Cara Bodoh Memahami Kapitalisme ala Yanis Varoufakis

Kapitalisme mengubah segalanya. Tidak percaya? Jika ada orang beranggapan bahwa di zaman sekarang, guru-guru tidak lagi dihormati oleh muridnya—tak seperti ketakziman murid di zaman dahulu, itu adalah salah satu dampak kapitalisme.

Namun, sebelum terlampau jauh beropini, sepertinya banyak orang yang tidak memahami apa itu kapitalisme. Pemahaman awam akan kapitalisme saling berkejar-kejaran dengan isme-isme lain yang telanjur dicap menyeramkan: kolonialisme, neoliberalisme, bahkan komunisme. Tapi, persisnya seperti apa? Apakah sungguh-sungguh menyeramkan? Di mana letak keseramannya?

Yanis Varoufakis menulis sebuah buku dengan judul jenaka, Talking to My Daughter About The Economy. A Brief History of Capitalism. Dengan latar belakangnya sebagai seorang doktor ekonomi dan saat ini menjabat sebagai menteri keuangan Yunani, patut diapresiasi bahwa ia memiliki waktu untuk menjabarkan sebuah konsep besar secara sederhana. Menakar judulnya, buku ini memang sengaja dimaksudkan menjadi sebuah penjabaran yang memudahkan, sebab ia sendiri berkata pada bagian prolog:

Sebagai seorang guru ekonomi, saya selalu percaya bahwa jika Anda tidak mampu menjelaskan ekonomi dalam bahasa yang mudah dipahami anak-anak muda, mudah disimpulkan, bahwasanya Anda sendiri tidak paham.

Dari Kesenjangan Ekonomi, Kapitalisme Menampakkan Diri

Buku ini dibuka dengan menyodorkan realitas yang tak akan bisa ditampik, yaitu tentang ketimpangan ekonomi. Ini adalah realitas yang menyakitkan, dan sering dituduh sebagai potret buram kapitalisme. Di Indonesia sendiri, ketimpangan dan kemiskinan juga selalu dijadikan peluru para politisi untuk menyerang kebijakan-kebijakan ekonomi, dengan membaptis pemerintah yang berkuasa sebagai perpanjangan tangan para antek kapitalis.

Yanis tidak gegabah untuk melangkah ke situ.

Ia memakai realitas ketimpangan sekadar sebagai pijakan untuk memahami lahirnya kapitalisme. Ia menjelaskan ketimpangan dengan pendekatan sejarah. Kita terlahir dalam era modern, dan mendapati dunia seperti adanya saat ini, seolah sudah dalam komposisi yang pas “dari sononya”. Sebagian besar dari kita lalu meyakini bahwa memang sudah kodratnya, orang-orang Aborigin kalah oleh orang-orang Kolonial Inggris—yang adalah pendatang di Australia. Mereka kalah secara ekonomi, karena kalah gesit melihat peluang, bahkan gagal bersaing.

Dan demikian adanya yang terjadi dengan ketimpangan antara negara-negara Dunia Ketiga yang diberi predikat negara miskin, dengan negara-negara maju. Apakah ada sesuatu yang berbeda dalam DNA mereka, sehingga yang satu lebih “lincah” secara ekonomi dibandingkan yang lainnya?

Dalam perspektif sejarah, Yanis meyakinkan kita bahwa penyebab ketimpangan yang terjadi antar-negara saat ini adalah: surplus.

Kita melihat betapa pada mulanya… adalah surplus. Dan dari surplus pertanian muncullah tulisan, utang, uang, dan negara —dan dari ekonomi tersebut lahirlah teknologi dan bala tentara.

Negara eurasia dipaksa oleh keadaan geografisnya untuk mengolah tanah, demi menyiasati pertumbuhan kebutuhan pangan. Lahirlah pertanian, yang dari sana mendorong mereka untuk menimbun surplus. Sejarah lalu berjalan secara eksponensial, sebab dari surplus itu, terciptalah alat tukar, utang, ideologi, hingga ekspansi mengarungi lautan.

kapitalis fixed

Bagaimana dengan aborigin? Mereka tidak pernah merasa kekurangan. Mereka hidup dalam harmoni dengan alam, sebab keadaan geografis membuat segalanya tersedia secara melimpah. Mereka tidak terdesak untuk meningkatkan produksi. Secara ekonomi, mereka berkembang, namun tidak dalam pola pikir negara-negara eurasia.

