor yang menawarkan kerja sama, dan tentu saja, para puan dan tuan yang sekadar melancong memanjakan mata. 

Mereka bertatap muka dalam kurun waktu dan tempat yang sudah disiapkan. Aturan main atau logika yang digunakan pun telah disepakati bersama. Penerbit dari berbagai negara bersaing membangun jenama, merancang program promosi, dengan menyewa stan-stan yang luas, mengirim banyak staf penjualan, dan meluncurkan buku unggulan. Semakin besar suatu penerbit, semakin luas stannya, dan semakin banyak staf yang dikirim. 

Semua ditempuh semata agar rights penulis yang diwakilinya terjual. Ya, rights. Dalam turnamen nilai semacam ini, yang menjadi ukuran (currency)-nya adalah rights, bukan buku fisik.

Lalu, siapakah primadona dalam ajang seperti ini? Tentu, yang datang dengan kartu nama Pemegang Rights International Best-Seller. Primadona lain, International Rights Buyer, apalagi dari penerbit besar dan negara-negara besar.

Lho, bukan penulis? Ya, bukan. Book fair bukan writer festival. Lalu di mana posisi penulis dalam perhelatan besar ini? Layaknya sebuah pasar, selalu diperlukan mereka yang berperan menarik minat orang untuk datang dan kemudian membeli produk yang dijajakan. Peran ini tidak hanya melekat pada penjual, sebab penulis dan pengisi acara lain pun sesungguhnya diperlukan. Nah, di sinilah peran besar penulis. Sebagai pemilik hak moral atas karyanya, mereka tentulah yang paling paham dengan produk. Apalagi penulis juga memiliki nilai plus, sebab selain “berjualan” karya mereka sendiri, umumnya penulis juga membawakan suara negerinya, antara lain situasi sosial, politik, dan budaya yang berkaitan dengan proses kreatif, atau hal lain—yang ujung-ujungnya menunjang “penjualan” rights

Jadi, bagaimana posisi Indonesia dalam The London Book Fair 2019? 

Entahlah di mana posisi Indonesia dalam penyelenggaraan event LBF di tahun-tahun sebelumnya. Yang jelas, dengan menjadi Market Focus (yang berarti ada dukungan dana tidak sedikit dari pemerintah), nama “Indonesia” di LBF 2019 ini bisa terpampang besar di hall utama. Indonesia jadi punya stan yang luas, sekira 600 meter persegi. Lepas dari apakah desain stan itu lebih mengutamakan segi estetis ketimbang fungsi, paviliun Indonesia tampak menonjol dan sedikit lebih besar daripada stan Penguin Random House atau Hachette, penerbit-penerbit raksasa dunia itu. Umbul-umbul bertuliskan “Indonesia” tegak terpasang mewarnai jalanan menuju pameran dan di dalam ruang pameran.

Para penulis juga mendapat beberapa kesempatan berbicara, baik di lokasi pameran, di universitas, atau di lembaga lain. Dalam buku acara yang diterbitkan Komite Buku Nasional, tertulis Indonesia menggelar 99 acara di arena pameran, London, dan daerah lain. Acara itu melibatkan 134 pengisi acara dari Indonesia dan dari daerah setempat. Dari komposisi acara, tampak bahwa penerbit dan pelaku digital mulai diberi ruang untuk bersuara. Penerbit yang dibantu sebagian pendanaannya agar bisa menggelar lapak juga lumayan banyak: ada 34 penerbit, dan beragam—meski pemilihan ini rasa-rasanya mungkin berdasarkan pertimbangan “sama rasa sama rata”, bukan berdasarkan “merit” prestasi.

Apakah angka-angka itu cukup lantang, menjadi gelegar di tengah hiruk-pikuk London Book Fair? Laman situs London Book Fair 2019 menyatakan, acara ini diikuti oleh sekitar 24.000 pengunjung, 13.000 di antaranya berasal dari 113 lebih negara. Peserta pameran berjumlah sekitar 1.600 lembaga yang berasal dari 60 negara. Itu semua adalah jajaran angka yang ratusan kali lebih besar—teramat besar jika dibandingkan dengan Indonesia. 

