Banyak orang naik pitam dengan candaan-candaan bertema autis. Autisme sebagai objek humor atau lawakan sering dicap sebagai pelecehan, penghinaan, bullying, dan semacamnya.
Namun begitu, siapa yang tidak tertawa menonton Forrest Gump, sebuah film tentang petualangan Gump, seorang lelaki yang intelegensinya rendah? Siapa yang tidak pecah tawanya, ketika menonton Gump berlari kencang dalam pertandingan american football hingga keluar area, menerobos para penjaga? Dan, ketika pelatihnya gembira sambil berteriak, “He must be the stupidest son of a bitch alive!”, bukankah kita spontan tergelak-gelak?
Masih banyak cerita atau film bertema senada dengan Forrest Gump. Ada Rain Man, What’s Eating Gilbert’s Grape, atau I Am Sam. Meski bukan murni komedi, ada banyak bit yang lucu di sana. Saya tidak alergi dengan candaan-candaan bertema autis, sebagaimana saya bisa mengapresiasi humor-humor dalam film seperti Forrest Gump. Menurut saya, candaan tersebut bagus, berkelas, dan bermanfaat.
Dan kini, setelah dikaruniai seorang anak yang juga autis, saya lebih bisa mengapresiasi. Kini saya tahu, mana candaan yang baik, dan mana yang buruk.
Apakah Persoalannya pada Jenis Humor?
Nama lain candaan adalah humor, yaitu sesuatu yang lucu, atau keadaan yang menggelikan hati (berdasarkan KBBI). Karena humor merupakan produksi pikiran, sesungguhnya setiap jenis humor mewakili tingkat pemahaman manusia, dan secara luas, pemahaman masyarakat. Anda bisa menilai kesehatan pikiran masyarakat, dari jenis humornya.
Ada 3 jenis humor atau lawakan. Pertama adalah humor yang menunjukkan superioritas. Ini sejalan dengan teori Thomas Hobbes yang memandang bahwa suatu kelucuan “tiada lain merupakan suatu kepuasan yang muncul dari konsepsi secara tiba-tiba tentang yang hebat, dengan membandingkannya dengan kelemahan yang lain”. Ini terbukti dalam konsep lawakan yang gemar memperolok keburukan fisik seseorang, keganjilan seseorang, kebodohan, hingga kesialan. Kita bisa menertawakan pemain yang mukanya dicoreng-moreng dengan cat hitam, atau pemain yang menirukan orang idiot, karena kita merasa lebih superior (tinggi) dari mereka.
Kedua adalah humor yang merupakan pelepasan dari ketegangan. Ini sering disebut sebagai humor Freudian, yang memandang bahwa sesuatu hal yang mengundang tawa, sejatinya adalah topik-topik yang selama ini kita pendam, alias tabu untuk dibicarakan. Humor tentang seksualitas, parodi tentang Hitler (dalam figur Charlie Chaplin), sindiran terhadap tokoh-tokoh Agama, atau sekadar umpatan. Ini merupakan bentuk pelampiasan dari tekanan-tekanan tersebut.
Ketiga adalah humor yang sifatnya lebih pokok (esensial), yaitu bahwa sesuatu itu mengundang tawa ketika penonton menyadari adanya ketidaksesuaian yang disengaja antara apa yang disampaikan dengan anggapan akan realitas yang sesungguhnya. Sang pelawak sengaja mengamati realitas yang dialami, lalu membuat pembengkokan logika. Ini disebut sebagai incongruity-resolution theory. Ada sebuah kelucuan dari penyajian perspektif yang otentik, sering tak terduga, dan jarang terpikirkan.
Mana yang lebih baik?
Jika Anda merasa humor pertama dan kedua tidak lucu, dangkal, dan primitif, dan humor ketigalah yang baik, Anda perlu berpikir ulang. Dalam praktiknya, tipe pertama dan kedua de facto memang lucu. Kalau Anda berkeras bahwa humor yang memperolok, atau humor tentang seks itu tidak lucu, dan sepatutnya dilarang, berarti Anda naif. Menurut saya, itu seperti mempermasalahkan orang yang makan bubur diaduk, hanya karena Anda jijik melihatnya. Padahal, bisa jadi lebih dari separuh populasi orang Indonesia makan bubur dengan cara seperti itu, dan yang lebih penting: mereka menikmatinya. Sebaliknya, humor ketiga mungkin lucu dan terkesan smart, tapi bisa jadi teramat “kering”.