Sesungguhnya, orang-orang Aborigin telah mengenal ekonomi, dari keunikan mereka dalam mengatur rumah tangga, mulai dari mengumpulkan pisang, berburu hewan, atau memungut biji-bijian. Tapi, seperti kata Yaris:

… itu bukanlah ekonomi dalam arti sesungguhnya. Untuk memunculkan ekonomi yang seperti itu, dibutuhkan sesuatu yang lain: kemampuan untuk melampaui kegiatan sekadar mengumpulkan pisang dari pohon-pohonnya atau berburu binatang—sebuah kemampuan untuk memproduksi makanan atau peranti yang tidak akan bisa eksis, tanpa adanya tenaga kerja manusia.

Dari situlah, Anda tahu bahwa orang-orang Kolonial Inggris datang dengan membawa ekonomi pasar. Mereka membawa teknologi, mereka mengerjakan dan mengolah hasil bumi dengan lebih cepat, dan yang terpenting, mereka menjual apa yang bisa dijual secara global. Itulah ekonomi pasar, yang membuat Aborigin tergagap-gagap, karena tidak siap. Ekonomi pasar versus ekonomi rumah tangga. Ekonomi pasar itulah kapitalisme.

Uraian ini dimaksudkan oleh Yaris untuk memberikan pandangan yang lebih bijaksana terhadap ketimpangan, yang merupakan etalase kapitalisme yang paling gamblang:

Ketika mata kita melihat mereka yang hidup berkekurangan, kita segera bersimpati dan marah atas keadaan tersebut, tapi kita tidak mempersilakan diri kita barang sejenak untuk berpikir bahwa kemlaratan mereka barangkali merupakan produk yang sama dari proses yang mengantar kita pada situasi keberlimpahan saat ini. Ini merupakan sebuah mekanisme psikologis yang membuat orang-orang kaya dan berkuasa (yang biasanya orang yang sama) merasa benar, sah, dan pantas untuk meraup sebanyak mungkin, sementara yang lain semakin melarat.

kapitalis 2

Ciri Khas Kapitalisme adalah Komodifikasi Segalanya

Terjadi perluasan ekonomi, dari yang semula sekitar rumah tangga (oikos: keluarga, rumah tangga, nomos: peraturan, undang-undang), menjadi sekitar pasar yang kini lintas dunia. Dengan begitu, ekonomi pasar alias kapitalisme adalah niscaya. Itulah mengapa Yaris mengatakan di buku ini, bahwa terminologi yang lebih relevan adalah: agoranomi (agora: pasar), bukan lagi ekonomi. Perluasan ini membawa konsekuensi besar, sebab mengubah mindset masyarakat secara drastis.

Ekonomi pasar didorong oleh motif mencari keuntungan, sebab segalanya telah mendapat label harga. Semuanya, tanpa kecuali, telah diukur dengan nilai tukar. Itulah yang disebut komodifikasi, yaitu ketika segala barang mendapatkan nilai tukar (exchange values).

Padahal, ada nilai lain yang esensial, yaitu nilai pengalaman (experential values). Altruisme, heroisme, kebahagiaan, loyalitas, adalah nilai-nilai pengalaman.

Jika Anda meminta anak Anda untuk membersihkan kamarnya, dan anak Anda menjawab, “Ayah saja deh yang membersihkan, nanti aku kasih duit. Mau berapa?”, bagaimana perasaan Anda? Jika seorang teman meminta tolong pada Anda untuk memfoto dengan bayaran sekian rupiah, bukankah Anda akan mengernyitkan kening. Banyak hal yang tidak bisa ditukar dengan uang.