Belum lagi jika melihat angka penjualan rights yang dicapai. Selama LBF, sebanyak 23 judul buku Indonesia terjual rights-nya—sekitar 46 persen dari target tahun 2019 ini, yaitu  50 judul. Tidak begitu jelas dasar penargetan ini. Angka produksi buku Indonesia menurut IKAPI mencapai 30.000 judul setahun. Jika dengan asumsi buku karya penulis Indonesia adalah 50% (karena 50% selebihnya adalah buku terjemahan), rights yang tersedia untuk dijual adalah 15.000 judul per tahun. Katakanlah dari angka tersebut yang benar-benar layak untuk dipasarkan sangat minim, hanya 10%, maka tersedia 1.500 judul setiap tahunnya yang siap untuk dipasarkan rightsnya.

Target 50 judul dari 1500 yang tersedia? Tentu itu kurang sebanding. 

Meski begitu, menarik kesimpulan bahwa semua usaha di atas gak ngaruh juga terlalu tergesa-gesa. Jangankan memenangi, untuk ikut muncul dalam papan bawah turnamen “nilai simbolik” semacam ini, diperlukan waktu, yang makin tak terbayangkan panjangnya jika tidak kunjung dimulai. Mempunyai paviliun seluas 600 meter persegi dan menggelar 99 acara selama sekitar 14 hari itu sesuatu yang patut diacungi jempol. Tanpa dukungan pemerintah, kalau stan diibaratkan dengan rumah, paling-paling penerbit kita hanya bisa ngontrak segede beranda Random House—kalau bukan malah sebesar pos sekuritinya. Namun begitu, paviliun semegah itu, terasa ironis jika tak diiringi prestasi yang sesungguhnya. Tantangan sudah jelas, perlu lebih fokus.

Jadi, lebih baik ngontrak pos sekuriti atau beranda? Lah….yang gini kok ditanyakan.

Suasana dalam LBF 2019 (credit: Christina Udiani)

Tulisan ini diterima oleh booqsy.com pada 26 Maret 2019, sebagai catatan kecil keikutsertaan di The London Book Fair 2019.

Merayakan Perbukuan Sekembalinya dari London Book Fair 2019

Pada 12-14 Maret 2019, di kota London, tepatnya di Olympia Hall, Kensington, ada gelaran menarik. Dunia mengenalnya sebagai London Book Fair. Tahun 2019 ini adalah gelaran yang ke-48 kalinya, alias sudah 48 tahun diadakan. Bukan waktu yang singkat. Tema yang diangkat Taking Words Further Content Across Media.

London Book Fair, berkembang dari pameran dagang pustakawan yang disebut Pameran Penerbit Spesialis untuk Pustakawan (SPEX) yang dimulai pada 5 November 1971 oleh Clive BIngley dan Lionel Leventhal. Bingley ingin memberi platform penerbit kecil agar dengan mudah menunjukkan judul mereka kepada pustakawan. Lokasi dipilih karena kedekatannya dengan Asosiasi Perpustakaan, dan tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan pertemuan dewan bulanan di sana, yang akan dihadiri oleh sejumlah pustakawan luar kota. 

Pameran pertama itu sukses, sehingga  BIngley dan Leventhal ingin merutinkan acara tersebut. Pasangan ini membuat pameran kedua pada November 1972. Bloomsbury Centre Hotel menjadi tuan rumah bagi Pameran Penerbit Kecil dan Spesialis yang telah berganti nama. Cakupan dan pengaruh acara tumbuh dan mulai mencakup penerbit yang lebih besar dan lebih umum. Pada 1977, SPEX resmi ditanggalkan, dan berganti judul menjadi London Book Fair.

Ada Apa di London Book Fair?

London Book Fair sekarang dianggap sebagai yang kiblat kedua bagi dunia perbukuan, setelah Frankfurt Book Fair. Dalam sejarah 48 tahun memimpin pasar dan pameran buku, lebih dari 60 negara secara teratur memamerkan, pengunjung datang dari 135 negara, dan ada 25.000 profesional penerbitan yang hadir. Menurut Jacks Thomas, Direktur dari London Book Fair, penerbit buku datang ke London untuk memublikasikan judul mereka yang akan datang, dan untuk menjual serta membeli hak terjemahan buku dari penerbit lain.