Dengan kata lain, ketiga jenis humor tersebut sebenarnya tidak mendefinisikan mana humor/candaan yang cerdas dan mana yang tidak. Ketiganya adalah tools, atau sarana untuk membuat kelucuan. Mungkin Anda menemukan humor jenis pertama pada acara seperti Opera van Java yang dulu identik dengan pemain-pemain yang celaka dan diperolok (bahkan juga meringis karena tertimpa properti panggung dari gabus). Tapi, Anda pun akan menemukan 2 jenis humor tersebut dalam repertoar komedian-komedian ternama saat ini.
Sebutlah misalnya George Carlin, yang sedikit-sedikit melontarkan kata shit di komedinya, meski ia mengetengahkan kesadaran-kesadaran baru atau bahkan perlawanan.
Atau komedian Trevor Noah yang kerap menerobos tema-tema yang dianggap tabu, terutama tentang rasisme, dan beberapa kali memperolok diri sendiri dan perspektif orang lain.
Atau, apakah Anda tidak tertawa dengan topik ringan tentang dunia perkantoran yang diangkat Jason Leong, meski ia berkali-kali mengumpat?
Lalu apa yang membuat perbedaan?
Candaan yang Bagus itu Mendewasakan
Candaan yang bagus adalah yang memiliki konsep. Konsep candaan—serupa dengan konsep-konsep seni pertunjukan yang lain—berupa gagasan-gagasan yang ingin disampaikan berkenaan dengan suatu tema. Entah itu tarian, drama, wayang orang, atau lenong, selalu dilandasi oleh konsep.
Sutradara, komedian tunggal akan menggunakan segala cara supaya gagasan-gagasan tersebut bisa sampai ke penonton secara ringan dan menghibur. Mereka akan melakukan riset. Mereka akan mengenali sungguh objek yang digunakan untuk bahan lawakan. Dan, tak lupa mereka akan menggunakan segala teknik humor, mulai dari humor jenis satu, dua, maupun 3. Singkat kata, lawakan yang bagus adalah buah kerja keras membangun konsep, plot, atau premis. Tidak ada jalan pintas.
Maka itu, walaupun tingkah Forrest Gump yang bodoh itu dijadikan bahan tertawaan, saya menaruh apresiasi, sebab ada sebuah tema atau gagasan yang membingkai film tersebut.
Tapi, tak semua melawak dengan cara seperti itu. Ada saja yang menempuh jalan pintas. Selalu ada jalan pintas untuk membuat penonton tertawa-tawa dan terpingkal-pingkal. Tema atau konteks apa pun yang diangkat, asalkan dihubung-hubungkan dengan seks, dijamin bikin tertawa. Tidak peduli ceritanya seperti apa, selama ada objek untuk dijadikan olok-olokan, pasti bikin tertawa. Bahkan, hanya dengan menaburi lawakan dengan umpatan-umpatan, penonton pasti tertawa.

Resep tersebut diulang terus, sebab terbukti manjur. Terlebih dalam konteks pertelevisian, asalkan rating tinggi, segala cara boleh dipakai. Bahkan kalau perlu, dengan mengolok-olok orang-orang miskin, orang-orang buruk rupa, bencong, negro, atau orang-orang difabel. Dengan mengerjai orang sejadi-jadinya, tanpa peduli dengan premis cerita yang melenceng.
Secara sederhana, sebuah candaan yang bagus akan “memberikan” suatu makna yang bisa diingat, dibawa pulang, untuk dibagikan, atau diceritakan ulang. Sekecil apa pun itu. Bahkan, bisa juga dianalisis dan dibedah secara akademis.
Karena sifatnya yang ingin memberikan kesadaran akan sesuatu hal, candaan yang bagus selalu mendewasakan.
