“Kalau gini aja sudah dapat duit, ngapain saya harus kerja kantoran?” Ungkapan pongah semacam ini sering terlontar, terutama dari para milenial. Sialnya, mereka tidak sedang membual. Bayaran dari menjadi Youtuber, misalnya, jauh mengungguli gaji bulanan pekerja kantoran yang bekerja sampai melembur—dan mereka masih bisa pelesiran dan ngopi-ngopi di kafe.
Kemajuan teknologi dan maraknya disrupsi di sana-sini mengundang keresahan bagi banyak pekerja, dan menghadapkan mereka pada ungkapan bak mantra: “work smart not work hard”. Kerja cerdas pun didengungkan di mana-mana, oleh para konsultan atau penulis manajemen. Tapi, apa persisnya kerja cerdas (work smart) itu? Morten T. Hansen, dalam buku Great At Work. How Top Performers Work Less and Achieve More (2018) adalah salah satu yang bermurah hati menjawabnya.
Morten Hansen pernah bekerja di kantor konsultan paling prestisius sedunia, Boston Consulting Group (BCG), meraih gelar doktor dari Stanford University, dan menjadi pengajar di Harvard Business School. Pada 2002, bersama Jim Collins ia menulis buku fenomenal Great by Choice, sebuah buku manajemen kepemimpinan (leadership management) yang mendapat banyak pujian.
Great At Work berpangkal pada semangat yang sama, hanya saja sudut pandangnya dibalik; bukan lagi pada pemimpin, tapi pada tiap-tiap individu. Pertanyaan dasarnya adalah, “Apa yang bisa dilakukan oleh tiap individu untuk bisa gemilang—tanpa harus memiliki kewenangan manajerial?” Di sanalah, Morten mengelaborasi kerja cerdas.
Uraian panjang lebar tentang kerja cerdas itu terbagi dalam 3 matra, yaitu (1) Cerdas dalam Kerjaan Anda, (2) Cerdas dalam Bekerja Sama dengan Orang Lain, dan (3) Cerdas dalam Menyeimbangkan Pekerjaan dan Kehidupan (work-life).
Kerja cerdas adalah Do Less, Then Obsess. Pusatkan saja pada 1 hal, dan upayakan itu dengan gila-gilaan, sampai Anda menguasai betul, dan menjadi “biang”-nya:
The term “focus” consists of two activities: choosing a few priorities, and then dedicating your efforts toward excelling at them. Many people prioritze a few items at work, but they don’t obsess—they simply do less. That’s mistake.
Menurut Hansen, sebuah perusahaan atau seorang karyawan secara tidak sadar gemar akan kerumitan, seakan kumpulan aktivitas yang kompleks dan bertingkat akan melipatgandakan kualitas. Hansen memberi contoh warung sushi Jiro Ono di Jepang yang sederhana, tidak memiliki toilet, dan bahkan tidak ada daftar menunya. Biar begitu, warung ini tidak pernah sepi pengunjung, dan meraih peringkat bintang 3 Michelin. Alih-alih memusingkan hal-hal sekunder, Jiro Ono memusatkan diri pada 1 hal, hanya 1 hal, yaitu kualitas sushi. Ia memilih ikan tuna dengan saksama (harus yang terbaik di seluruh pasar), bahkan ia mematok waktu 40 menit—tak ada toleransi—untuk memijiti daging gurita.
The complexity trap wreaks havoc inside companies. In the name of progress, we pile on goals, priorities, tasks, metrics, checkpoints, team members, and so on. But adding these items increases complexity, which we can define in terms of the number of items and the number of connections between them.
Kutipan di atas mengingatkan kita akan keluhan klasik tentang kerumitan birokrasi di kantor-kantor pemerintahan. Kerumitan tersebut justru jauh dari kriteria performa yang bagus.
Hansen juga menggarisbawahi sesuatu yang mungkin bagi kita masih tabu: “berkelahi”. Kerja cerdas berarti: Fight.
When teams have a good fight in their meetings, team members debate the issues, consider alternatives, challenge one another, listen to minority views, scrutinize assumptions, and enable every participant to speak up without fear of retribution.
Yang dimaksud oleh Hansen adalah apa yang disebut konflik konstruktif. Dalam sebuah tim, selalu terdapat dua kelompok yang saling bertentangan, memiliki ide yang sama baiknya, dan berharap sama-sama didengar. Jangan pernah menyembunyikan mereka. Jangan sampai yang satu kalah oleh suara mayoritas. Itulah kerja cerdas.
“Perkelahian” ide tersebut akan berhenti ketika didapatkan opsi yang paling baik, seusai menjelajah semua pro dan kontra secara saksama. Kesatuan terjadi ketika terdapat kesadaran, bahwa masing-masing menginginkan tujuan yang sama: yang terbaik untuk perusahaan.
In teams that unite, team members commit to the decision taken (even if they disagree), and all work hard to implement the decision without second-guessing or underminit it. We find similar teamwork cultures at other high-performance companies. At Amazon, the company expects managers and employees to “challenge decisions when they disagree, even when doing so is uncomfortable of exhausting” and “once decision is determinded, the commit wholly.”
Kerja cerdas juga berarti tidak mengesampingkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di luar kantor (work-life balance). Kehidupan di luar kantor merupakan investasi, yang jika dilakukan dengan cermat, akan memberi kontribusi yang besar pula untuk kehidupan kerja Anda. Hansen menggarisbawahi hal ini:
The traditional “work harder” mentality runs deep. We think we have to attend that extra meeting, agree to that extra collaboration, or put that extra hour into tweaking that presentation. Don’t fall into that trap. You need to break your work-harder pattern, setting some clear limits.
Even if you’re working a reasonable number of hours, don’t let your passion for work seep into your leisure time. If you’re thinking about work while you’re having dinner with friends or watching your kid’s baseball game, you’re too passionate about work. If you have trouble falling asleep at night because you’re thinking about work, or you find yourself checking your email in the bathroom at 3 a.m., you’re too passionate about your job.
Top performers in our study pursued passions for sure, but they also kept those passions in perspective…. When I asked whether he could forget about his work during leisure hours, he said, “Absolutely! My brain switches over to family mode. I’m very good about that.”… When I asked him if he would ever work 70 to 80 hours a week, he told me that he would “refuse to do that. That would kill me and it would kill my work-life balance.” You, too, can be extremely, wonderfully passionate about work and not let it consume you.
Jadi, kini mungkin Anda bertanya, apa yang disebut dengan kerja cerdas menurut Morten Hansen? Kerja cerdas adalah: To maximize the value of your work by selecting a few activities and applying intense targeted effort.
Maksimalkan segelintir aktivitas yang telah Anda pilih, dan bergumulah secara mendalam.