Pameran ini sendiri mencakup berbagai kepentingan dan pasar dalam industri penerbitan, termasuk negosiasi hak dan penjualan dan distribusi konten di seluruh saluran cetak, audio, TV, film, dan digital, serta bentuk penerbitan yang lebih tradisional. Ada banyak kegiatan sepanjang London Book Fair, mulai dari pertemuan bisnis antara perusahaan penerbitan, pengenalan judul buku kepada pembaca dan pengunjung, pengumuman hadiah dan penghargaan, serta banyak lokakarya dan seminar untuk membahas masalah dan tren terkini dalam industri perbukuan.

Semegah Ini, Demi Buku?

Kemunculan kindle, gawai pembaca buku digital besutanAmazon pada awal 2007 sempat memantikkan kekhawatiran. Peranti ringan buatan raksasa ritel daring terbesar itu disinyalir akan menggantikan buku cetak konvensional (printed books). Banyak kalangan meramalkan, dunia perbukuan cetak ada di ambang senjakala, alias sekarat. Bahkan seorang teman sempat bertanya langsung pada saya, “Gimana dunia perbukuan sekarang? Katanya udah nggak sebagus dulu?”

Jawab saya singkat, “Itu hoaks!” Pasalnya, kalau Anda sempat mampir di perhelatan London Book Fair atau pameran buku dunia lain, seperti Bologna Children Book Fair (yang khusus untuk buku-buku anak), atau Frankfurt Book Fair, di Jerman yang lebih besar lagi daripada kedua pameran buku dunia itu, Anda pasti akan mengamini perkataan saya. Para peserta pameran ataupun pengunjung yang sebagian besar adalah penerbit yang akan membeli hak terbit (rights) dari penerbit lain, berjubel di tempat itu. Interaksi inilah yang meneguhkan harapan bahwa buku cetak tidak tergantikan.

The Guardian pernah mengulas perbandingan penjualan buku cetak dengan buku digital pada 2016, dalam artikelnya (14 Maret, 2017), berjudul Ebook sales continue to fall as younger generations drive appetite for print.

Lebih dari 360 juta buku terjual pada 2016 — naik 2% dalam setahun, yang artinya: konsumen Inggris membelanjakan 6% ekstra, atau £100 juta untuk buku-buku dalam format cetak dan ebook (digital), menurut temuan kelompok riset industri Nielsen dalam laporan tahunan survei buku dan pembelinya. Data itu juga mengungkapkan kabar baik untuk toko buku fisik, karena ternyata ada kenaikan penjualan sebesar 4% di seluruh Inggris.

Ketika penjualan melalui toko-toko mengalami peningkatan 7% pada 2016, penjualan ebook rupanya menurun sebesar 4%. Tahun ini adalah untuk kedua kalinya secara berturut-turut, penjualan ebook telah jatuh, dan penurunan ini baru terjadi dua kali sejak pemantauan resmi oleh badan industri dalam satu dekade ini. 

Pada 2015, Asosiasi Penerbit menemukan bahwa penjualan konten digital turun dari £563 juta pada 2014 menjadi £554 juta, sementara penjualan buku fisik meningkat dari £2,74milyar menjadi £2,76 milyar. 

Secara sederhana, dari pengalaman kunjungan singkat saya ke London Book Fair 2019, saya berani menyimpulkan bahwa dunia masih membaca. Sungguh berita yang bagus, bukan? Dengan kata lain, buku masih memegang peran penting sebagai komoditas strategis yang menggerakkan roda ekonomi. Kemegahan book fair tersebut merupakan sebuah konsekuensi logis, yang patut dirayakan.