Jika pendonor memperoleh bayaran pasti, apakah jumlah peminat donor darah akan sama banyaknya? Jelas tidak (sebab dalam buku ini, Yaris telah menunjukkan data eksperimen ini di beberapa negara), bahkan cenderung menurun. Kegiatan donor darah bukan sekadar mencari untung. Jika aksi altruisme ini diukur oleh uang, terjadi pengerdilan. Orang tidak termotivasi untuk melakukannya lagi, sebab ada hal-hal yang nyata-nyata tidak mudah dibeli.

… begitu sering di masyarakat saat ini, ketika semua barang dipandang sebagai komoditas, semua nilai diukur—oleh ekonom, pada setiap tingkatan—seolah adalah nilai tukar. Segala hal yang tidak memiliki harga, segala yang tidak bisa dijual, cenderung dianggap tak berguna, sementara segala hal yang memiliki harga, dipandang akan lebih diminati.

Nah, Kapitalisme adalah sebuah dunia lain, yang pelan tapi pasti, mengikis aneka nilai eksperiensial. Secara garis besar, Yanis menjelaskan bahwa ada 3 hal yang kemudian dikomodifikasi: (a) barang mentah (raw materials), (b) tanah atau ruang, dan (c) buruh atau tenaga kerja. Dengan pendekatan sejarah, Yanis menjelaskan betapa komodifikasi ekonomi pasar memiliki dampak besar. Terdapat andil mereka dalam menciptakan perbudakan, kemlaratan, dan situasi-situasi tak manusiawi lainnya.

Masyarakat didorong untuk menjual apa pun. Makin banyak yang bisa dijual, makin banyak nilai-nilai yang akhirnya hilang, karena dianggap tidak layak jual.

Kembali ke kalimat paling atas. Apa hubungan kekurangajaran murid-murid sekolah zaman dahulu dengan kapitalisme? Murid-murid sekolah yang kurang ajar itu memandang guru dan institusi sekolah tak ubahnya sebagai penjual. Kurang lebih sikapnya adalah begini: saya sudah membayar gaji Anda, dan itu sudah cukup. Perkara saya mau mendengar atau tidak, itu hak saya sebagai konsumen. Saya tahu passion saya, saya tahu cita-cita saya—saya tak mendengarkan Anda, karena saya lebih tertarik pada bidang yang lain.

Arogan? Tidak sopan? Seperti kata Yanis:

Perbedaannya sangat tajam, jual beli di pasar terjadi secara berlawanan: singkat, dingin, tidak personal, seperti ketika kamu memesan buku dari Amazon, dengan satu kali klik.

Istimewa untuk Para Pemula

Sesuai dengan judulnya, buku ini sangat pas untuk dibaca oleh kita, para pemula. Istilah dan penjelasannya cukup sederhana, namun pemikirannya runtut dan menjanjikan uraian yang menyeluruh. Tak tampak tendensi untuk menyembunyikan bab-bab yang rumit, demi menampilkan wajah ekonomi yang gampang.

kapitalis 3
sumber: https://www.amazon.co.uk/Talking-Daughter-About-Economy-Capitalism/dp/1847924441

Bahasan-bahasan tersebut meliputi utang, perbankan, hingga perburuhan. Semua itu dijelaskan secara arif oleh Yanis. Ia melihat ekonomi dan kapitalisme dengan mendudukkannya pada kenyataan yang tak terbantahkan: sedari bayi, manusia dilahirkan sama, yaitu telanjang. Jika akhirnya, bayi yang satu lebih kaya ketimbang bayi yang lain, itu adalah permainan panjang ekonomi. Kita tak bisa meminta untuk mengulang permainan ini dari nol. Sebisa mungkin, kita bersikap bijaksana dalam permainan kapitalisme yang memang tidak sepenuhnya adil.

Selayaknya, kita memang makin melek perihal ekonomi. Seperti kaya Yanis, ekonomi sejatinya berasal dari dapur rumah tangga masing-masing, maka sudah pasti mudah dipahami.

3 thoughts on “Cara Bodoh Memahami Kapitalisme ala Yanis Varoufakis”

  1. Quality posts is the main to interest the people to visit the site, that’s
    what this web site is providing.

    P.S. If you have a minute, would love your feedback on my new website re-design. You can find it
    by searching for “royal cbd” – no sweat if you can’t.

    Keep up the good work!

    Like

Leave a comment