Peluang Mendewasakan Masyarakat dari Candaan tentang Orang Autis
Bagi saya, akan ada perubahan besar, jika kata “autis” dijadikan sebagai objek candaan, terutama candaan yang dalam kategori bagus seperti keterangan di atas. Sebab, candaan yang bagus akan membagikan kesadaran tentang autisme. Berawal dari kesadaran, tentu harapannya akan muncul perhatian. Semakin sering, semakin besar pulalah perhatian yang diberikan. Mulai dari acara kampus, lama-lama “masuk” TV, dan akhirnya menjadi perhatian seluruh masyarakat, dan Negara.
Saya serius akan hal ini.
Sadarkah Anda, baru sedikit orang yang paham tentang “anak autis”. Ketika saya mengatakan bahwa anak saya autis pada rekan-rekan di kantor atau sesama orang tua, responsnya macam-macam.
Ada yang mengatakan, “Anakmu sering dibiasakan main hape sendirian, ya? Mulai di-stop aja, soalnya anakku juga dulunya gitu.” Dia menyamakan autis dengan bocah yang kecanduan hape.
Ada yang mengatakan, “Tidak apa-apa. Namanya anak masih kecil, biasalah kalau enggak bisa diem. Justu kalau diam, kita malah wajib bingung..” Yang ini menyamakan autis dengan kewajaran anak-anak yang suka bergerak (nb: Hiperaktivitas/ADHD/ADD juga termasuk dalam spektrum autisme—dan bukan kewajaran).
Ada pula yang mengatakan, “Loh, masak sih!? Aku lihat kemarin wajahnya nggak keliatan ‘kok!” Setelah ditelusuri, dia menyamakan autisme dengan sindrom Down, dan merujuk tanda berupa wajah mongoloid yang merupakan ciri pengidap sindrom tersebut.
Dan, yang paling banyak adalah yang berkomentar begini, “Wah, berarti anakmu berbakat jenius tuh! Tinggal diarahkan saja!” Ini adalah tanggapan yang enteng, dan merupakan bias dari peliputan-peliputan media yang mengejar sensasi dari segelintir kasus khusus anak autis berbakat. Atau dari film-film fiksi dengan tokoh seorang pengidap sindrom savant.
Itu adalah pengalaman saya. Di bagian Indonesia yang lain, saya yakin banyak pengalaman unik, mulai dari dianggap anak Indigo, dianggap “ketempelan” genderuwo, dilabeli anak bodoh, hingga disebut anak gila (anak saya bisa meledak tawanya secara tiba-tiba, dan berlangsung cukup lama). Akar dari permasalahan ini adalah kurangnya pengenalan tentang autisme di Indonesia. Sangat disayangkan memang, sebab di negara-negara maju seperti di Amerika dan Inggris, perhatian pemerintah cukup besar dan nyata. Mulai dari penyediaan informasi, fasilitas, hingga subsidi terapi, dan biaya riset.
Stop. Saya tidak akan jatuh pada pembandingan antara Indonesia dengan negara-negara maju. Itu akan menjadikan artikel ini sangat panjang oleh daftar keluhan.

Saya ingin masyarakat ini mulai untuk menyampaikan kesadaran akan autisme ini dengan cara apa pun. Dan, jika jalannya adalah lewat candaan tentang autisme, mengapa tidak? Saya akan mulai dari diri sendiri, untuk tidak mudah sensitif. Dan, saya akan mendorong para pelaku seni, untuk berani mengambil tema ini. Silakan cari bahan yang tersedia sangat luas di internet, silakan baca buku atau berkomunikasi dengan aneka grup orang-orang tua anak autis. Silakan nyinyir atau menyindir tentang hal ini.
Mulailah beranjak dari zona nyaman. Jangan selalu melawak hanya dari gosip para selebgram, gimmick-gimmick tentang jomblo dan mantan, atau dissing selebritas A, artis B. Angkatlah konten yang lebih berisi, dan biarkan humor menjadi salah satu cara efektif untuk mewujudkan harapan.
artikelmu ini ada lanjutannya ndak Din?
LikeLike
Sudah selesai, Emil. Tapi, tentang autis mungkin akan ada pembahasan lainnya. Thanks yo, sudah baca
LikeLike
dikupas tuntas…mantab bro
LikeLike
Mashooook, Pak Ekoo
LikeLike
Nice. . yg peting jangan bangga jadi wagu ya mas bro
LikeLike
7 menit yang sangat berguna, mengunyah dan menelan artikel ini matang-matang.
LikeLike