Catatan dari LBF

Tak kalah menarik, sebagai catatan pinggir selain menyoal buku cetak yang masih memikat, di London Book Fair 2019 kali ini, Indonesia menjadi market focus (tamu kehormatan), dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mendapat kehormatan itu. Tema yang diangkat masih sama seperti ketika Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair, yaitu 17.000 Islands of Imagination

Sebagai market focus, Indonesia mendapat kesempatan untuk memperkenalkan konten literasi, penerbitan, serta industri kreatif, seperti arsitektur, fesyen, kuliner, dan juga game kepada publik Inggris dan pasar internasional. Komite pelaksananya adalah Bekraf, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Komite Buku Nasional. Ada 12 penulis Indonesia yang diikutsertakan di ajang ini, seperti Agustinus Wibowo, Clara Ng, Dewi Lestari, Faisal Oddang, Intan Paramaditha, Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, Nirwan Dewanto, Norman Erikson Pasaribu, Reda Gaudiamo, Seno Gumira Ajidarma, dan Sheila Rooswitha Putri.  

Kabar baiknya, dalam pameran buku ini, Indonesia berhasil menjual 23 judul buku dan 408 judul lain yang masih dalam tahap negosiasi, serta meraup tiga milyar dari penjualan buku-buku tersebut.

Suasana dalam pameran LBF 2019 (credit: Joko Wibowo)

Tulisan ini dibuat pada 30 Maret 2019, sebagai catatan kecil keikutsertaan di The London Book Fair 2019.

Bertamu ke Benak Anak Autis, Bersama Naoki Higashida

Autisme masih cukup asing di telinga orang Indonesia. Peluang seseorang untuk mengerti secara persis apa itu autisme, terjadi hanya melalui 2 hal: dengan memiliki anak atau saudara yang mengidap autisme, atau dengan mempersiapkan diri menjadi tenaga profesional di bidang perkembangan anak. Tidak mengherankan, kehadiran anak autis di masyarakat Indonesia seolah tak kasat mata.

Memahami fenomena autisme memang tidak bisa dibilang gampang. Autisme sendiri merupakan kumpulan gejala yang jangkauannya (spektrumnya) luas, mulai dari yang bisa berfungsi secara kemasyarakatan (high functioned) hingga yang tidak mampu mandiri, mulai dari yang verbal (dapat berkomunikasi) hingga yang non-verbal, mulai dari yang bertalenta di atas rata-rata (savant syndrome) hingga yang tanpa bakat, mulai dari yang hiperaktif hingga yang pendiam. Semuanya berpangkal pada perbedaan kondisi saraf yang terjadi sejak lahir.

Di atas semua ciri-ciri tersebut, yang paling jelas adalah bahwasanya penyandang autisme terlahir sebagai insan istimewa. Individu-individu ini tidak gampang untuk menyesuaikan dengan lingkungan normal. Sialnya, kondisi ini tidak cukup mudah dimengerti. Penyandang autisme sering disamakan dengan pemalas, moody, bodoh, freak, kesurupan, lemah mental, dan semacamnya. 

Kesalahkaprahan tersebut tidak melulu salah masyarakat. Sangat bisa jadi, hal ini diakibatkan oleh kurangnya buku, media, atau kampanye terkait autisme. Maka itu, dibutuhkan sebuah buku yang mampu mengupas autisme dengan baik. The Reason I Jump (20015), karangan Naoki Higashida, menjadi salah satu buku yang sangat baik, karena mengupas seluk beluk penyandang autisme, langsung dari sisi seorang anak autis.

Naoki Higashida, kala berusia 25 tahun.

NAOKI HIGASHIDA adalah seorang pemuda asal Jepang yang diketahui menyandang autisme sejak usia 5 tahun. Pada usia itu, Naoki berjuang sangat keras untuk berkomunikasi secara verbal—bahkan hingga kini masih kesulitan. Beruntunglah guru-gurunya berambisi besar untuk membantu, dan Naoki pun berusaha dengan tanpa lelah. Naoki yang tampaknya suka bercerita itu, dibantu dengan sebuah tabel alfabet hiragana Jepang, serta QWERTY keyboard yang dicetak dalam bentuk kartu dan dilaminating. Naoki berkomunikasi dengan menunjuk huruf-huruf tersebut, didampingi asisten yang telaten. Singkat cerita, pada usia 13 tahun, ia menerbitkan buku The Reason I Jump tersebut.

