Selama saya bekerja sebagai editor buku, selalu ada pertanyaan-pertanyaan abadi yang dilontarkan oleh simpatisan penulis. Salah satunya terdengar begini, “Bagaimana proses Si A bisa dapat ide untuk bikin buku ini, ya Mas? Kok bisa dapat ide bagus”
Adalah biasa bahwa orang melontarkan pertanyaan tersebut, sebab mereka telah menerima karya yang sudah paripurna, dan teratur. Memang demikian adanya hakikat kreativitas. Edward de Bono pernah mengatakan hal yang kurang lebih serupa: Kreativitas itu baru tampak ketika seseorang menghadapi hasilnya, dan melihat ke belakang, lalu menemukan proses yang dilalui.
Singkatnya, proses kreatif selalu memikat.
Kembali ke pertanyaan di atas, tentu saja saya tidak bisa menjawab. Pasalnya, saya bukan seorang penulis. Seorang editor buku bekerja sejauh mengolah dan menata sedikit saja dari naskah yang sudah dihasilkan oleh penulis. Dengan kata lain, pertanyaan tersebut salah alamat.
Namun, pada 2013, ada sebuah buku yang menarik karangan Mason Curey, berjudul Daily Rituals: How Artists Work. Mason Curey mendedikasikan waktunya secara tidak sengaja, untuk mencari tahu rutinitas yang dijalani oleh orang-orang yang menghasilkan sesuatu. Awalnya Curey, yang bekerja di sebuah biro jasa arsitektur, didera oleh kebosanan, dan maka itu sengaja menunda-nunda pekerjaan utamanya: membaca koran, membersihkan mejanya, membikin kopi, dan aneka kesibukan sekunder lainnya. Sampai akhirnya, pada siang hari setelah ia mulai agak “tersadar”, ia mulai berselancar di internet untuk mencari jadwal-jadwal kerja orang-orang “hebat” untuk menambal rasa bersalahnya.
Dari situlah, kisah-kisah ritual orang-orang hebat mulai terkumpulkan. Buku ini mendokumentasikan keseharian orang-orang dari beragam profesi. Terdapat tokoh-tokoh seperti: WH. Auden, Simone de Beauvoir, Ingmar Bergman, Wolfgang Amadeus Mozart, Søren Kierkegaard, Sigmund Freud, Umberto Eco, Marina Abramovic, hingga David Foster Wallace. Total ada 161 tokoh.
Anda ingin tahu pukul berapa penyair Auden mulai meraih penanya dan menuliskan baris-baris puisi, hingga tercipta judul-judul seperti Stop All The Clocks dan Autumn Songs? Atau tahukah Anda bahwa Descartes sehari-hari bangun tidur kesiangan, sekitar pukul 11.00, sebab malamnya, ia bermeditasi, membiarkan pikirannya mengembara menjelajahi kegelisahan metafisis-nya. Dalam buku ini, keingintahuan kita akan terpenuhi.

Knut Hamsun, pengarang besar dari Norwegia—peraih Nobel Sastra menulis begini tentang ritualnya:
Sebagian besar karya saya, datang pada malam hari, ketika saya tertidur selama beberapa jam dan kemudian terbangun. Pikiran saya cukup segar, dan sangat peka. Selalu tersedia sebatang pensil dan kertas di dekat tempat tidur; saya tidak menggunakan lampu, dan langsung menulis dalam gelap, jika ada sesuatu yang mengalir dalam benak saya. Ini sudah menjadi kebiasaan, dan saya tak punya kesulitan mencerna tulisan saya di keesokan hari.

Lain lagi dengan Jackson Pollock, pelukis tenar dari Amerika:
Sekitar pukul 1 siang, Pollock akan beranjak ke lantai bawah untuk sarapan dan segelas kopi dan rokok, lalu ia akan menuju ke sebuah peternakan yang telah ia ubah jadi studionya. Ia berada di sana sampai pukul 5 atau 6 sore, lalu meraih sebotol bir dan pergi ke pantai bersama Krasner. Di sore hari, ia akan makan malam dan bercengkerama dengan pasangan-pasangan lain, kenalan mereka. Pollock suka kerja sampai larut, tapi karena di pedesaan, tidak ada aktivitas yang menarik; maka karena ia tidak banyak minum, ia tidur cukup lama, sampai 12 jam dalam semalam.

Bagaimana dengan Charles Schulz, si pencipta kartun Peanuts?
Pukul 8.20 pagi, Schulz mengantar anaknya ke pangkalan bus, yang mengantar anak-anak di sekitar kompleks ke sekolah. Barulah setelahnya, ia bisa duduk di meja gambar, di sebuah studio pribadi di samping rumahnya. Ia akan mulai dengan membuat corat-coret dengan pensil, sambil membiarkan pikirannya mengembara; metode yang biasa ia lakukan adalah “pokoknya duduk dan membayangkan masa lalu, menyambangi lagi ingatan yang memalukan dan hal-hal semacamnya.” Setelah muncul ide yang bagus, ia buru-buru mengerjakannya dengan cepat dan dengan konsentrasi penuh untuk menuangkannya di kertas sebelum inspirasi tersebut menguap.

Saya suka dengan buku ini. Selain karena saya menikmati keunikan gaya hidup orang-orang, buku ini juga mendudukkan aktivitas keseharian sebagai sesuatu yang sepele tapi menentukan. Walau awalnya rutinitas sepele, ketika dilakukan secara konsisten dengan sense of purpose yang kuat, rutinitas menjadi ritual. Dan, ritual pada dasarnya sakral.
Dalam pengantarnya, Mason Curey menulis demikian:
Rutinitas harian seseorang adalah pilihan, atau sebuah rangkaian pilihan. Di tangan yang tepat, itu menjelma sebuah mekanisme yang sangat kokoh dalam memanfaatkan sumber daya yang serba terbatas: waktu (sumber daya paling terbatas) serta kehendak, disiplin diri, optimisme. Sebuah rutinitas yang solid melahirkan energi mental yang terlatih, dan membantu menyelamatkan diri dari tirani gerak-hati (tyranny of moods).
Jadi, sekiranya Anda bertanya pada diri sendiri, “Mengapa saya tidak bisa menghasilkan sesuatu yang sehebat Mark Manson, atau Eka Kurniawan, atau Sapardi Djoko Damono?”, boleh Anda melihat rutinitas macam apa yang Anda hayati.
mmmmm inilah kita
hanya bisa berminfiii
dan tak melakukan apa2
LikeLike