The Reason I Jump merupakan kumpulan tanya-jawab untuk Naoki, yang sepertinya telah sering ia dapatkan selama itu, mulai dari yang sederhana, pribadi, hingga yang menelisik. Dalam buku setebal 135 halaman (edisi bahasa Inggris, terbitan Penguin Random House), Naoki menjadi narasumber untuk segala “keganjilan-keganjilan” yang dipertanyakan “orang normal”. 

Ada 58 pertanyaan, yang dijawab dengan lugu namun terperinci, rata-rata hanya dalam 5 paragraf. Pertanyaan-pertanyaan itu di antaranya meliputi: Mengapa orang autis suka berteriak sangat lantang dan terdengar aneh? Mengapa kamu suka menirukan pertanyaan orang padamu? Mengapa kamu suka mengucapkan pertanyaan yang sama lagi dan lagi? Mengapa kamu lama sekali menjawab pertanyaan orang? Mengapa kamu tidak mau memandang orang yang mengajakmu bicara? Mengapa kamu suka menyendiri? Mengapa kamu tidak suka berpegangan tangan dengan orang lain? Mengapa kamu suka pilih-pilih dalam hal makanan? Mengapa kamu suka air? Mengapa kamu sering hilang/tersesat? Mengapa kamu tidak bisa diam? Mengapa kamu suka melompat?

Q: Mengapa kamu terus melakukan hal-hal yang dilarang dan telah diingatkan berulang kali?

Kami, penyandang autisme, mendengarkan larangan itu berkali-kali. Aku, aku selalu diingatkan untuk tidak melakukan hal yang sama dari sejak dahulu. Sekilas, aku tampak nakal atau bandel, tapi sejujurnya, tidak seperti itu. Ketika aku diperingatkan, aku merasa sedih dan takut bahwa aku akan melakukannya lagi. Tapi, ketika kesempatan itu datang, kami sungguh lupa kejadian terakhir, dan kami melakukannya lagi. Seolah-olah ada seseorang yang bukan aku yang menyuruh kami melakukannya.

Kamu pasti berpikir: “Hmm, apakah dia tidak pernah belajar?” Kami tahu, kami membuat Anda sedih dan kecewa, tapi jangan pikir kami tidak berusaha, dan sesungguhnya aku takut, kamu sungguh berpikir seperti itu. Tapi tolong, apa pun yang Anda pikir, jangan pernah menyerah dengan kami. Kami butuh bantuanmu.

Q: Mengapa caramu berbicara aneh?

Terkadang, penyandang autis berbicara dengan intonasi yang aneh, atau menggunakan bahasa yang berbeda. Orang yang tidak autis bisa memilah apa yang ingin dikatakan secara langsung, ketika sedang terlibat percakapan. Tapi untuk kami, kata-kata yang ingin aku ucapkan dan kata-kata yang bisa saya ucapkan tidak selalu cocok. Itulah mengapa cara bicara kami terdengar sedikit aneh, kayaknya. Ketika ada perbedaan antara apa yang kupikirkan dan kukatakan, itu karena kata-kata yang keluar dari mulutku adalah satu-satunya kata-kata yang bisa kuakses pada saat itu juga. Kata-kata itu muncul karena barangkali aku selalu mengucapkannya atau karena kata-kata itu pernah sangat berkesan bagiku.

Q: Benarkah kamu tidak suka disentuh?

Untukku sendiri, aku tidak punya masalah dengan kontak fisik, tapi pastinya, beberapa penyandang autisme yang lain tidak suka dipeluk atau disentuh. Aku tidak tahu alasannya—bisa jadi itu membuat mereka tidak nyaman. Bahkan cara kita mencari pakaian yang cocok dengan musim, memakai pakaian lebih banyak di musim dingin, dan lebih sedikit di musim panas, ini bisa menjadi problem besar untuk penyandang autis yang indera perasanya terlalu sensitif. Turut berubah sesuai situasi merupakan tantangan yang berat. 

Pada umumnya, untuk penyandang autisme, disentuh oleh orang lain berarti membiarkan tubuh ini dikontrol oleh orang lain, padahal si pemiliki sendiri tidak cukup mampu mengontrol dirinya. Ini seolah kita kehilangan jati diri kita. Pikirlah baik-baik—sungguh mengerikan!

Q: Apa alasan kamu suka melompat?

Apa yang kurasakan ketika aku melompat-lompat sambil bertepuk tangan? Aku yakin kamu pikir aku tidak merasakan yang lain, kecuali kegilaan yang tercetak di wajahku. Tapi ketika melompat, rasanya perasaanku turut melejit ke langit. Sungguhan, keinginan untuk ditelan oleh langit itu sampai bisa membuat hatiku berbunga-bunga. Ketika aku melompat, aku bisa merasakan seluruh bagian tubuhku dengan baik—kaki-kaki yang menjejak dan tangan-tangan yang menepuk—dan itu membuatku merasa sungguh-sungguh bahagia.

Q: Apakah kamu ingin menjadi “Normal”?

Apa yang bisa kami lakukan, andai ada cara untuk membuat kami menjadi “normal”? Well, aku rasa orang-orang di sekitar kami—orang tua dan guru—akan sangat gembira, dan berkata, “Halleluya! Kita akan mengubah mereka menjadi normal!” Dan selama bertahun-tahun, aku sangat ingin menjadi normal juga. Hidup dalam kondisi berkebutuhan khusus sangat menyiksa dan melelahkan; Aku biasa berandai-andai, seandainya aku ini normal, pastinya itu sangat menyenangkan.

Tapi kini, bahkan ketika ada orang-orang yang mengupayakan penyembuhan autisme, aku lebih ingin menjadi diriku sendiri. Kenapa aku berpikir seperti ini?

Singkatnya, aku telah belajar bahwa setiap manusia, dengan atau tanpa disabilitas, harus berupaya keras untuk melakukan yang terbaik, dan dengan mengupayakan kebahagiaan, kamu akan menghampiri kebahagiaan. Bagi kami, kamu tahu, menyandang autisme merupakan hal yang normal—jadi kami tidak tahu secara pasti apa artinya “normal” dalam sudut pandangmu. Tapi selama kami bisa belajar untuk mencintai diri sendiri, aku tidak yakin apa pentingnya menjadi normal atau autis.

Review buku ini ditulis bertepatan dengan World Autism Awareness Day, yang jatuh setiap tanggal 2 April, dan ditandai dengan memakai pakaian berwarna biru.

Buku ini sangat berharga. Meski tidak semua penderita autisme sama seperti Naoki, setidaknya kita mendapatkan kesempatan yang sangat mahal, untuk bisa “bertamu dan berbincang secara intim” dengan seorang penyandang autis. Segala kebingungan dan prasangka yang barangkali keliru, mendapatkan klarifikasi langsung, sehingga harapannya, tergantikan oleh empati dan kebesaran hati. Kebesaran hati untuk apa? Untuk menerima keragaman, dan membuang jauh-jauh diskriminasi.

Berminat dengan buku ini, dapatkan di: https://www.amazon.com/Reason-Jump-Inner-Thirteen-Year-Old-Autism-ebook/dp/B00BVJG3CS

Saya menyukai buku ini. Sangat menyukai. Selain tulisan Naoki, tidak boleh dilupakan pula, pengantar dari David Mitchel, yang menurut saya sangat kuat dan bagus dalam berbagi pikiran mengenai autisme. Dalam salah satu paragraf, David Mitchel yang anaknya juga menyandang autisme, berbagi pengalamannya saat pertama kali membaca buku ini—yang sepenuhnya saya amini:

Bagi saya, semua ini merupakan pemahaman yang transformatif, dan menguatkan. Ketika Anda tahu bahwa anak Anda ingin berbicara pada Anda, ketika Anda tahu bahwa ia memperhatikan lingkungan sekitarnya secara teliti dan penuh khidmat, sama seperti anak Anda yang tidak autis, walau dari luaran tampak berlawanan, maka Anda bisa sepuluh kali lebih sabar, menerima, memahami dan komunikatif; dan sepuluh kali lebih baik dalam membantu perkembangannya. Bukanlah berlebihan jika saya menganggap The Reason I Jump membantu saya untuk mempererat relasi saya dengan anak saya. Tulisan Naoki Higashida mengupayakan sebuah tendangan yang saya butuhkan, supaya saya berhenti meratapi nasib saya, dan mulai berpikir bahwa betapa beratnya hidup yang harus diperjuangkan oleh anak saya, dan apa yang bisa saya lakukan untuk meringankannya.

*Pada 2015, Naoki Higashida menerbitkan sekuel buku ini, berjudul Fall Down 7 Times Get Up 8.

Saya Mengajukan Naskah, Kok Malah Disuruh Beli oleh Penerbit?

“Loh, saya mengajukan naskah untuk diterbitkan, kok malah disuruh beli sendiri?” kata seorang calon penulis. Sepintas ini tampak ganjil, namun dia tidak sendirian. Kasus yang serupa dialami oleh banyak orang ketika mendatangi penerbitan. Apakah Anda juga merasa aneh dengan hal ini?

Mari mendalami latar belakangnya. Penerbitan sebuah buku didahului oleh sebuah perjanjian kerja sama, antara penerbit sebagai pihak pertama dan penulis sebagai pihak kedua. Penerbit memiliki modal berupa dana dan kemampuan distribusi, dan penulis memiliki modal yang tidak kalah besar, yaitu isi atau konten. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing, dan saling membutuhkan. 

Penulis membutuhkan penerbit, selayaknya seorang pengembang startup membutuhkan pendana. Alasannya: mencetak buku dan mendistribusikannya di toko-toko buku membutuhkan dana yang tidak sedikit. Semakin besar penerbit tersebut, semakin luas distribusi yang bisa dilakukan, semakin kuat pula jaringan pemasarannya. 

Berapa dana yang dibutuhkan? Untuk buku berspesifikasi standar (300 halaman, ukuran 15 x 22 cm), dibutuhkan biaya produksi sebesar 40 jutaan. Biaya produksi tersebut mencakup biaya desain, kertas, dan ongkos cetak, yang harus dibayar di muka. Belum lagi ditambah ongkos lain berupa distribusi, promosi, insentif untuk toko-toko buku, serta pajak, yang menjadi beban administrasi untuk pihak penerbit. Ini menguras kocek penerbit kira-kira hampir 25 jutaan. Penerbit pun masih harus mengatur besaran diskon untuk toko buku serta berbagi keuntungan dengan penulis, dan juga biaya inventory turn over, serta gudang. Singkatnya, satu buku dengan spesifikasi di atas melibatkan struktur keuangan senilai mencapai 140 jutaan. 

Angka yang tidak kecil bukan?

Di sisi yang lain, penerbit tentu membutuhkan penulis, terutama penulis yang bisa mencetak penjualan yang besar (baca: bestseller). Sebab, dengan melihat biaya yang segitu besar, sebuah penerbitan tidak mau main-main asal cetak. Itulah mengapa, sebuah penerbit merekrut editor, yang mampu menemukan talenta-talenta kepenulisan yang ciamik, atau figur-figur yang bisa menarik perhatian pembeli. Sebuah naskah yang mungkin hanya berupa berlembar-lembar hvs, di-print di sebuah warnet dan difotokopi di pinggir jalan, tidak bisa begitu saja diremehkan. Di mata seorang editor yang tajam, bisa jadi itu adalah cikal bakal mega bestseller dengan profit milyaran

Proses kerja sama di balik sebuah penerbitan buku memang pada dasarnya sesederhana itu. Pemodal, dalam hal ini penerbit, mengorbitkan penulis. Ia mendanai produksi dan distribusi, dan keuntungannya nanti dibagi. Jika laku keras, mereka sama-sama untung; jika gagal, dari perhitungan di atas, penerbit tentu harus menanggung kerugian atas dana yang telah keluar. Penulis, karena sama sekali tidak mengeluarkan duit, tidak menanggung kerugian apa pun, kecuali bahwa kelak di karya berikutnya, ia harus kerja lebih keras lagi untuk meyakinkan penerbit supaya bisa dicetak.

Jadi, Adakah Pengecualian? 

Jika begitu, penerbit yang meminta penulis membeli bukunya sendiri, berarti melakukan penipuan dong? Tunggu dulu.  

Logikanya, memang hanya naskah yang benar-benar terseleksi yang bakal didanai oleh penerbit, sebab mana ada, penerbit yang mau rugi. Namun begitu, ada penulis yang “ngebet” bikin buku. Walaupun di mata penerbit, naskah yang diberikan tidak lolos seleksi, mereka tidak memedulikan hal tersebut.

Mengapa demikian? Sebab, mereka memiliki motivasi yang berbeda. 

Ada yang menulis buku untuk keperluan branding. Tahukah Anda, sebuah buku masih merupakan alat yang efektif (dan efisien) untuk melegitimasi profesionalitas, ketokohan, dan segala predikat lain. Tidak mengherankan, buku-buku dengan konten biografi tokoh tertentu santer terbit menjelang Pilkada atau Pileg. Selain untuk branding, ada juga yang menulis buku untuk keperluan momen atau event tertentu, misal: persembahan (tribute) ulang tahun tokoh tertentu, seminar, lokakarya, atau referensi perkuliahan. 

Buku-buku semacam ini tentunya tidak akan mudah dijual. Tingkat urgensi dan kepentingan yang rendah, tidak cukup mendorong pasar untuk membeli. Segmentasinya juga terbatas. 

Di sinilah letak pengecualiannya. Dalam kasus ini, penulis diajak untuk ikut menanggung ongkos penerbitan. Karena penerbit merasa tidak mampu menjual konten tersebut, penulis diminta untuk ikut menanggung pemasarannya. Jadi, penerbit bersedia menerbitkan naskah tersebut asalkan penulis mau mengambil sekian eksemplar dari oplah, untuk ia pasarkan sendiri. Sederhananya, penerbit bersedia menerbitkan naskah tersebut sebesar 5000 eksemplar, asalkan penulis mau membeli 2000 eksemplar untuk dipasarkan sendiri, bisa melalui seminar-seminarnya, komunitasnya, atau event suatu institusi. Dengan demikian, penerbit tidak menanggung risiko yang terlalu besar (atau bahkan mendapatkan keuntungan di awal), karena sudah terjadi pembelian.

Karena penulis membutuhkan buku sebagai branding dan karena baginya, ada keuntungan besar jika naskah itu diterbitkan oleh penerbit tersebut (dianggapnya bisa menaikkan prestise), ia akan menyanggupinya. Kedua pihak sama-sama untung. Penulis mendapatkan branding, penerbit mendapatkan keuntungan. Terjadi kesepakatan, atas pemikiran sama-sama untung.

Inilah yang dinamakan copublishing

Alternatif Jika Anda Tidak Mau Membeli

Copublishing hanyalah salah satu cara berbisnis sebuah penerbit. Mereka tidak menerapkan pola tersebut pada setiap penulis atau naskah yang datang. Bisa disimpulkan, copublishing adalah sebuah solusi yang mendamaikan kebutuhan 2 pihak.

Jika Anda adalah seorang penulis baru dan disodori alternatif copublishing oleh penerbit, artinya naskah Anda dianggap masih belum sepenuhnya marketable (belum menjual). Namun memandang bahwa Anda memiliki kekuatan untuk mengorganisasi penjualan melalui kanal-kanal atau komunitas yang Anda miliki, penerbit bersedia bekerja sama.

Jika Anda melihat nilai plus dari brand penerbit, yang akan mendongkrak nama Anda, alternatif copublishing sangat patut diambil. Misalnya: Anda sangat ingin novel Anda diterbitkan oleh suatu penerbit mayor, ambillah tawaran itu. 

Namun, jika Anda tidak tergantung oleh hal tersebut, dan berniat untuk membuktikan diri, sangat dianjurkan untuk menerbitkannya melalui jalur indie. Anda bisa menerbitkan sendiri buku Anda secara mandiri, dan memasarkan sendiri melalui kanal-kanal yang Anda miliki. Ongkos produksi dan distribusi yang ditanggung sendiri, tentu akan memberikan harga jual yang lebih rendah, sehingga meringankan beban Anda. Jelas tidak akan sebesar biaya kontribusi penulis melalui copublishing.

Atau, alternatif lain selain indie adalah memperbaiki naskah Anda. Sederhananya, belajarlah lagi untuk membuat naskah yang bisa memikat penerbit. Coba dan coba lagi.